H M Zainuddin dalam buku Singa Atjeh terbitan Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1957 megnisahkan, sepanjang perjalanan dari pusat kerajaan di Bandar Darussalam sampai ke Negeri Pidie dan Meureudu, parade tentara kerajaan bersama Sulthan singgah untuk rehat di beberapa tempat.
Tempat-tempat yang disinggahi itu di antaranya Paru yang saat itu sebagai pusat perkebunan lada, dari sana Sulthan menuju Kuala Keurandji yang suanginya berair jernih. Rombongan Sulthan istirahat di pantai pinggir kuala tersebut. Pantai itu kemudian dimanai Panteraja, yang bermakna pantai tempat raja singgah.
Di muara sungai terletak satu benteng peningalan Portugis ketika menyerang Negeri Pidie. Di atas bukit dekat kuala tersebut terdapat bekas kota atau bandar tempat penjualan lada dari perkebunan antara Kuala Njoeng dan Kuala Panteraja. Di kaki bukit tersebut terdapat kuburan Tu Uleegle yang tewas ketika menyerang benteng Portugis sekitar tahun 1521.
Tu Uleegle merupakan kakek dari Meuntroe Adan dan Bentara Seumasat Geulumpang Payong. Meuntroe Adam kemudian diangkat menjadi Laksamana oleh Sulthan Alaaddin Djohan Sjah (1742-1767). Sementara Potjut Muhammad diangkat menjadi Wali Nanggroe Pidie.
Di Panteraja Sulthan Iskandar Muda melatih lagi tentara baru di sebuah tanah lapang yang dinamai Blang Peurade. Daerah itu sampai kini dikenal dengan nama Peurade yakni daerah bekas dilakukan parade pasukan oleh Sulthan Iskandar Muda yang diambil dari berbagai daerah yang dilaluinya.
Setelah parade pasukan, Sulthan Iskandar Muda terus bergerak bersama ribuan prajurit ke arah timur. Daerah yang diallui pertama oleh parade pasukan itu dinamia Juroeng Beurangkat, yang artinya lorong (jalan) berangkatnya Sulthan. Sampai di suatu daerah, rombongan Sulthan diminta untuk singgah dan istirahat oleh penduduk yang menantinya. Di tempat itu Sulthan dipersilahkan duduk (Puduek) dan dijamu dengan tebu dan kelapa muda. Daerah itu kemudian dinamai Puduek yang artinya dipersilahkan duduk.
Dari Puduek Sulthan Iskandar Muda bersama bala tentaranya terus bergerak ke arah Timur hingga sampai ke sebuah daerah yang di pinggir jalannya terdapat pohon besar. Di bawah pohon itu Sulthan melihat sebuah umpang (karung). Tetapi pemilik karung itu tidak berada di situ. Sulthan memerintahkan bawahannya untuk mencari pemilik karung tersebut.
Kepada orang-orang di sekitar itu ditanyakan siapa pemilik karung itu. Seorang warga memberitahu bahwa karung itu milik seorang pria tua. Orang Aceh menyebutnya eumpang wa, yang berjalan lebih dahulu dari bawah pohon tersebut. Daerah itu kemudian dinamai Eumpang Wa, lama-lama berubah pengucapannya, hingga kini dikenal sebagai daerah Pangwa.
Seorang prajurit kemudian menjinjing karung itu untuk menyusul pemiliknya, namun setelah sekitar satu jam perjalanan, tak ditemukan, hingga Sulthan dan rombongan kemudia kembali istirahat di pinggir sungai kecil. Karena tak berhasil mencari pemilik karung tersebut, Sulthan memerintahkan prajurit itu untuk membukanya. Saat dibuka ternyata isinya beulacan (belacan). Sungai dan daerah pun dinamai Beulacan, yang kini dikenal sebagai Kemukiman Beuracan.
Dari Beuracan rombongan Sultan Iskandar Muda terus berjalan untuk menjumpai Tgk Jalaluddin Pakeh yang akan diangkatnya menjadi panglima perang. Sampai di suatu tempat, gajah yang ditunggangi Sulthan berhenti di sebuah bukit. Gajah yang dipanggil Meurah itu duduk di bukit itu di bawah pohon rindang.
Gajah duduk dalam bahasa Aceh disebuh Meurah Du, maka daerah itu pun dinamai Meurah Du, yang lama kelamaan pengucapannya berubah menjadi Meureudu, kota yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Pidie Jaya. Negeri Meureudu dulu diperintahkan oleh seorang Keuhruen Syik dengan 12 uleebalang di bawahnya.
