Beberapa hari lalu kita kembali tercengan dengan kesaksian mantan Kapolres Jakarta Selatan, Kobes Pol Wiliardi Wizar, terdakwa pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen. Ia mengatakan ada rekayasa untuk menetapkan Antasari Azhar sebagai tersangka. Ini berbeda dengan keterangannya kepada penyidik dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Timbul pertanyaan, kesaksiaan Wiliardi yang mana yang akan dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan dalam menyidangkan kasus tersebut. Apakah pengakuannya dalam BAP, atau kesaksian di pengadilan yang mencabut BAP tersebut. Dua-duanya bisa menjadi alat bukti. Butuh kearifan majelis hakim untuk menimbang nimbang keduanya sebelum vonis ditetapkan.
Satu sisi, berdasarkan Kitap Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 184 ayau 1, keterangan saksi (kesaksian) di persidangan merupakan salah satu alat bukti yang sah dalam perkara pidana, yang apa yang dia sampaikan tersebut ia alami, lihat, dengar, dan saksikan sendiri.
Pada pasal selanjutnya (185 ayat 1) dipertegas kembali bahwa “Keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di pengadilan.” Artinya, hakim hanya akan mengambil keterangan saksi di pengadilan sebagai pertimbangannya dalam meutuskan perkara. Sedangkan keterangan dalam BAP penyidik hanya akan jadi pedoman atau pegangan saja.
Mencermati kedua pasal KUHAP tersebut, maka sah-sah saja seorang saksi mencabut sebagiana tau seluruh isi BAP-nya. Bisa jadi dengan alasan ditekan, dipaksa oleh penyidik dan lain sebagainya. Maka alasan Wiliardy Wizard membantah isi BAP-nya sendiri sangat masuk akal.
Alasan lainnya, hakim lebih percaya kepada kesaksian di pengadilan tinimbang isi BAP adsalah, seorang saksi disumpahkan di muka hakim sebelum memberi keterangannya, sedangkan saat disidik oleh penyidik di kepolisian tidak.
Berbeda dengan kesaksian yang disampaikan itu didengar dari orang lain, yang dalam bahasa hukum disebut testimonium de auditu, tidak dapat dinyatakan sebagai saksi yang sah secara hukum.
Namun, kesasian Wliardi bukan serta merta bisa membebaskan Antasari, karena pada ayat selanjutnya (Pasal 185 ayat 2 dan 3) dinayatakan keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk menyatakan seorang terdakwa bersalah atau tidak. Junaikar SH, seorang kawan pengacara menyebut hal ini dalam adigum latin, unus testis nullus testis, satu orang saksi bukanlah saksi.
Dalam kasus Antasari masih ada kesaksian-kesaksian yang lain, diantaranya istri ketiga Nasruddin Zulkarnaen (korban), Rani Juliani yang mengatakan Nasruddin pernah mengatakan padanya soal ancaman Antasri. Begitu juga dengan kesaksian ayah Rani, Endang M Hasan, Kamis (12/11) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengatakan Nasruddin pernah bercerita kalau Antasari akan mencelakakan dirinya.
Pertanyaannya sekarang, kesaksian mana yang akan diambil oleh majelis hakim sebagai pertimbangan. Wiliardi kah atau Rani dan ayahya? Lalu apakah kesaksian Rani dan Ayahnya termasuk kesaksian yang testimonium de auditu, kalau benar, maka kesaksian Wiliardi lebih kuat dibandingkan keduanya.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Kesaksian"
Post a Comment