Banyaknya peninggalan kolonial di Aceh bisa dikemas menjadi paket wisata alternatif. Paket yang bisa dijual kepada wisatawan luar negeri, khususnya Belanda.
Tulisan ini mencoba mengangkat kembali beberapa situs peninggalan Belanda di Aceh. Sebagai langkah pertama bisa diawali dari Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Alasannya, Bandar Udara (Bandara) Internasional Sulthan Iskandar Muda (SIM) yang menjadi gerbang masukknya wisatawan berada di Blang Bintang, Aceh Besar. Kemudian Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi menjadi kota yang harus disinggahi wisatawan sebelum menuju ke daerah tingkat dua lainnya.
1. Pante Ceureumen
Untuk memberi pemahaman yang runut kepada wisatawan, tur paket wisata kolonial bisa diawali dari jalur pertama Belanda masuk ke Aceh yakni di Pante Ceureumen di Ulee Lheu. Sayangnya, nama Pante Ceureumen kini sudah hilang dari peta Kota Banda Aceh.
Pembagunan proyek pelabuhan Ulee Lheu membuat daerah tempat pertama Belanda menjejakkan langkahnya di Aceh itu hilang. Pante Ceureumen sebelum tsunami terbentang mulai dari Ujung Jembatan Ulee Lheu sampai ke pintu Pelabuhan Ulee Lheu sekarang.
Di tempat itulah, pada 6 April 1873 Belanda pertama kali mendarat di Aceh, setelah pada 26 Maret 1873 Pemerintah Kolonial Belanda menyatakan maklumat perang terhadap Kerajaan Aceh. Pendaratan pertama itu Belanda membawa enam kapal uap, dua kapal angkatan perang, lima kapal barkas, delapan kapal peronda, enam kapal pengangkut, lima kapal layar, serta ratusan perwira dengan ribuan pasakuan tempurnya. Tapi, pendaratan pertama itu gagal total karena mendapat perlawanan sengit dari rakyat Aceh.
Dua hari kemudian, 8 April 1873, Belanda kembali lagi dengan kekuatan 3.198 prajurit dan 168 perwira. Pasukan itu dipimpin oleh Mayor Jenderal JHR Kohler. Pada pendaratan kedua ini, setelah berperang beberapa hari, Belanda berhasil masuk ke pusat kota dan menguasai Mesjid Raya Baiturrahman. Namun, pasukan Aceh di bawah pimpinan Tgk Imum Lueng Bata dan Tuanku Hasyim Banta Muda berhasil merebut kembali Mesjid Raya dan membuat Belanda mundur ke kawasan Lampaseh.
2. Bivak Sawah
Bivak sawah merupakan markas pertama yang dibuat Belanda di Aceh. Bivak ini dibangun setelah Belanda mundur dari Mesjid Raya, karena mesjid kebanggaan masyarakat Aceh itu berhasil direbut kembali oleh pasukan Aceh. Disebut bivak sawah karena dibangun di areal persawahan. Letaknya antara Lampaseh dan Punge sekarang.
Meski kini tidak diketahui letak persis bivak sawah tersebut, setidaknya bila paket wisata jejak kolonial ini dihidupkan, Pemerintah Aceh bersama Pemko Banda Aceh bisa membangun sebuah replika bivak di antara daerah tersebut. Dengan begitu setidaknya nanti kepada wisatawan yang berkunjung ke monumen kapal apung di Punge kita bisa menjelaskan bahwa tak jauh dari situ ada objek wisata kolonial yang bisa dikunjungi.
3. Prasasti Kohler
Prasasti Kohler berada di bagian timut gerbang utara Mesjid Raya Baiturrahman. Ini merupakan situs sejarah terpenting dari tur jejak kolonial Belanda di Aceh, karena di situlah pimpinan ekspedisi Belanda, Mayor Jenderal JHR Kohler tewas ditembak sniper Aceh.
Peristiwa bersejarah itu bermula dari bivak sawah, ketika itu Kohler menyusun strategi untuk menyerang pusat Kerajaan Aceh (Dalam) yang didiami Sulthan Alaiddin Mahmud Syah. Pada 12 April 1873 pasukan Belanda kembali melakukan penyerangan. Perang sengit terjadi. Dengan susah payah Belanda berhasil masuk ke daerah taman Gunongan.
Pasukan Belanda menduga itu adalah bagian dari pusat kerajaan, tapi ternyata bukan. Usaha mereka gagal karena dari sana mereka jadi sasaran empuk pejuang Aceh. Gagal dari sana, Belanda mencoba menyerang kembali Mesjid Raya Baiturrahman. Dengan menguasai Mesjid Raya, Belanda berharap dapat merebut pusat kerajaan Aceh.
