Untuk membantu
serangan ke Aceh, ratusan pekerja paksa dikirim dari Jawa. Belanda menyebutnya beer
atau beeren. Orang Aceh
menyebutnya Simeuranté. Orang-orang yang dirantai.
Pada agresi
pertama Belanda ke Aceh. Bersama 2.100 tentara pribumi dari Jawa, Belanda
mengikutsertakan 1.000 orang hukuman sebagai pekerja. 220 diantarnya wanita.
Keberadaan mere di Aceh selains ebagai pekerja paksa yang membangun rel kereta
api, juga pennagkut logistik. Sebagian dari budak asal Jawa itu meninggal
karena letih dan lapar.
Dalam buku “Atjeh”
H C Zentgraaff mengatakan, kuburan para pekerja paksa itu dibuat seadanya.
Malah tak jarang mayat-mayat orang hukuman itu dibiarkan tergeletak begitu
saja. “Mayat-mayat itu ada yang jadi makanan binatang buas,” tulis Zentgraaff.
Media-media
Belanda mengakui keberadaan orang hukuman dari Jawa itu. De Nieuwe
Rotterdamsche Couran misalnya. Pada edisi Januari 1983 koran itu menulis.
“Usaha yang lainnya adalah usaha-usaha dalam pekerjaan umum, membangun dinas-dinas
angkutan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan ekspedisi di wilayah yang akan
memberikan sahamnya bagi sejarah kettingbereb (pekerja-pekerja paksa)
dalam pekerjaan menentramkan daerah-daerah dan membuka berbagai daerah.”
Selain
memngangkut logistik tentara, mereka juga sering dijadikan tameng saat perang
di daerah-daerah pedalaman, malah ada yang ikut berperang. Sebagai upah, mereka
hanya mengharapkan keringanan hukuman, atau bahkan dibebaskan dari status
budak.
|
Beer/beeren orang-orang Jawa yang dirantai dibawa ke Aceh |
Kadang kala
untuk resiko yang sangat besar sekalipun, para pekerja paksa itu mempertaruhkan
nyawanya, hanya untuk mendapatkan sebatang rokok dari marsose. Lebih beruntung
bila mereka diberikan baju bekas milik tentara Belanda tersebut.
Ketika tentara
Belanda (Indiche Leger) baru memiliki 18 batalion infantri di Aceh, para
pekerja paksa itu yang mengorbankan segalanya untuk mendapat sedikit hadiah
atau dikurangi masa hukuman. Kumpulan pekerja paksa ini dijuluki sebagai
batalion ke 19 atau batalion merah, sesuai dengan baju yang mereka pakai.
Peristiwa di
Meureudu
Saat pos Belanda
di Meureudu terkepung pada tahun 1899. Komandan Belanda sangat khawatir karena
tidak mampu menghadang serbuan gerilyawan Aceh. Padahal dalam benteng itu
terdapat 150 pasukan Belanda yang segar bugar.
Komandan Belanda
di Meureudu pun kemudian meminta kepada seorang pekerja paksa (beer)
asal Madura untuk mengantarkan surat mohon bantuan tambahan pasukan dari pos
Belanda di Panteraja. Beer tersebut harus berlari seorang diri menerobos semak
belukar dan menyebrangi tiga sungai (krueng), mulai dari Krueng Beuracan,
Krueng Tringgadeng dan Krueng Panteraja.
Dengan wajah
letih dan badan penuh goresan duri. Esok pagi beer tersebut berhasil
menyampaikan surat itu ke pos Penteraja. Dalam keadaan gawat seperti itu
Belanda kemudian mengirim delapan brigade morsase dari Pidie menuju Meureudu.
Para masrsose di
Panteraja terkehut ketika mereka sedang mandi muncur beer pengantari surat itu
dari dalam air. Ia segera bertanya dimana kapten pasukan Panteraja. Setelah
dipertemukan, ia pun mengelurkan sebuah lipatan surat dari dalam ikatan
kepalanya. “Dari komandan Mardu (Meureudu-red) kepada tuan komandan
Marsose,” kata beer tersebut sambil menyerahkan surat itu.
Dalam surat itu
komandan Marsose di Meureudu memberitahukan bahwa dia sudah tidak tidak
mempunyai opsir-opsir lagi, dan serdadu-serdadu dalam pos tersebut sudah luntur
semangatnya akibat digempur pasukan Aceh.
