“Karena saya tidak punya harga diri, tolong hargai rumah dan mobil pribadi saya.”
Penegakan hukum di Indonesia mempertontonkan banyak kejanggalan. Munculnya istilah cicak vesus buaya merupakan hasil dari rumitnya mengurai kejanggalan itu. Tak usah heran, karena hukum dalam dagelan politik selalu bisa diatur. Imbasnya, apatisme muncul dan publik mencibir penegakan hukum yang tak memiliki makna apa-apa setelahnya.
Hukum telah jadi lahan bisnis. Sejatinya bisnis selalu muncul hukum pasar; permintaan dan penawaran. Disinilah makelar punya peran. Bukan rahasia lagi kalau mata rantai peradilan di Indonesia telah disusupi makelar kasus. Perselingkuhan inilah yang melahirkan anak haram mafia peradilan.
Kembali ke cicak versus buaya. Antara cicak dan buaya di ranah hukum Indonesia, makelar tetap saja punya celah bermain. Menilik kembali ke hukum pasar, munculnya makelar tentu karena adanya permintaan. Ada empat mata rantai tempat permintaan itu muncul, mulai dari polisi, pengacara, jaksa, sampai hakim. “Karena saya tidak punya harga diri, tolong hargai rumah dan mobil pribadi saja.” Mungkin begitulah kasarnya nokhta transaksi itu.
Mampukah kita memutuskan rantai makelar? Sulit untuk menjawabnya selama hukum telah ditarik ke ranah bisnis oleh para prokreor (mafia peradilan-red). Berbagai gagasan dan strategi pemberantasan korupsi telah banyak diungkapkan. Tapi sampai kini teori-teori itu tak ubahnya hanya salinan di tumpukan kertas, tak jalan selama hukum telah di tarik ke dimensi bisnis, yang berlaku tetap hukum pasar.
Namun, tak jalan bukan berarti tak bisa diterapkan. Klintgaard pernah melontarkan tiga solusi efektif memberantas korupsi, yaitu: penetapan sistem evaluasi kerja dan memangkas segala hal yang berbau korupsi. Tentunya termasuk makelar yang menjadi pintu hukum dibawa ke persoalan bisnis.
Yang kedua kata Klintgaard, mengumpulkan informasi tentang berbagai jenis korupsi, sehingga siapaun bisa menghindari terjerumus ke dalamnya. Yang terakhir, menghukum pejabat yang terlibat korupsi tanpa pandang bulu.
Solusi pertama dan kedua mungkin dengan mudah bisa dilakukan. Hanya butuh komitmen untuk melaksanakannya. Pertanyaannya sekarang, mampukah pemerintah melaksanakan yang ketiga? Hal ini lebih sulit dilakukan apabila pejabat negara yang melakukan korupsi justru pendukung pemerintah. Ada balas jasa yang menjadi nilai tawar antara keduanya.
Ujung-ujungnya, cicak kembali harus melawan buaya. Bagaimana pun, kalau hukum masih brengseng, masyarakat yang berhubungan dengan hukum ikut menjadi brengsek. Kalau nilai yang berlaku adalah korupsi, maka akan lahirlah koruptor yang lebih besar. Kalau dusta dan munafik adalah gaya hidup yang memberikan keselamatan, maka banyaklah munafik munafik yang lebih besar.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Prokreor"
Post a Comment