Sesungguhnya kita memiliki lebih banyak kekuasaan saat tutup mulut.Ungkapan seniman terkemuka Andy Warhol, itu tiba-tiba terngiang di benak saya ketika membaca berita klaim-klaiman penyelamatan uang negara di Aceh. Pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh mengatakan sudah menyelamatkan uang negara dari berbagai kasus korupsi senilai Rp40 miliar selama tahun 2009. Lalu Tim Anti Korupsi Pemerintah Aceh (TAK-PA) juga mengklaim menyelamatkan uang negara di Aceh Rp25 miliar.
Klaim-klaiman antara Kejati Aceh dengan TAK-PA tak ubahnya politik omongan. Saling unjuk gigi akulah pahlawan anti korupsi hari ini. Kalangan LSM anti korupsi pun bertingkah sama. Padahal kita tahu, di balik semua itu, tak ada makan siang yang gratis. Perlawanan terhadap korupsi menjadi isu yang seksi untuk dijual. Media massa pun terjebak dalam ranah ini.
Apa yang diungkapkan ke media hanya permukaannya saja. Belum ada yang berhasil menuntaskannya, jarang yang sampai ke pengadilan. Kalau pun ada hanya kasus kecil saja. Kasus-kasus yang ditarik dalam ranah politik untuk memanjakan kawan dan menjatuhkan lawan. Ini bukan menuding, hanya keprihatinan semata.
Ironisnya lagi, Kejaksaan berdalih, mereka lebih mengutamakan penyelamatan uang negara tinimbang proses hukumnya. Alasannya, itu tugas dari Kejaksaan Agung untuk menyelamatkan uang negara. Bagi yang kesalahan hanya dalam bentuk administrasi, hanya uangnya saja yang ditarik, sementara yang unsur pidananya terbukti akan dilanjutkan sampai ke pengadilan.
Kita tentu menunggu dari semua kasus yang ditangani itu, yang manakah yang akan sampai ke pengadilan. Kejaksaan harus transparan dalam hal ini, mengungkapkan ke publik kasus mana saja yang dihentikan dan mana saja yang dilanjutkan ke pengadilan agar tidak ada dugaan pengendapan di Kejaksaan.
Setelah membolak-balik daftar kasus yang diungkapkan ke media, ternyata apa yang diklaim oleh Kejaksaan sebagiannya juga diklaim oleh TAK-PA. Momen peringatan hari anti korupsi sedunia pekan lalu, menjadi ajang untuk klaim-klaiman ini. Kita berharap Kejaksaan, TAK-PA dan kalangan LSM anti korupsi mau membuka selebar-lebarnya beragam kasus korupsi itu. Tidak sebatas melempar isu ke media untuk mempercantik penampilan seolah sudah berhasil memberantas korupsi.
Robert Greene penulis buku The 48 Law of Power mengatakan, dalam banyak hal kekuasaan adalah permainan penampilan. Ketika berbicara lebih sedikit dari yang diperlukan, seseorang akan tampak lebih hebat dan lebih berkuasa dari pada sesungguhnya. Jadi apa yang disampaikan Kejaksaan dan TAK-PA semoga saja bukan sesumbar pamer keberhasilan. Itu pun kalau itu layak dikatakan keberhasilan.
Publik butuh bukti, bukan sekedar omongan. Ukuran paling sederhana untuk melihat bukti itu adalah sampainya kasus-kasus korupsi itu ke pengadilan. Lembaga penegakan hukum dan badan atau lembaga anti korupsi, jangan bertipikal peramal yang menjual omongan.
Peramal melontarkan kata-kata penuh teka-teki yang seolah-olah sarat makna. Kata-katanya seolah memegang kuasa atas kehidupan dan kematian. Tidak ada peramal yang banyak ngomong. Begitu juga dengan lembaga hukum dan lembaga anti korupsi, semoga angka-angka yang diklaim itu bukan “mantra” pelelap publik atas berbagai dugaan kasus korupsi di Aceh.
Lebih baik diam, tapi penanganan kasus korupsi sampai ke pengadilan, tinimbang sesumbar sebagai pahlawan penyelamat uang negara. Kita harus mengambil contoh Louis XIV, raja tersukses dengan politik omongannya. Ia tidak banyak bicara, tapi sangat berkesan. L’etat, c’es moi, aku adalah negaraku, merupakan kata-katanya yang paling membekas di hati rakyatnya. Ia lebih banyak bekerja dari pada menabur janji.
Kardinal de Retz (1613 – 1679) menegaskan, bahkan lebih merugikan bagi seorang menteri (penguasa-red) untuk mengucapkan kata-kata bodoh, dari pada melaksanakan tindakan-tindakan bodoh. Jangan sampai nanti klaim-klaiman itu menjadi tindakan bodoh, ibarat bumerang yang akan memangsa diri sendiri ketika tidak mampu dibuktikan.
Sebagai contoh politik omongan yang gagal, saya kutip kisah Corolianus, pahlawan militer terhebat di Roma Kuno pada paruh pertama abat kelima sebelum masehi. Ia dikenal sebagai pahlawan besar. Berbagai legenda disematkannya padanya. Tapi semua itu kemudian pudah hanya karena omongan. Reputasinya hancur ketika turun ke dunia politik karena berlebihan bicara saat kampanye.
Ia terlalu banyak membual dan menghujat, sambil membanggakan diriya dengan lusinan parut bekas luka di medan perang. Rakyat kecewa, legenda mereka yang sebelumnya dikabarkan sangat hebat di peperangan ternyata si mulut besar. Dalam pemilu ia akhirnya tak dipilih.
Corolianus yang merasa dikhianti oleh rakyat yang selalu dilindunginya dari berbagai peperangan. Ia berbalik haluan, dari seorang hero menjadi musuh rakyat. Langkah balas dendam pertamanya menahan biji-bijian dan logistik yang akan dibagikan kepada rakyat.
Mengetahui hal itu, rakyat Roma marah. Pahlawan militer mereka itu pun digugat. Para pejabat kota menjatuhkan hukuman mati padanya dan memerintahkan para hakim untuk membawanya ke puncak gunung karang Tarpiean. Di sana ia akan dicampakkan ke bawah. Namun kaum bangsawan turun tangan, mengubah hukuman mati itu menjadi pengasingan seumur hidup. Bualan dan omongan yang berlebihan telah membuat Corolianis dari seorang legenda menjadi terpidana penuh cela.
Leonardo da Vici (1452 – 1519) pernah menyentil hal ini. Ia memisalkannya pada kerang. Mulut kerang terbuka total saat purnama, saat itulah kepiting akan melempar batu ke mulutnya, agar karang tak bisa menutup lagi. Dan kepiting dengan mudah bisa menyantap dagingnya. Begitulah nasib orang yang sering membuka mulut.
Semoga Kejaksaan, TAK-PA dan LSM anti korupsi kita bukanlah kepiting itu yang menjadi celaka akibat omongannya sendiri. Menutup tulisan ini, saya kutip sebuah petuan lama dari Endatu kita orang Aceh; Rumöh barö han geutumpang, nariét nyang reumbang han geu dakwa. Untuk membuktikan bahwa klaim-klaiman itu nyata adanya, kami menunggu Kejaksaan dan TAK-PA membeberkannya ke publik. Wassalam.
Artikel keren lainnya:
1 Tanggapan untuk "Politik Omongan"
benar sekali teungku..
jangan NATO aja :D
Post a Comment