Tahan masih jadi lahan sengketa antara jelata (baca: rakyat) dan pemerintah. Berdalih pengembangan, pengusuran terjadi atas nama ayat pembangunan. Kesejahteraan kaum bawah seolah jadi urusan nomor sekian.
Yang terkini di Banda Aceh misalnya, penggusuran para pedagang yang menempati tanah milik daerah di bekas terminal Seutui. Penggusuran dengan biaya pindah hanya Rp2 juta, sungguh sangat mencederai rasa keadilan bagi para pedagang. Padahal, mengacu pada pasal 33 ayatt 3 UUD 1945, “Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dikuasi negara bukan berarti dimiliki negara. Negara hanya mendapat mandat untuk mengatur penguasaan tanah demi kesejahteraan warganya. Bukan kesejahteraan kelompok dengan kedok ayat pembangunan. Negara harus mampu memberikan pemenuhan kebutuhan akan tanah terhadap rakyat. Sebagaiman penegasan dalam pasal tadi, bahwa keberadaan tanah itu dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Dalam kaca mata Goenawan Wanaradja, hakim peradilan umum RI, sengketa tanah antara rakyat dengan pemerintah kerap terjadi akibat tumpang tindihnya penggunaan tanah yang terkait dengan kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan tata ruang, seperti pemberian izin oleh pemerintah daerah setempat untuk pendirian sebuah pabrik, mall, komplek perumahan atau proyek tertentu di atas tanah tersebut yang kemudian memunculkan persinggungan dengan warga yang menempati tanah yang dikuasi oleh negara itu.
Hal ini pula yang kini menimpa pedagang di lahan bekas terminal Seutui, Banda Aceh. Demi pengembangan kota, para pedagang tergusur tanpa diberikan solusi pemindahan yang layak. Wajar bila kemudian para pedagang menolaknya. Kompensasi atas pemindahan tidak sebanding dengan kerusakan dan kehilangan harta yang diterima pedagang atas pembongkaran toko dan kios mereka di lahan itu.
Untuk menuntut hak dan ganti rugi yang sepadan, para pedagang kemudian melakukan pendekatan dengan kekuasaan, dalam hal ini Walikot Banda Aceh, Mawardi Nurdin melalui jalan nonlitigasi. Namun cara musyawarah ini juga tak membuahkan hasil, hingga kemudian muncul somasi dari para pedagang. Somasi itu pun kemudian dijawab dengan mengambang oleh walikota. Tak ada jawaban tegas tentang apa yang dituntut oleh para pedagang.
Akibatnya, persoalan ini pun dibawa ke ranah hukum (jalur litigasi) dengan mengajukan tuntutan ke pengadilan. Kasarnya, untuk mencapai kemakmuran rakyat sebagaimana disebut dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945, rakyat harus menggugat ke pengadilan.
Hal yang sama juga terjadi di Kota Lhoksemawe dalam kasus lahan Blang Payang. Warga menolak ganti rugi yang tak sepadan dengan harga nominal tanah di kawasan itu, yang akan dijadikan tempat pembangunan salah satu fasilitas publik oleh pemerintah setempat. Penggelembungan harga tanah oleh calo di pemerintahan membuat kasus ini menjadi persoalan hukum.
Soal sengketa tanah antara masyarakat dengan pemerintah, kita harus angkat tabik pada Corazon Aquino yang sebelum menjadi Presiden Philipina telah menjadi tuan tanah besar di Provinsi Tarlac. Sebagai tuan tanah, ia maklum, kalau masyarakat miskin yang tidak mempunyai lahan merupakan bom waktu yang setiap saat bisa meletus dan menumbangkan pemerintahannya.
Karena itu pula saat ia menjadi orang nomor satu di negerinya, ia begitu peka terhadap keberadaan kaum miskin. Ia mengajarkan kaum miskin di negerinya untuk tidak menerima kemiskinan sebagai sebuah nasib. Tapi dengan tanah yang dikuasai oleh negara, mereka bangkit berdiri di atas kakinya sendiri.
Berbicara kaum miskin dengan persoalan ketiadaan tanah. Saya teringat Amartya Sen di India, peraih nobel bidang ekonomi pada tahun 1988. Dalam bukunya “Masih Adakah Harapan untuk Kaum Miskin,” Sen bercerita tentang kasus-kasus sejarah kelaparan di India, Bangladesh, Ethiopia, dan negara-negara sub-Sahara Afrika.
Dari sanalah ia berhasil menemukan keterangan bahwa kelangkaan pangan ternyata bukan sebab utama kelaparan. Salah satunya adalah tidak terbukanya pemerintah terhadap publik. Dia mengambil kesimpulan bahwa berbagai bencana kelaparan itu sesungguhnya bisa dicegah, seandainya ada kebebesan bagi publik untuk mengakses segala informasi terkait penggunaan anggaran.
Kembali ke Banda Aceh, sebuah ironi ketika toko dan kios di bekas terminal Seutui dibongkar, publik tidak mengetahui untuk apa lahan itu akan digunakan, dan siapa yang akan mengelolanya. Seharusnya, sebelum pembongkaran itu dilakukan masyarakat harus tahu ada apa gerangan dengan tanah itu kemudian hari. Lebih ironis lagi ketika Pemko Banda Aceh mengatakan belum tahu siapa investor yang akan melakukan pembangunan di lahan tersebut. Niat baik tanpa transparansi akan pincang.
Di zaman keterbukaan seperti sekarang ini, rakyat harus diberi kebebasan untuk mengakses informasi tentang penggunaan lahan dan dana yang dikelola oleh pemerintah. Sen mengatakan, kebebasan itu bergantung pada determinan-determinan tertentu, misalnya pengaturan sosial-ekonomi. Seperti penyediaan fasilitas pendidikan, pemeliharaan kesehatan, demikian pula jaminan atas hak-hak sipil dan politik, seperti kebebasan untuk mengikuti diskusi publik dan pengawasan.
Selain itu, pemberantasan kemiskinan baru terwujud dengan adanya pemberantasan sumber-sumber utama ketidakbebasan, baik kemiskinan maupun tirani, peluang ekonomi yang sempit maupun perampasan hak-hak sosial yang sistematis, ketidakhirauan terhadap fasilitas publik maupun intoleransi dan kegiatan berlebihan dari negara yang represif.
Kekurangan kebebasan yang subtansif itu berkaitan langsung dengan kemiskinan ekonomi, yang merampok rakyat dari kebebasannya untuk menolak kelaparan, mencapai nutrisi yang mencukupi atau memperoleh obat bagi penyakit, atau dapat menikmati air bersih dan fasilitas sanitasi. Karenanya, kegagalan pemberdayaan kaum miskin selama ini, lebih dominan disebabkan oleh prilaku pemimpin yang tidak accountable, yang membuat praktek korupsi semakin menggurita saja.
Semoga saja jalan ligitasi yang ditempuh para pedagang di eks terminal Seutui membuahkan hasil yang baik, minimal Pemko membayar biaya pindah yang sepadan dengan apa yang dihancurkan di bekas terminal itu.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Tanah"
Post a Comment