Perwira Belanda Jenderal GP Booms dalam buku De Erste Atjeh Expediti en Hare Enquete mengungkapkan, pada 14 April 1873, sekitar pukul 04.00, Belanda melakukan serangan ke Mesjid Raya Baiturrahman. Setelah berperang selama tiga jam, pada pukul 07.00 mereka berhasil merebutnya. Pasukan Aceh mundur dari Mesjid Raya. Tapi beberapa pejuang Aceh bersembunyi di semak-semak di sebelah utara mesjid.
Mendapat laporan bahwa Mesjid Raya Baiturrahman sudah berhasil dikuasai, pada pukul 09.00 Kohler berangkat dari bivak sawah untuk melakukan inspeksi pasukan di areal mesjid. Saat itulah sniper Aceh menembak Kohler dari balik semak-semak. Peluru mengenai lengan kiri bagian atas Kohler dan menembusi tubuhnya, Kohler rubuh ke tanah dan tewas. Di tempat Kohler tertembak itu kini dibangun prasasti yang dikenal dengan prasasti Kohler. Setiap orang yang mengunjungi Mesjid Raya Baiturrahman hingga kini bisa melihat prasasti itu.
Tewasnya Kohler membuat pasukan Belanda panik. Mental mereka jatuh setelah panglimanya tewas. Kesempatan itu digunakan pasukan Aceh untuk menyerang. 45 tentara Belanda tewas dalam penyerangan itu, delapan diantaranya merupakan perwira. 405 lainnya luka-luka, 23 diantaranya perwira. Pasukan Belanda melarikan diri ke Pante Ceureumen. Tanggal 23 April 1873, pasukan Belanda mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda untuk meninggalkan Aceh. Agresi pertama Belanda ke Aceh gagal total.
4. Lhok U, Kuala Gigieng
Lhok U di Kuala Gigieng, Aceh Besar merupakan tempat lainnya yang menjadi jejak kolonial di Aceh. Dari sinilah Belanda mencoba masuk kembali ke Aceh dengan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya.
Kekuatan militer Belanda pada agresi kedua ini adalah 18 kapal perang, tujuh kapal uap angkatan laut, 12 barkas, 22 kapal pengangkut lengkat dengan alat pendaratan berupa enam barkas uap, dua rakit besi, dua rakit kayu, 80 sekoci, dan sejumlah tongkang pendaratan. Agresi kedua ini dipimpin oleh Letnan Jenderal Van Swieten dibantu Mayor Jenderal GM Verspijk.
Belanda mendarat di Kuala Gigieng pada 9 Desember 1873. Sebelum mendarat sekitar 80 tentara Belanda sudah meninggal karena kolera. Dari sana perang terus berkecamuk selama beberapa hari. Perlahan-lahan Belanda mendesak pasukan Aceh, hingga pada 6 Januari 1874 Mesjid Raya Baiturrahman yang dipertahankan pasukan pimpinan Tuanku Hasyim Banta Muda berhasil direbut Belanda.
5. Kerkhoff
Yang paling menarik bagi wisatawan luar negeri, khususnya Belanda, bila jalur wisata jejak kolonial ini dijalankan adalah berkunjung ke Kerkhoff. Di kuburan Belanda itu ratusan perwira Belanda yang tewas dalam perang di Aceh dikuburkan. Bersama jasad mereka tersimpan kisah-kisah kegetiran perang di Aceh.
Kepada para wisatawan kita bisa menceritakan kisah-kisah itu. Kisah yang ditulis sendiri oleh penulis-penulis Belanda seperti HC Zentgraff dalam buku Atjeh. Salah satunya Zentgraaff bercerita tentang kisah romantisme Komandan Marsose, Letnan De Bruijh yang terpenggal kelewang pejuang Aceh.
Sebagai pengetahuan saya nukilkan kembali sedikit dari kisah itu. Suatu hari petinggi militer Belanda di Aceh, Jenderal Van Huetsz membuka sepucuk surat dinas berkode rahasia. Isinya, seorang ovester teman akrabnya tewas dalam perang. Istri dan anaknya sudah lama kembali ke Belanda. Tapi satu anak perempuannya tidak pulang karena akan menikah dengan salah seorang komandan marsose bernama Letnan De Bruijn.
Karena banyak keperluan menjelang pernikahan, Van Huetsz menyuruh anak sahabatnya itu tinggal di rumahnya. Segala biaya pernikahan ditanggung Van Huetsz. Bahkan demi anak sahabatnya itu ia memesan pakaian pengantin dari Batavia. Sementara Letnan De Bruijn kala itu masih memimpin operasi militer bersama satu pasukan infantry di daerah Tunom dan Meulaboh.
