Kali ini aku menulis koma, bukan titik. Koma adalah jeda, pemisah satu hal ke hal lain. Penjelas suara dalam kata, jamak disebut fonem. Antara kata dan frasa koma selalu dibutuhkan.
Tapi aku bingung, di sini koma tak mampu deskripsikan suara. Entah bisu atau aku yang pekak. Antara satu koma dengan koma lain, berjejer bahasa penjelas yang semakin tak jelas.
Aku coba pelajari kembali les voyelles, agar koma bisa berbuah nyanyian, bukan debum dentum di kegelapan. Orang Prancis memahami koma sebagai accent aigu, accent graver, dan accent circonflexe. Sama dengan Aceh yang memiliki â, ê, ô, é, à, ë dan banyak lagi.
Koma pada accent-accent itu mampu menjelaskan bunyi dengan ragam fonemnya. Namun, di sini aku masih saja menemukan koma dalam satu makna, pada suara yang monoton.
Sebagai jurnalis menimang koma, saya ingat Dian Sastro dalam Dunia Tanpa Koma, yang menghadirkan pemahaman dua sisi berbeda wartawan dengan narasumbernya. Tapi tinggalkan Dian dalam dunia tanpa komanya, karena aku ingin punya koma.
Koma yang kuinginkan itu majemuk, tidak tunggal. Ada koma di belakang nama untuk titel, ada koma pengapit kata untuk menyentil makna beda yang diapitnya. Ada pula titik koma, yang mengulang makna serupa kalimat sebelumnya.
Di sini aku sedang bergelut dengan titik koma, pada penjelasan yang itu-itu juga. Jadilah kerja hanya rutinitas pada hasil yang sama, karena titik koma tak mampu jelaskan makna yang beda.
Dalam pergelutan itu, kucoba buang satu koma, agar titik koma jadi titik dua. Titik titik yang bermakna penyebutan di antara sederetan koma. Ada sela penuh beda dari satu ruas koma ke ruas lainya. Maka kerja pun penuh variasi, tak lagi monoton.
Tapi aku ragu, karena koma masih saja bermakna tunggal. Dan kerja masih jalan di tempat. Ini bahaya pikirku, koma seperti ini dekat dengan ICU. Nah, koma di ICU tentu maknanya lain, ia sering dekat dengan kematian.***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Koma"
Post a Comment