Kita butuh orang angkuh dan sombong agar hukum bisa ditegakkan
Kalimat menyentak itu tiba-tiba terngiang kembali ketika saya memulai menulis di kolom ini. Menyentak karena itu diucapkan oleh seorang hakim di Pengadilan Negeri Banda Aceh, Goenawan Wanaradja dua tahun silam. Kini hakim peradilan umum RI asal Garut, Jawa Barat itu bertugas si Cianjur.
Mencermati karut-marutnya penegakan hukum di Indonesia dewasa ini, menarik untuk melanjutkan kalimat kawan saya itu. Hakim yang angkuh dan sombong. Adakah? Katanya, Indonesia yang kandung dicap negara-negara maju sebagai negara hukum yang tidak memiliki kepastian hukum, harus diselamatkan oleh orang orang yang angkuh dan sombong.
Alasannya, supremasi hukum di Indonesia masih tumpul. Para penegak hukum juga tidak bebas dari prilaku korup. Mulai dari penyidik di kepolisian, jaksa penuntut umum di kejaksaan, dan hakim di lembaga peradilan, plus advocad selaku penegak hukum dari kalangan non pemerintah.
Angkuh yang ia maksudkan ialah, penegak hukum yang berani bertindak dengan angkuh dan sombong menolak segala pemberian, mulai dari hadiah kecil-kecilan sampai cek dengan nilai digit nominal tak berseri. Selain itu juga harus kuper alias kurang pergaulan. Hakim yang kuper menolak ajakan makan relasi di restoran mewah, menolak relasi bertamu ke rumah untuk urusan dinas.
Namun, penegak hukum seperti itu tentu akan dianggap kurang normal. Tapi ketidaknormalan hakim seperti itulah yang dinilai mampu mengembalikan hukum di Indonesia yang juga sudah tidak normal ke kondisi normal. Ketidaknormalan ini tetap akan muncul bila hukum terus bersenggama dengan politik kekuasaan.
Saya teringat kata Niccolo Machiavelli (1469-1527), negara adalah rimba intrik politik. Berbagai trik dilakukan untuk mengebiri hukum demi tujuan politi golongan. Perlu suatu sistim dan perangkat hukum yang efektif untuk mengembalikan hukum tetap hukum dan politik tetap pada ranahnya. Thomas Hobbes (1588-1679) mengatakan hal seperti itu perlu untuk menegakkan kembali ketertiban hukum.
Kalau penegak hukum yang angkuh dan sombong seperti itu tidak ada, maka penegakan hukum di Indonesia tetap hanya berupa dagelan politik semata, parodi berbalas pantun dan komedi menertawai diri sendiri yang jadi tragedi bagi masyarakat banyak. Maka sahlah apa yang diungkapkan Harace Walpole bahwa dunia ini hanya komedi bagi mereka yang melakukannya atau tragedi bagi mereka (baca-rakyat) yang merasakannya.
Untuk mencegah berbagai krisis, termasuk hukum yang sedang sakit seperti di Indonesia sekarang, ruang informasi harus dibuka lebar. Dalam The Right to Know, Access to Information in South East Asia, Sheilla Coronel menulis, keterbukaan informasi publik diperlukan untuk mencegah dan mengantisipasi ancaman krisis suatu bangsa. Sayangnya, menurut peraih penghargaan Ramon Magsysay Award 2003 bidang jurnalistik itu, Indonesia masih dikatagorikan sebagai negara yang warganya belum memiliki hak atas informasi.
Kembali pada keangkuhan dan kesombongan, para penegak hukum baru bisa berlagak angkuh tentu bila urusan perut sudah terpenuhi agar ia bisa sobong dan angkuh menolak suap dan sogokan para makelar kasus. Kode etik hakim termasuk soal penolakan hadiah baru bisa ditegakkan bila hakim sejahtera.
Amerika jelas mengatur hal ini dalam The Bangalore Principle of Judical Conduct. Mereka punya batas minimal seorang hakim bisa menerima hadiah agar tidak berujuang sogokan dan memengaruhi kasus yang sedang ditangani sang hakim.
Pemberian hadiah di Amerika hanya ditolerir sampai US$200 atau hanya sekitar Rp2 juta bila kurs Rp10.000. Lebih dari itu akan dianggap sogokan. Bagaimana dengan Indonesia? Semoga masih ada penegak hukum yang mau berlagak sombong dan angkuh.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Angkuh"
Post a Comment