Suatu hari mata-mata Belanda menginformasikan adanya pergerakan besar pasukan Aceh. Informasi itu sampai kepada Van Huetsz, ia mengizinkan Letnan De Bruijn untuk melakukan pengejaran. Informasi itu ternyata tidak benar. Itu sebuah info palsu yang sengaja dikabarkan oleh pejuang Aceh untuk mengelabui Belanda.
Ketika marsose melakukan pengejaran, pejuang Aceh sudah menunggunya di rimbunan ilalang di sebuah sungai. Saat melintasi jembatan pohon kelapa di sungai itu tentara Belanda diserang. Letnan De Bruijn tewas bersama sebagian besar pasukannya. Mayatnya bersama puluhan marsose yang luka parah diangkut kepelabuhan Ulee Lheu. Jenderal Van Huetsz sangat terpukul. Letnan De Bruijn dibawa pulang ke Kutaraja bukan untuk pesta pernikahan dengan anak kawannya, tapi untuk dikuburkan di Kerkhoff.
Jenderal Van Huetz tidak tahu bagaimana harus menyampaikan berita kematian itu kepada anak perempuan kawannya itu. “Itulah tugas menyampaikan pesan yang paling meresahkan yang pernah dilakukan Jenderal Van Hutsz. Dan hal itu samalah dengan seorang yang menggenggam sebilah pisau di tangannya, dengan ajakan: bunuhlah dia,” jelas Zentgraaff dalam bukunya.
6. Kuburan Massal Marsose di Indrapuri
Jejak kolonial lainnya ada di Indrapuri, Aceh Besar. Sebuah kuburan massal marsose dinamai oleh Belanda sebagai Kerkhoff kedua setelah Kerkhoff di Banda Aceh. Letak kuburan massal ini tidak jelas lagi dimana, tapi bisa ditelusuri kembali berdasarkan catatan HC Zentgraff dalam buku Atjeh. Para marsose itu tewas dalam perang sengit dengan pasukan Aceh yang dipimpin Tgk Chik Di Tiro di Gle Yueng.
Belanda mengetahui keberadaan pasukan Tgk Chik Di Tiro berada di Gle Yueng dari informasi seorang mata-mata perempuan yang bekerja di rumah Letnan Boon yang mendengarnya dari Safia, kemenakan Panglima Polem. Sangat yakin dengan informasi itu, Belanda berangkat ke sana untuk melakukan penyerangan di malam hari.
Kenyataannya, informasi itu juga palsu, sampai di sana pasukan Belanda disambut dengan kobaran api. Ketika perang sedang berkecamuk, tiba-tiba terdengar suara terompet yang mengisyaratkan pasukan Belanda untuk berhenti menembak.
Ternyata terompet itu ditiup oleh Pauwels, seorang fusiler bengkebangsaan Belgia yang menjadi tentara bayaran Belanda. Malam itu ia membelot ke pihak Aceh. Ia sengaja meniup terompet itu untuk mengelabui pasukan Belanda, sehingga ketika Belanda berhenti menyerang, pasukan Aceh dengan leluasan menyerangnya.
Malam itu komandan Belanda yang memimpin serangan tersebut tewas dengan luka tembak di bagian perut. Perwira Belanda lainnya, kapten Yacobs tewas dengan luka tembak di kepala. Puluhan tentara Belanda tewas dengan tubuh tercincang sabetan pedang, puluhan lainnya luka-luka. Mayat-mayat itu bersama korban yang luka-luka diangkut oleh para pekerja paksa dengan tandu untuk dibawa pulang ke bivak Indrapuri.
“Orang-orang yang mati bergelantungan pada pikulan, melengkung di tengahnya, dan kepala yang berlumuran darah terbuai-buai di sampingnya. Beberapa diantara yang mati itu berlumuran darah dan lumpur, bagai binatang-binatang yang dibawa keluar dari rumah potong hewan dan harus diangkut terseok-seok selama setengah hari,” tulis Zentgraaff.
Hanya dua jenazah perwira berpangkat Kapten yang dikirim ke Kutaraja untuk dimakamkan di Kerkhoff, sedang jenazah puluhan serdadu lainnya dimakamkan secara massal di dekat bivak Indrapuri. Dalam tulisannya, Zentgraaff bertanya, “Adakah peristiwa pemotongan mayat-mayat yang lebih menyedihkan dengan yang terjadi setelah kegagalan penyerbuan mendadak terhadap Gle Yueng?”.
Kisah-kisah seperti digambarkan Zentgraaff itu sangat menarik untuk diceritakan kepada para wisatawan bila jalur tur wisata di jejak kolonial ini diadakan. Ini menjadi sebuah daya tarik tersediri.
