H C Zentgraaff,
penulis Belanda, mantan tentara dan Redaktur Java Bode, sangat terkesan dengan Kimun, ia dibawa ke Aceh pada
tahun 1896 sebagai pekerja paksa dengan hukuman 20 tahun. Kimun berada di Aceh
pada masa Teuku Umar melakukan taktik menipu Belanda dengan menyerah pura-pura.
Setelah Teuku
Umar menyebrang dan memimpin kembali perlawnaan rakyat Aceh terehadap Belanda,
Kimun menawarkan dirinya untuk menembus daerah kepungan pasukan Aceh untuk
mengantar surat kepada pasukan Belanda di daerah lain.
Tindakan itu
diambil Kimun agar Belanda mengurangi masa hukumannya di Aceh dan dia berharap
bisa segera dipulangkan ke Jawa. Namun ia Kimun yang menjadi kurir pengantar
surat tersebut ditangkap oleh gerilyawan Teuku Umar. Ia mengalami luka parah,
badannya yang penuh sabetan pedang dibuang ke sungai.
Dalam keadaan
yang hampir tak bernyawa lagi itu, tubuh Kimun ditemukan Belanda terapung di
pinggir sungai di daerah Lambaro, Aceh Besar. Belanda kemudian merawat dan
mengobatinya. Meski ia gagal mengantar surat, namun ia kemudian dibebaskan dari
hukuman. Ia diperbolehkan untuk kembali ke Jawa.
|
Teuku Umar bersam para panglimanya |
Tapi Kimun
menolaknya, karena merasa dendam terhadap orang Aceh yang menyiksanya dengan
sabetan pedang dan membuang tubuhnya yang hampir mati ke sungai. Ia tetap
tinggal di Aceh dan bekerja sebagai “jongos” pada Grasfland, seorang opsir
Belanda.
Ketika Grasfland
meninggal, Kimun pindah ke rumah opsir lainnya dan tetap bekerja sebagai
“jongos” di Lhokseumawe. Pada suatu hari, ia membeli sebotol limun di Keude
Cina, ketika ia hendak minum, seorang polisi datang hendak menangkapnya, karena
mengira ia pekerja paksa yang lari dari tugas. Kimun kemudian memukul kepala
polisi itu dengan botol limun tersebut.
Atas
perbuatannya itu Kimun kemudian dihukum sepuluh tahun. Ia kemudian dikirim ke
Jambi sebagai pekerja paksa. Dari Jambi kemudian dia dibawa ke Menado. Dari
sana ia kemudian dibawa ke Surabaya dan dibebaskan dari sisa hukumannya.
Namun disana ia
meminta kepada Velman, opsir Belanda yang pernah bertugas di Aceh, agar ia
dibawa kembali ke Aceh. Veltman pun menerimanya. Ia dipekerjakan sebagai jongos
masak memasak di Tapaktuan.
Karena
pembawaannya yang agresif itu, Kimun tidak lama berada di Tapaktuan, karena
Veltman tak ingin Kimun mengalami gangguan mental akibat traumanya dengan
orang-orang Aceh. Ia kemudian diambil oleh Hein Meijer, seorang Belanda, kadet
perang di Aceh. Namun disana pun ia membuat masalah sehingga Meijer
menghukumnya. Kimun jadi mati kutu dan tanpa pikir panjang dari Tapaktuan
kemudian ia mertas pegunungan menuju Sigli. Tak jelas bagaimana nasibnya
kemudian dalam perjalanan tersebut.
Beer di Rel Trem
Orang hukuman
dari Pulau Jawa yang dibawa ke Aceh, tidak hanya menderita karena kerja paksa
dan kelaparan. Sebagian ada yang meninggal karena dicambuk karena ketahuan
mencuri.
H C Zentgraaff,
manggambarkan penderitaan pekerja
paksa tersebut, yang sehari-hari dipanggil dengan nama binatang; si babi
lanang. Sebagian besar pekerja paksa pada kelompok ini mati secara mengenaskan
di rimba-rimba Aceh. Mayat mereka pun dibiarkan tergeletak begitu saja di
jurang-jurang bebatuan, menjadi santapan binatang buas.
Sementara
kelompok kereta api, yang bertugas membangun rel, meski tidak harus
menggadaikan nyawa dalam perang. Penderitaan mereka lebih berat. Mereka dipaksa
bekerja sampai kehabisan tenaga, sedangkan makanan sangat kurang, bahkan tak
ada sama sekali.
Ada juga di
antara mereka yang tidak masuk hitungan sama sekali, yang senantiasa harus
memikul barang bawaan yang berat, sampai-sampai mereka jatuh terkulai karena
kehabisan tenaga. Bagi mereka yang enggan melaksanakan perintah, akan didera
dengan cambukan rotan. “Saya tidak dapat menghilangkan kenangan saya akan wajah
beberapa orang pekerja paksa (beer-beer), masing-masing berdiri pada batang
pohon, terikat tali, untuk menerima hukuman sebanyak 25 pukulan cemeti rotan,”
ungkap Zentgraaff.
Menurut
Zentgraaff mereka yang dicambuk itu biasanya para beer yang kedapatan mencuri
makanan atau barang-barang milik Belanda. Kadang-kadang mereka juga mencuri
senjata untuk dijual kepada pejuang Aceh. “Penipu-penipu yang tak dapat
dipercaya ini terdapat pula dalam pasukan, serta tidak dapat meninggalkan
kebiasaan merampok dan mencuri,” lanjutnya.
Diantara
beer-beer itu terdapat pula cukup banyak orang –orang pemberani, yang
seringkali mendapat perintah–perintah berbahaya. Saat Belanda menerapkan taktik
perbentengan terpusat untuk melawan pejuang Aceh, saban pagi para pekerja paksa
itu menyusuri rel trem untuk memeriksa ganjalan-ganjalan rel dan memperbaiki
sekrup yang longgar.
Hal itu harus
mereka lakukan karena pasukan Aceh pernah sering meletakkan bahan peladak di
rel trem, yang bila tersentuh roda tren akan meledak dan menyebabkan kematian
di pihak Belanda. Bahan-bahan peledak itu didapatkan pejuang Aceh dari
serdadu-serdadu Eropa bayaran Belanda yang menyebrang ke pejuang Aceh.
Untuk
mebersihkan ranjau-ranjau dan bahan peledak di rel trem, setiap malam para beer
harus menjaga lampu yang terdapat di luar benteng pertahanan. Sering kali
mereka juga harus mengantarkan surat-surat dari satu pos ke pos lainnya melalui
daerah-daerah berbahaya yang dikuasi gerilyawan Aceh.[Iskandar Norman]
Belum ada tanggapan untuk "Kisah si Kimun dan Teuku Umar"
Post a Comment