Nelayan kita masih terjebak pada lakon lama yang konvensional. Diperparah lagi dengan penggiringan ke ranah hukum tanpa pemberdayaan.Konsumsi ikan yang tinggi membuat sektor perikanan jadi lahan bisnis yang empuk. Tapi nelayan masih terseok dalam persoalan klasik. Mereka hanya pekerja dengan sedikit upah. Sementara keuntungan tetap milik toke bangku. Setiap tahun ribuan ton ikan segar dari Aceh diekspor ke Malaysia dan Singapura. Parahnya lagi, keuntungan besar dari bisnis ini dinikmati oleh toke-toke besar di Belawan, Sumatera Utara. Tempat ikan basah itu diekspor.
Aceh sampai kini belum mampu menyiapkan fasilitas untuk memakmurkan nelayan. organisasi Panglima Laot Aceh masih terjebak pada persoalan pembebasan nelayan yang ditangkap oleh negara tetangga karena melanggar batas teritorial. Sementara kapal-kapal Thailand yang menjarah ikan di Aceh begitu meraja lela.
Seharusnya, organisasi Panglima Laot bisa berpikir dengan orientasi bisnis, membangun fasilitas pendukung untuk kesejahteraan nelayan. Tidak terus menerus terjebak pada persoalan pembebasan nelayan, yang notabenenya itu kerjaan orang-orang di Departemen Luar Negeri.
Yayasan Pangkai Meureunoe Aneuk Nelayan (YPMA) yang mendapat mandat mengelola dana hibah dari Menkokesra Rp4,45 miliar dan hasil lelang kapal Thailand Rp11,9 miliar, juga terjebak pada persoalan pengelolaan keuangan, hingga kemudian juga tertarik dalam ranah hukum. Setelah adanya dugaan mark-up pembelian lahan untuk membangun sekretariat di Gampong Neuhen, Kecamatan Baiturrahman, Kabupaten Aceh Besar.
Sebagian dana itu memang ada mengalir ke rekening anak nelayan dalam bentuk beasiswa. Namun lebih indah lagi jika dengan dana miliaran itu bisa dibangun fasilitas untuk memakmurkan nelayan.
Dalam sebuah lokakarya medio Oktober lalu, hal ini pernah mencuat ketika Persatuan Nelayan Negeri Perak (Penggerak) Malaysia datang ke Aceh menjajaki kerja sama perdagangan ikan. Setiap tahun Malaysia mengimpor ikan segar lebih 150 ribu ton, sebagian besar di impor dari Thailand dan Indonesia. 15 ribu ton di antaranya berasal dari Pelabuhan Belawan. Menariknya, hampir 50 persen ikan segar yang diekspor dari Belawan berasal dari Aceh.
Seharusnya, Organisasi Panglima Laot, YPMA dan pemerintah daerah bisa menangkap potensi ini dengan memutuskan mata rantai ekspor melalui Belawan. Seyogianya, jika Pemerintah Aceh mampu membangun pelabuhan perikanan yang layak, maka keuntungan dari ekspor ikan ini, murni akan dinikmati oleh daerah. Tidak lagi berbagi keuntungan dengan Belawan. Tentunya, kesejahteraan nelayan akan lebih terjamin.
Bila ini dilakukan, bukan hanya Malaysia, tapi ikan segar dari Aceh bisa diekspor sampai ke Eropa. Sebagaimana pernah diungkapkan Direktorat Pemasaran Luar Negeri DKP Pusat, Yulianto pada Lokakarya Fish Marketing Informasion System, 6 Oktober 2009 lalu di Banda Aceh. Eropa masih banyak peluang untuk pemasaran ikan segar, karena di beberapa negara di sana diberlakukan larangan (moratorium) penangkapan tuna.
Ekspor ikan dari Aceh ke Malaysia memang sudah terbuka, tinggal sekarang bagaimana memutuskan ketergantungan dengan Belawan. Staf ahli Persatuan Nelayan Negeri Perak (Penggerak) Malaysia, Zahri bersama tim dari Penggerak di hadapan nelayan Aceh Oktober lalu mengakui 400 fiber ikan segar dari Aceh per hari mereka terima melalui Belawan.
Penggerak memang beda dengan YPMA atau organisasi Panglima Laot di Aceh. Mereka sudah jauh mengembangkan usaha perikanan. Malah mampu melakukan ekspansi ke bidang perkebunan sawit, restoran, perhotelan sampai ke memiliki wakil di parlemen. Potret para wakil mereka di parlemen tersebut terpampang di pelabuhan dan kantor-kantor yang mengurusi nelayan. Sehingga suara nelayan bisa sampai ke dewan. Sementara di tempat kita, nelayan masih jadi kaum kelas bawah.
Apa yang dilakukan Penggerak sebenarnya bisa dilakukan di Aceh. Penggerak awalnya hanya sebuah koperasi kecil yang didanai dari iuran anggota. Yang dengan dana itu kemudian digunakan untuk mensejahterakan nelayan. Ketika nelayan melaut, mereka tidak lagi harus resah dengan persoalan rumah, karena biaya pendidikan dan pemberdayaan istri nelayan diberikan oleh Penggerak.
Hal itu kemudian didukung oleh Pemerintah Kerajaan Malaysia yang membayar tenaga pendidik untuk mendidik anak-anak nelayan di luar jam sekolah. Pendidikan tambahan ini diatur oleh asosiasi nelayan. Pemerintah hanya membayar tenaga pengajar. Pelabuhan yang dibangun Pemerintah Malaysia pengelolaannya juga diserahkan kepada organisasi nelayan dengan didampingi oleh jawatan terkait.
Lebih dari itu, asosiasi nelayan juga mendapat bantuan pinjaman modal dari kerajaan. Dua bulan sekali mereka melakukan pertemuan dengan wakil pemerintah melalui jawatan terkait membahas berbagai persoalan dan hal-hal pengembangan usaha nelayan. Jadi wajar bila kemudian dengan dana dari koperasi yang dikelola dengan baik mereka bisa melakukan ekspansi usaha sampai memiliki restoran, hotel, dan kebun kelapa sawit.
Apa yang dikerjakan oleh Penggerak di Malaysia ini sangat mungkin dilakukan di Aceh. Apalagi setelah terbentuknya Asosiasi Saudagar Ikan Aceh (ASIA) yang telah merintis kerja sama perdagangan ikan dengan Penggerak. Tinggal sekarang bagaimana pemeritah mendorong ASIA untuk mengembangkan usaha perikanan di Aceh, tentu dengan melibatkan YPMA, dan Panglima Laot di dalamnya. Sudah saatnya nelayan kita diajari bisnis perikanan. Kalau tidak, maka akan selamanya kita bergantung ke Belawan.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Menyejahterkan Nelayan"
Post a Comment