Kolibri, burung kecil yang optimis. Meginspirasi saya ketika menulis di ruang ini. Kolibri punya keyakinan mampu melakukan penyelamatan, ketika yang lain sudah pesimis dengan keadaan. Orang-orang yang punya keyakinan seperti kolibri, kerap muncul sebagai pemenang. Ia tidak peduli kalah atau menang, yang dipikirkannya adalah bagaimana berusaha menggapai kesusksesan.
Kisah klasik Cina tentang kolibri ini, menginspirasi kita tentang bagaimana keringat harus dinikmati sebagai jalan menggapai senyuman. Mungkin dari kisah kolibri pula kemudian lahir apa yang dikatakan Baron Piere de Coubertin, yang penting dalam hidup bukanlah kemenangan, namun bagaimana bertanding dengan baik.
Baiklah, kini saya kutip kembali kisah Kolibri itu, si burung kecil yang berlagak menyelamatkan dunia, saat langit mau runtuh. Ia berbaring di tanah dengan dua kaki terangkat ke udara. Ia terus saja menatap langit.
Namun bukan langit yang runtuh, tapi bumi di sekitarnya berdentum. Kolibri kaget dan hampir terinjak gajah. Dentuman gerak langkah gajah membuyarkan konsentrasinya. “Apa yang kau lakukan,” tanya gajah dengan ponggah. “Aku ingin menyelamatkan bumi, langit akan runtuh,” jawabnya.
Gajah tertawa terbahak-bahak, meledek kaki kecil kolibri yang ingin menahan langit. Namun burung kecil itu tetap menatap angkasa, meski telinganya pekak dengan debum dentum langkah gajah yang meledeknya. “Kedua kaki kecilmu tak kan mampu menahan langit,” teriak gajah melengking sambil mengangkat belalai kebesarannya.
Kolibri masih tetap mengarahkan kedua kakinya ke langit. Kicauannya membalas keponggahan gajah. Ia menjawab, “Ya. tidak mampu jika aku sediri. Semua harus ambil peran. Dan inilah yang dapat kulakukan sebagai peranku,” jawabnya dengan suara parau.
Burung tetap si kecil yang mencoba lakon pahlawan. Padahal ia sangatlah lemah. Saya teringat cerita ibu waktu kecil tentang kisah keudidi burung kecil lainnya. Setiap ke tambak, saya melihat tingkah keudidi yang selalu mengenjot bumi dengan dua kakinya. Ia takut bumi tak mampu menahan tubuh kecilnya. Begitulah waspadanya dia.
Antara kolibri dan keudidi, akhirnya saya harus menertawakan gajah. Ia tidak tahu tubuhnya besar karena lirikan matanya ke belakang terhalang telinga yang lebar. Andai ia tahu mungkin ia akan seresah kolibri yang ingin menahan langit dan sewaspada keudidi yang terus mengenjot bumi karena tak ingin kakinya terperosok.
Namun burung tetaplah burung yang kapan saja bisa mati di tangan pemburu. Saya ingat kisah Freedom Bird karya Bill Harley. Katanya, burung yang tidak jadi dibunuh oleh pemburu, hanya berjuang untuk melepaskan diri dengan kebebasan yang dimilikinya. Ia akan terus terbang, meski kadang dengan sayap yang patah.
Kolibri terus saja mengangkat kedua kakinya menahan langit yang diyakininya akan runtuh. Dan, keudidi terus saja mengenjot bumi dengan kewaspadaannya. Entah langit yang akan runtuh atau bumi yang akan terbelah. Kolibri dan keudidi tetap pada naluri dan kewaspadaannya, sementara gajah entah bagaimana.
Tamsilan ini layak jadi catatan setiap kita dalam bertindak dan berusaha dengan kesungguhan, agar apa yang dicita-citakan bisa kesampaian. Tak ada orang yang tidak dapat melakukan sesuatu, dan tidak ada pula yang melakukan segala hal. Makanya, baik kolibri, keudidi maupun gajah, harus sama-sama berada pada tujuan yang sama. Apa yang tidak dapat dilakukan kolibri dengan kaki kecilnya dapat dilakoni gajah dengan derap langah besarnya. Sementara keudidi dengan naluri waspadanya bisa mengarahkan kolibri dan gajah, ke arah manakah ia harus berjalan agar tidak terpuruk.
Menutup cang panah ini. Saya kutip perkataan Charles “tremendeous” Jone, hari ini Anda adalah orang yang sama dengan Anda lima tahun mendatang, kecuali dua hal: orang-orang sekeliling Anda dan buku-buku yang Anda baca.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Kolibri II"
Post a Comment