Senja saga itu telah hilang. Selimut malam melenyapkannya dalam hayal dan mimpi lanang. Pada harapan yang putus kau masih terus mengenangnya. Mengenang lukanya, lukamu, lalu kenapa kau pilih aku untuk bercerita pada debat yang itu-itu juga.
Kawan! Malam telah merangkak sujud ketika kutulis surat ini untukmu. Tak perlu kita perdebatkan kekalahan, terimalah itu sebagai hukuman. Aku memilih diam saja, menikmati ketakpengathuanku atas celotehmu.
Ada-ada saja sakit yang kau punya. Tapi muntahannya selalu kau bawa padaku. Tak apa kawan, demi sebuah luka yang tak sanggup kau pikul. Itu cukup bagiku untuk mengerti. Kutulis surat ini tentang sagamu yang hilang, yang terus saja kau perdebatkan benar salahnya. Aku bukan hakim yang pandai bertitah, hanya menerima apa yang kau ruah untuk sebuah kelegaan.
Kuusahakan sebelum malam pasrah pada pagi, surat ini telah rampung kulipat untuk kukirim padamu. Karena sekarang kurasa lukamu tak hanya cukup untuk kita perdebatkan saja. Kita sudah terlalu lelah pada ranah yang itu-itu saja. Seperti kala sore itu, ketika wajahmu memelas ingin bagi luka.
Padahal aku ingin menagih senyuman yang telah jadi utang antara kita. Utang percakapan yang tak pernah usai tentang senja merah saga. Percakapan yang membuat gelas-gelas itu terus terisi. Dan kita mengaduknya dengan kepekatan. Sepekat khayalmu tentang kebahagiaan yang sirna, setelah digagahi angkuh, ketika kau meninggalkannya.
Entah pada tegukan keberapa, kau mengiba seperti harkat tanpa martabat. Kau permalukan dirimu atas nama rasa. Begitu rapuhnya sudah kulihat kekekaran, ketika maksudmu tak terjembatani di dua tebing terjal; hatimu dan hatinya.
Senja itu telah lewat, tak perlu lagi kita bercerita tentang rona merah saga, lambang cinta dirimu dan dirinya. Esok ceritakan saja tentang kelam malam yang membunuh senja itu, mengganti saga dengan langit bopeng memeluk bintang. Lalu kita sama-sama memeluk malam dengan mimpi, sembari berharap besok atau lusa senja saga itu hadir kembali, entah pada hati yang mana, karena nanti ketika surat ini kulipat untukmu, malam telah menyerah ditikam fajar. Lalu aku bisa meniti doa pada penghambaan, agar tak ada lagi pipi yang basah dengan derai air mata, ketika aku melihatmu.
Tak perlu lagi kau berharap, setelah pertemuan senja silam. Rindu dan cinta tak lagi terjaga dalam seelok-eloknya perasaan. Kisah dalam jejak retak telah usang dimamah masa. Prasangka telah membuatnya gamang, hingga bunga itu tumbuh di lain hati.
Rindu telah pulang kawan, gelora masih menyala, tapi bukan padamu. Ia kembali ke rumah lain, tempat hati yang luang menunggunya. Sekarang apa makna cinta bagi si patah hati seprtimu, selain meratap dalam luka yang kau gali di hatinya.
Hatinya telah patah setelah lima puluh purnama silam tanganmu pergi tanpa lambaian. Serpihan kenangan lalu itu kini terangkai kembali. Kamu tak akan pernah lagi mampu meyakinkannya untuk kembali dalam luka yang masih menga-nga. Kau tak ubahnya pengiba di celah murka. Haruskah hatinya runtuh luluh kembali, setelah aku terlalu jauh menyepih luka padanya. Memorinya sudah retak, meski gairahmu tak pernah ciut mengingatnya.
Senja lalu di pantai itu, ketika kau hendak melihat kembagi saga yang hilang, bukankah pernah dia berkata padamu, dia belum gila untuk kembali gila padamu yang meninggalkannya berpuluh purnama dulu. Kau akan terus menyalami kebisuan angan. Dan wajah rindumu padanya akan selalu pulang dengan luka.