7. Pembantaian di Kuta Reh
Situs yang menjadi jejak kolonial lainnya di Aceh ada di Kuta Reh di Gayo Lues, tempat pembantaian besar-besaran dilakukan oleh militer Belanda terhadap rakyat Aceh. Bila jalur jejak kolonial ini dihidupkan, kita masyarakat Aceh bisa menceritakan tragedi itu kepada dunia luar.
Pembataian pada 14 Juni 1904 itu menewaskan 2.992 rakyat Aceh, yakni 1.773 pria dan 1.149 perempuan. Pembantaian itu diabadikan oleh Kempes dalam foto denan keterangan “hier werd iets groots verricht” yang menunjukkan ratusan marsose berdiri di salah satu sisi benteng Kuta Reh denan gelimpangan ribuan mayat di dalamnya.
Kempes juga mendokumentasikan sisi lain di Benteng Kuta Reh dengan mayat-mayat bergelimpangan di sebuah lubang. Yang paling sadis adalah foto Kempes yang memotret hampir seluruh isi benteng Kuta Reh dengan bangunan-bangunan di dalamnya di bawah pohon durian. Sekeliling bangunan itu sudah digali dan mayat-mayat disusun di dalam lubang galian tersebut. Foto lain menunjukkan jenazah seorang pria tua bersama perempuan dan anak-anak tergeletak di dekat tempat penyimpanan padi (krong).
Pembantaian di Kuta Reh itu bermula dari keinginan Gubernur Militer Belanda di Aceh Jenderal Van Huetsz yang ingin menaklukkan seluruh wilayah Aceh, tapi gagal karena perlawanan rakyat Aceh terus bergolak di setiap daerah.
8. Jejak Kolonial Lainnya
Jejak kolonial lainnya ada di sisi timur jembatan Batee Iliek, Kabupaten Bireuen yakni di benten Kuta Gle. Benteng ini baru mampu ditaklukkan oleh Belanda setelah 23 tahun gagal melakukannya. Keberhasilan Belanda merebut benteng itu pada 1901 akibat pengkhiatan seorang cuak yang membawa pasukan Belanda melalui jalan tikus untuk naik ke benteng tersebut.
Masih di Bireuen, ada situs makam syahid lapan, yakni makam delapan orang ulama yang syahid pada tahun 1902 saat melawan Belanda di Tambue, Kecamatan Simpang Mamplam. Makam itu terletak persisi di sisi selatan jalan Banda Aceh – Medan. Setiap hari ratusan pelawat singgah di sana. Makam para ulama itu kini menjadi tempat wisata religi bagi masyarakat sekitar dan para pelintas.
Kembali ke Banda Aceh, ada beberapa situs peninggalan kolonial lainnya yang bisa disertakan dalam rute tur wisata jejak kolonial, diantaranya: tower air yan dibangun Belanda di kawasan Taman Sari, Gedung Bank Indonesia, Rumah Sakit Kesdam yang merupakan rumah sakit peninggalan Belanda, Bangunan SMA Negei 1 Banda Aceh yang katanya memiliki terowongan bawah tanah buatan Belanda, Gedung Baperis, Asrama TNI di Neuseu yang merupak bekas asrama militer Belanda, Gedung Sentral Telepon Militer Belanda di taman kota antara taman Putroe Phang dan Kerkhoff di halaman gedung itu ini terpacang pamflet PSSI, serta mercusuar di Pulau Aceh.
Yang paling menarik lagi adalah bekas Eropean Hotel di sebrang jalan sisi selatan Mesjid Raya Baiturrahman. Hotel yang dibangun Belanda itu pada masa kemerdekaan berganti nama menjadi Atjeh Hotel, tempat dimana Presiden Soekarno menangis dihadapan Abu Bureueh meminta dibelikan pesawat terbang.
Sayangnya bagunan hotel itu kini tidak ada lagi, sudah diruntuhkan. Di sana hanya terlihat tiang-tiang beton terpacang, dari pembangunan gedung baru entah apa namanya yang gagal dilakukan. Hanya sebuah monumen di samping jalan yang dipasang plakat oleh Yayasan Bustanussalatin yang bisa mengabari kita bahwa di situ pernah berdiri sebuah hotel yang sarat sejarah.
Semoga tulisan ini menjadi pengingat bagi kita semua bagaimana sehausnya sejarah dan bukti-buktinya itu harus dilestarikan, bukan dilenyapkan. Saya yakin bila rute tur wisata jejak kolonial di Aceh ini dibangkitkan, maka selain melestarikan sejarah juga memberikan keuntungan ekonomi bagi daerah. Semoga.[iskandar norman]
Belum ada tanggapan untuk "Menjual Wisata Kolonial"
Post a Comment