Aceh kini jadi pasar narkotika, dari ganja beralih ke sabu-sabu
Mengejutkan memang, ketika mengetahui ternyata Aceh berada dalam peringkat empat besar peredaran narkoba di Indonesia, meski dalam katagori jumlah pengguna masih pada posisi 24. Tingginya peredaran dan rendahnya pengguna, seakan mensahihkan bahwa pengguna narkona di Aceh, khususnya sabu-sabu masih kalangan menengah ke atas.
Masukknya Aceh dalam kelompok empat besar peredaran narkoba bukan isapan jempol belaka. Selasa, 15 Desember 2009 seakan menjadi hari penegasan hal tersebut, ketika Polda Aceh memusnahkan 616.949 kilogram ganja dari 221,5 hektar ladang ganja yang temukan. Terdiri dari 19.907 batang ganja, 4,5 ton ganja kering dan 3 kilogram biji ganja. Pada pemusnahan yang berlangsung di halaman Mapolda Aceh dua pekan lalu itu, juga dibasmi 1,9 kilogram sabu-sabu.
Kini, Aceh bukan hanya pasar sabu-sabu asal dalam negeri, tapi barang haram itu juga dimasukkan dari luar negeri. Malaysia dan Thailand merupakan sumber terdekat. Kristal memabukkan itu didatangkan ke Aceh melalui jalur darat, laut dan udara.
Hal ini tentu jadi ancaman serius bagi generasi muda Aceh. Perlu adanya langkah antisipasi yang gencar untuk menghalau masuknya barang haram jenis sabu-sabu ke Aceh. Polisi juga harus meningkatkan operasi rutin pencarian dan pembasmian ladang ganja di pegunungan Aceh.
Sabu-sabu yang dibawa dari Malaysia ke Aceh bukanlah sedikit. Yang paling anyar adalah pada Selasa 24 November 2009, ketika petugas Bea dan Cukai Banda Aceh berhasil menggagalkan penyeludupan sabu-sabu melalui Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda.
Hari itu, dua pria asal Bireuen, BMN (31) dan MNI (23) kedapatan membawa barang haram tersebut seberap 530 gram, harganya ditaksir mencapai Rp1,2 miliar. Keduanya membawa serbuk teler tersebut dari Malaysia.
Ini merupakan sinyal, bahwa jaringan narkotika internasional mulai atau malah telah beroperasi di Aceh. Barang sitaan itu kemudian dititipkan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Jantho, Aceh Besar. Ironisnya, pada Sabtu malam 19 September 2009 sabu-sabu itu raib dari tempat penyimpanan. Kasus pencurian barang bukti sabu-sabu itu sampai kini belum mampu diungkap oleh pihak kepolisian dan kejaksaan.
Dengan nilai yang mencapai Rp1,2 miliar, siapa pun bisa saja tergiur. Bisa jadi otak atau gembong narkoba di Aceh pemilik sabu-sabu tersebut membayar pihak tertentu untuk mengambil kembali ”hartanya”. Dalam kasus ini, Kejaksaan Negeri Jantho merupakan pihak pertama yang layak dijadikan tersangka.
Kasus ini mengingatkan saya pada film Traffic karya Steven Soderbergh. Film yang menyabet empat oskar itu bercerita tentang perdagangan narkoba antar negara (Amerikat Serikat dan Meksiko). Stephen Geghan penulis skenario film itu menghadirkan tiga kisah.
Cerita pertama berkisah tentang dua polisi Meksiko yang terjebak dalam permainan korupsi para pejabat tinggi yang memiliki hubungan dengan sindikat narkotika. Cerita kedua tentang seorang hakim (Robert Wakegield) yang diangkat oleh Presiden AS sebagai pemimpin tertinggi pemberantasan narkoba, yang kemudian harus terpukul ketika mengetahui ternyata anaknya kecanduan narkoba. Cerita ketiga berkisah tentang seorang wanita yang suaminya ditangkap karena menjadi gembong narkoba.
Menariknya adalah pada cerita pertama tentang polisi yang terjebek dalam permainan korupsi pejabat tinggi yang berkolusi dengan gembong narkotika. Bisa jadi, dalam kasus raibnya sabu-sabu di Kejari Jantho senilai Rp1,2 miliar tersebut, kisah dalam film tadi berlaku.
Asumsi lainnya, bisa juga sabu-sabu itu sengaja dihilangkan karena kadarnya boleh jadi telah menyusut. Berkurang kadar bisa saja terjadi akibat ulah tangan-tangan jahil yang ingin menikmatinya ketika kedua tersangkan dalam proses. Alasannya, bila barang bukti yang dihadirkan ke pengadilan nanti tidak seutuh saat ditangkap, maka kasus tersebut akan lemah. Kedua tersangka bisa membantah bahwa itu bukan milik mereka. Dan bila itu terjadi, maka bukan tidak mungkin kedua tersangka bisa bebas dari jeratan hukum.
Namun, meski sabu-sabu itu telah raib, pihak kepolisian dan kejaksaan tetap optimis mampu menuntaskan kasus tersebut sampai ke pengadilan. Tanpa barang bukti pun kasus itu akan dilanjutkan. Pengganti barang bukti bisa hanya berupa surat keterangan hilang.
Pertanyaannya sekarang, bila surat keterangan yang dijadikan alat bukti, bagaimana dengan nasib sabu-sabu yang raib tersebut? Baik polisi maupun jaksa harus mengejar itu. Sayangnya, sampai sekarang kita belum mendengar kabar tentang kelanjutan kasus tersebut. Baik tentang kasus hukum kedua tersangkanya, maupun tentang raibnya kristal haram bernilai Rp1,2 miliar itu.
Maka, sebelum dua hal itu dituntaskan dengan benar, maka wajar bila kita sedikit menduga lakon dalam film Traffic yang saya sebutkan tadi, setidaknya berlaku dalam kasus ini. Benar tidaknya terserah pada polisi dan jaksa untuk membuktikannya. Sebagai warga negara yang baik, kita tentu menunggu aparatur negara memberikan informasi yang benar terkait kasus ini.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Negeri Sabu"
Post a Comment