Gerimis hanya sebentar mengguyur, kemudian bandang menerjang kota. Kejadian seperti itu sudah jadi langganan tahunan. Yang terkini, Minggu malam kemarin di Meureudu, Pidie Jaya. Kita kerap menuding alam tak bersahabat atau bumi yang murka. Padahal sebenarnya kitalah yang bermusuhan dengan lingkungan.
Para penebang liar di hulu layak didakwa sebagai penyebab petaka. Ini menjadi sebuah catatan gagalnya moratorium logging yang dicanangkan Pemerintah Aceh. Ribuan polisi hutan telah direkrut dan ditempatkan sebagai pengaman di lapangan. Kenyataannya, diakui atau tidak, mereka kadang ikut jadi pemain dari bisnis kayu ilegal.
Mereka yang dibayar untuk mengamankan hutan, tak berdaya di lapangan ketika berhadapan dengan orang-orang mantan pemanggul senjata. Bersebrangan akan dicap lawan yang bermakna ancaman, bersahabat jadi jalan terakhir yang aman dan menguntungkan.
Pemerintah perlu mengawasi hal ini dengan serius, bila tak ingin hutan dicukur menjadi gunung tandus. Persoalan lainnya, warga yang baru keluar dari kobflik sampai kini masih kehilangan mata pencaharian. Perambahan hutan jadi alternatif termudah untuk sekedar mencari pengganjal perut bagi keluarga. Kalau tidak, asap dapur tentu tan akan mengempul.
Solusinya, agar program moratorium logging tak sekedar basa-basi, pemerintah harus memperkuat pengawasan hutan, serta tegas terhadap pelaku pelanggaran. Jangan lagi ada istilan “awak kamoe” dan “awak nyan” jika tak ingin bah menyapu permukiman penduduk.
Selain itu, relokasi masyarakat pinggiran hutan mesti dilakukan. Bukan dalam artian fisik, tapi membuka lapangan kerja baru bagi mereka, sehingga tak lagi menebang hutan. Libatka masyarakat dalam berbagai program penyelamatan hutan dengan berbagai kompensasi. Ini lebih bermanfaat dan berguna tinimbang berkoar-kora di meja dan berkampanye ke luar negeri tentang penyelamatan hutan.
Di atas kertas boleh saja kita mengklaim memiliki jutaan hektar hutan yang dengan itu kampanye penjualan karbon ke luar negeri seolah mengabsahkan Aceh sebagai bangsa yang amat sangat peduli dengan penyelamatan lingkungan dan keseimbangan iklim. Sementara realita di lapangan, masyarakat masih lapar.
Kita masih ingat bebarapa waktu lalu, ketika Merril Lynch Internasional, salah satu bank Inggris berkomitmen membeli karbon hutan di Aveh. Salah satunya dari kawasan hutan Ulu Masen. Nilainya pun tak tanggung-tanggung, 10 juta dolar AS. Seandainya itu benar dan terealisasi, dengan dana sebesar itu, ribuan masyarakata pinggiran hutan bisa diberdayakan melalui pembukaan lapangan kerja baru bagi mereka.
Pertanyaannya sekarang, benarkah pihak Merril Lynch Internasional akan membeli karbon dari hutan Aceh. Padahal sampai kini belum jelas bagaimana mekanismenya. Benarkah hutan Aceh salah satu paru paru dunia, atau jangan-jangan akan menjadi paru-paru bencana.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Paru (Dunia) Bencana"
Post a Comment