Beer yang
berhasil membawa surat itu kondisinya sangat memprihatinkan, karena keletihan
setelah menyerahkan surat itu, ia jatuh pingsan. Ketika sadar kepadanya
kemudian diberikan semangkuk coklat, roti dan sepotong daging tebal sebagai
imbalan.
Seorang pekerja
paksa maklum, bahwa dengan berhasilnya melaksanakan tugas yang berani seperti
itu, sudah dapat dipastikan kebebasan penuh. “Namun beberapa banyak dari mereka
itu yang tidak pernah dapat kembali dari menjalankan perintah seperti itu?
Siapa yang dapat mengetahui bagaimana cara kematian mereka?” tulis Zentgraaff.
Diadu Sesama Beer
Para pekerja
paksa (Beer) dari Jawa yang bekerja untuk Belanda di Aceh, kadang bersikap
licik dan culas untuk sedikit mengurangi beban kerjanya. Tapi kemudian mereka
diadu domba dengan mengangkat seorang mandor dari kalangan beer itu sendiri
untuk mengawasi dan menghukum mereka-mereka yang licik.
Hal ini kerap
terjadi pada pekerja paksa rombongan transport yang membawa perbekalan dan
barang kebutuhan (logistik) marsose ke suatu wilayah. Seperti yang terjadi pada
rombongan transpor pimpinan Letnan Jenae yang dikenal sebagai komandan kecil,
tuan si cabe rawit.
Jenae merupakan
seorang letnan yang masih muda. Pada tahun 1905, dengan kekuatan dua pasukan
infantri bersenjata 40 karaben dengan bayonet, mengawasi 400 orang pekerja
paksa dari Kuala Simpang ke Penampaan, Blang Kejeren. Barisan pekerja paksa
yang mengagkut barang-barang tersebut panjangnya melebihi satu kilometer dan
diawasi oleh 40 tentara. Jeane berpendapat sepuluh pekerja paksa diawasi oleh
seorang tentara bersenjata.
Para pekerja
paksa itu mengangkut jenever (minuman keras-red) untuk para
marsose di medan perang, berkaleng-kaleng minyak tanah untuk pasukan di
bivak-bivak. Barang bawaan itu tentu sangat memberatkan para pekerja paksa.
Dengan mendaki gunung dan menuruni lembah, mereka memikul beban berat itu. Di punggung mereka barang-barang tersebut
diikatkan.
Namun para
pekerja paksa yang licik dengan segala cara membuat agar muatan barang yang
dibawanya itu berkurang sedikit demi sedikit. Kaleng-kaleng minyak dibuatnya
menjadi bocor dengan cara menumbukkan benda keras dan tajam ke kaleng minyak
itu, sehingga sedikit demi sedikit minyak itu tumpah.
Begitu juga
dengan minuman keras. Poci-poci jenever dibuat berkuarang isinya sedikit
demi sedikit. Sementara tenda-tenda perkemahan yang mereka angkut, yang
merupakan barang bawaan yang paling dibenci para beer karena besar dan berat,
sering dihanyutkan saat menyeberangi sungai. Sehingga ketika sampai ke tujuan
barang bawaan mereka tinggal setengahnya saja.
Letnan Jenae
kemudian membuat peraturan baru bagi para pekerja paksa penangkut logistik
tersebut. Pekerja paksa yang dianggap paling brandal dan ditakuti diangkatnya
sebagai mandor untuk mengawasi para pekerja paksa lainnya. Kepada para mandor
itu diberi tanggungjawab menjaga agar barang bawaan tidak berkurang satu pun.
Setelah berjalan
beberapa hari, pasukan Jenae yang mengawasi 400 pekerja paksa itu kemudian tiba
di Brawang Tingkeum, suatu daerah yang diankap angker waktu itu. Di sana mereka
harus menyebrangi sungai Wih Ni Oreng. Dari seberang sungai, mereka ditembaki
oleh para pejuang Aceh.
Para pekerja
paksa yang terjebak dalam sungai saling berpegangan tangan agar tidak hanyut.
Sementara 40 tentara Belanda pimpinan Letnan Jenae yang mengawasi pekerja paksa
tersebut membalas tembakan para pejuang Aceh yang berada di tebing sungai.
Sementara para
pekerja paksa yang membawa barang yang berada paling belakang tidak mendapat
pengamanan. Dari rumput alang-alang 20 orang Gayo keluar menyerang dan merampas
barang bawaan para pekerja paksa itu. [Iskandar
Norman]
Belum ada tanggapan untuk "Simeuranté, Budak Jawa di Aceh"
Post a Comment