Kini kau dan dia tak ubahnya senar yang terbentang pada gitar yang sama, mendenting dalam lagu yang sama, tapi jarinya berada pada chord yang beda. Senar yang terbentang pada gita nada yang sama, tapi ujungnya tak pernah menyatu. Kau pernah jadi kelebat indah dalam bayang bulan separuhnya, tapi mendung menenggelamkannya dalam badai yang merontokkan bunga-bunga, padahal purnama baru setengah musim.
Rindumu padanya kini sunyi tanpa jawab. Kau akan terus terjerat kelebat rasa, karena geloramu tak pernah tertanggap hasratnya untuk sebuah pemenuhan ulang. Jiwamu telah terkurung pekat, tak terpikat pada rindu-rindu lama. Cinta tak akan datang lagi pada gapai, tak ada lagi dekapan rindu dengan desah yang sama. Rindumu dan rindunya kini tak lagi sewarna, senja sagamu telah hilang.
Kawan! Tak perlu lagu kau menambal asa, rindumu padanya tak akan terbayar dikecp hayal, sampai puncak malam pasrah digagahi pagi, rindumu akan terus bergelantungan, tak akan mampu kau tiup lagi padanya. Rindumu sepi tak terjawab. Biarlah fajar berbisik nanti, membawa gelora yang terpelanting, memupuskan mimpi-mimpi.
Kelebat rindu hanya tipu daya. Rindumu tak pernah lagi bisa membungkuk takjub padanya, meski kau telah menggilainya. Benci akan tetap tersemai lama, karena dia tak lagi mau mengeja namamu. Apalagi meletakkannya pada bait-bait puisi kerinduan.
Sahabat! Siapa yang menabur angin akan menuai badai. Bukankah itu dulu pernah kuingatkan padamu berulang-ulang. Kini kuingatkan lagi bahwa badai itu telah menyentuh hidungmu, saat ia bisa menikmati desah basah lelaki lain di malam dingin. Kau boleh terus menggigil dengan satire tiada akhir. Tapi dia di sana terbaring dalam embun di kamar beraoma kuntum.
Biarkan ia meinkmati semua itu, karena bukan hak mu untuk merebut senyumnya ketika kau tak lagi mampu tertawa. Angin yang kau tabur telah jadi badai kawan. Dan sebentar lagi terpaanya akan menghempas selimut malammu, selama engkau larut dalam luka yang itu-itu saja. Kau yang membuat luka di hatinya, kenapa sekarang parutnya tumbuh di hatimu, ketika ia sudah sembuh dari khianat yang laknat itu.
Dulu kau membuat parut dan menghapusnya, kini parut lain kembali bernanah tanpa perban. Tak usah kau sebut lagi dia. Lukamu untukmu dari badai yang kau punya. Kau sudah terlalu banyak tidur kawan, hingga ketika bangun tak sadar ada senyum lain untuk penyembuh luka.
Tapi, tidurlah, bila dalam tidur itu kau akan terus bermimpi tentang sesal hati karena mencampakkannya. Lalu ketika bangung, hayal kembali nuansa bahagia, yang entah dalam angan mana akan engkau jumpa. Lalu setelah kau tak lagi punya mimpi itu, dan anganmu itu basi tanpa gapai, kembali datang padaku agar kita menghadau meja lama lagi, tempat secangkir kopi mengisi obrolan yang tak putus. Ketika itu kau akan lupa tentang dia yang kau sakiti, yang mengembalikan rasa yang sama setelah kau beri.
Dan ketika kau bisa tersenyum kembali, luka itu kita aduk dalam kopi di meja pelampiasan. Biar pekatnya hilang tertelan, dan esok kau muntahkan kembali di pembuangan. Begitulah senja saga yang mati kawan, harus diaduk dan ditelah untuk dibuang.
Sahabat! Lupakanlah dia, meski di meja kamarmu masih terpampang senyumannya. Biar kita bercerita tentang hari esok, tentang jembatan di tebing hati lain yang bisa kau bangun meski jurangnya terlalu terjal dan dalam.
Pada senja-senja selanjutnya, merah saga itu akan kembali datang, tapi jangan ajak aku untuk mengaduk dan menelannya lagi dalam obrolan satire di meja itu. Tapi pada magribnya bawa senja saga itu ke malammu, baringkan ia dengan cinta, karena besok kau harus menjaganya tetap bersinar di batas senja. Pada hati yang lain.[]
(Antara Meureudu – Saree, 29 April dini hari)
1 Tanggapan untuk "Saga yang Hilang"
saya gang hilang
Post a Comment