Karena sudah sore, Sulthan menginap di negeri Meureudu untuk menjemput Tgk Japakeh dan Malem Dagang. Sulthan dan rombongan menginap agak ke timur dari daerah gajah duduk. Daerah itu dinamai dom sinaroe, yang bermakna bermalam bersama. Kini dikenal sebagai daerah Naroe.
Esoknya, Sulthan Iskandar Muda mengadakan rapat dengan Uleebalang dan panglima di negeri tersebut yakni: Tgk Jalalauddin Fakih (Tgk Japakeh) Tgk Malem Dagang dan Teungki Chik Pante Geulima di Meureuedu, Bentara Blang Ratna Wangsa, Meuntroe Adam, Bentara Keumangan, Bentara Seumasat Geuleumpang Payong, Bentara Puteh Mukim VIII, serta para petinggi negeri dan ulama di daerah itu.
Dalam pertemuan dengan Tgk Ja Pekeh di Meureudu, kepada Sulthan Iskandar Muda diusulkan agar Malem Dagang diangkat menjadi Panglima perang menyerang Semenanjung Malaya. Hal itu diterima olehg Sulthan dan Malem Dagang pun diangkat menjadi panglima.
Rapat itu juga menghasilkan kesepakatan bahwa seluruh rakyat negeri Meureudu dan Pidie mendukung perang yang akan dilakukan Sulthan. Sulthan Iskandar Muda mengangkat dan mengambil sumpah pejabat pemerintahan di Negeri Meureudu dan Pidie. Kepada mereka diberikan gelar kehormatan Mentroe (Menteri) dan Bentara (perwira), serta panglima dan keujruen bagi Uleebalang yang menjabat di Kuala dan Rimba.
Jabatan kehormatan Meuntroe diberikan kepada, Meuntroe Banggalang, Aree, Garot Metareum dan Krueng Seumideun. Sedangkan jabatan kehormatan Bentara diberikan kepada Bentara Rubee, Tjembo, Titue Keumala, Gigieng, Pineung, Blang Gapu, Gampong Asan, Ndjong, Tanoh Mirah dan Luengputu.
Sementara jabatan kehormatan Keujruen diberikan kepada, Keujruen Teurusip, Aron Langieng, Musa, Pante Raja, Pangwa. Dan panglima yang menjaga perintah turun ke sawah diangkat Panglima Meugoe Unoe. Untuk memimpin armada dan tentara kerajaan yang akan menyerang Semenanjung Malaya itu, Malem Dagang dari Negeri Meureudu diangkat menjadi Panglima dengan jabatan panglima besar.
Setelah menginap beberapa hari di Negeri Meureudu dan mengumpulkan lagi pasukan di sana, rombongan Sulthan Iskandar Muda bergerak lagi menuju ke arah timur. Pada tengah hari rombongan itu tiba disebuah kelokan sungai yang berair dingin dan jenih. Air sungai yang deras mengalir di celah batu-batu besar yang disebut Batee Ile, batu dengan air mengalir. Daerah inilah dinamai Batee Ile yang sekarang dikenal sebagai tempat wisata Batee Iliek.
Setelah mandi dan sembahyang di Batee Ilek, rombongan Sulthan menuju ke sebuah perkampungan dekat sungai itu. Daerah itu terdapat sebuah tumpukan rumah yang jumlah rumahnya ada enam puluh. Sulthan menamai daerah itu Tumpok Namploh, yakni desa dengan enampuluh rumah. Di kampung itu rombongan Sulthan juga bermalam. Kampung itu ramai karena letaknya di aliran Krueng Batee Iliek yang jernih. Di Tumpok Namploh Sulthan juga merekut para pemuda untuk memperkutan barisan tentaranya.
Pada pagi harinya, prajurit dan para perwira mandi di sungai. Saat berenang datanglah seekor elang yang menyambar tali pinggang putih di atas pantai, milik salah seorang perwira. Tali pinggang itu mungkin dikira ular oleh elang sehingga disambar. Elang itu terbang dan kemduian berhenti di atas bak nga (pohon kenang)
Perwira yang sedang berenang itu terkejut, lalu mereka beramai-ramai mengejar elang itu. Karena takut elang itu terbang lagi dan menyambar pohon kenanga. Maka elang itu disebut kleung sama bak nga, artinya elang yang menyambar pohon kenanga. Hal itu pula yang menurut H M Zainuddin sebagai asal usul dari nama Samalanga.
Dari Samalanga rombongan Sulthan kemudian berangkat lagi menuju pesisir timur. tidak berapa jauh dari Samalanga di tengah jalan rombongan itu dilintasi oleh sekawan kera (bue). Mereka menyeburnya ditham le bue, yakni dilintasi oleh kera. Karena itulah daerah padang yang dilalui itu dinamai Tham Bue, yang kini dikenal sebagai daerah Tambue.
Rombongan Suthan kemudian berjalan sampai menjumpai sebuah kuala. Karena sudah sore mereka bermalam di situ. Warga sekitar kemudian mengantarkan hidangan ala kadar untuk rombongan Sulthan dan tentaranya. Di antaranya hidangan dan sarapan itu terdapat isi satu piring sambal yang diantar oleh seorang wanita. Sambal itu terbuat dari ikan dan direbus seperti petis udang. Orang Aceh menamai sambal itu “peuda” dan karena rasanya sangat pedas maka mereka itu menyebut terlalu pedas dengan kata peuda da yang kemudian menjadi nama daerah tersebut; Peudada.
Esoknya Sulthan melanjutkan perjalanan hingga sampai ke suatu kuala besar yang dijaga oleh kapal perang raja di dekat daerah Jangka. Daerah itu pun dinamaka Kuala Raja, kuala yang dijaga oleh kapal perangnya raja.
Di situ Seri Sulthan memanggil pula para uleebalang untuk meminta orang ikut pergi menjerang Malaka. Tapi banyak yang takut dan tak ingin ikut dalam rombongan tersebut mereka takut akan terlibat dalam perang besar. Mereka melarikan diri ke dalam rimba. Orang-orang yang ketakutan itu dipanggil ka yo (sudah takut). Pengucapannya lama kelamaan berubah menjadi ga yo. Kelompok orang-orang yang lari dari ajakan perang inilah yang disebut H M Zainuddin sebagai orang-orang Gayo sekarang.
Uleebalang daerah itu merasa malu karena para pemudanya tidak berani ikut berperang. Karena itu, uleebalang minta maaf dan mempersilahkan suthan dan rombongannya melanjutkan perjalanan ke Timur. Namun uleebalang itu berjanji akan menyuruh orang-orang yang lari ke rimba itu untuk menangkap gajah dan akan dipersembahkan kepada Sulthan nanti setelah pulang dari perang.
Ketika rombongan dipersilahkan untuk melanjutkan perjalanan itulah, timbul olok-olok dari kalangan tentara kerajaan yang ramai-ramai berteriak peusak ngon, yang atrinya mendesak kawan. Hal itu diucapkan karena uleebalang itu mendesak para tentara untuk melanjutkan perjalanannya, sementara uleebalang itu sendiri tidak memberikan pemudanya untuk menjadi tentara yang akan berperang ke Malaka. Dari kata peusak ngon itulah asal usul nama daerah Peusangan.
Dari Peusangan, bala tentara dan Sulthan terus melanjutkan perjalanan sampai ke suatu negeri yang bernama Kandang. Mereka berhenti di situ. Sulthan kembali meminta para pemuda di sana untuk bergabung dalam angkatan perang untuk diberangkatkan menuju Malaka. Tapi warga di sana meminta keberangkatan di tunda dulu, mereka belum siap berangkat karena tanaman padinya belum dipanen. Karena itulah daerah itu dinamai tunda yang bermakna menunda keberangkatan, sebuah daerah yang kini kita kenal dengan nama Cunda.
Setelah orang-orang di Cunda siap untuk berangkat, rombongan menuju sebuah teluk yang indah, tapi sepi karena ditinggal pergi penduduknya. Di daerah itu hanya tinggal seorang nelayan tua yang sedang memancing. Rombongan Sulthan bertanya pada nelayan itu kemana para penduduk. Ia menjawab bahwa para penduduk sudah pergi, “Seuma-seuma ka iweh, (kuman-kuman sudah pergi),” jawab nelayan itu. Daerah itupun dinamai Seuma weh, daerah yang kini dikenal sebagai Lhok Seumawe.[]
Artikel keren lainnya:
2 Tanggapan untuk "Rapat Sulthan di Negeri Meureudu"
Ada yang berbeda terkait dengan daerah kelahiran saya yaitu tentang sejarah penamaan Namploh, Namploh itu bukan nama Kampung atawa desa, namun nama dari sebuah kawasan yang terdiri dari beberapa Gampong, meliputi Namploh Baro, Namploh Blang Garang, Namploh Krueng, Namploh Manyang dan Namploh Papeuen. secara turu menurun dikisahkan bahwa Penaman Namploh itu berawal dari sejarah Pembukaan pemukiman Baru dengan 60 buah Parang oleh sejumlah warga Aceh Rayeuk yang hijrah ke kawasan tersebut karena dikejar oleh Panglima Tibang.
Panglima Tibang tidak pernah berperang, karena ketika Aceh diinvasi oleh Belanda ia sudah menyerah pada Belanda di Singapura.
Post a Comment