Setelah korupsi di Indonesia larilah ke luar negeri, Anda akan aman.
Sejak tahun 1996 sampai sekarang, hanya David Nusa Wijaya, terpidana kasus Bank Sartiva yang berhasil diektradisi dari Amerika pada 16 Januari 2006 lalu. yang lainnya masih bebas berkeliaran di luar negeri.
Tak kurang dua puluh terpidana dan terdakwa kasus korupsi di Indonesia kini menetap di luar negeri. Mereka belum bisa dipulangkan untuk diminta pertanggungjawabannya di muka hukum karena tak adanya perjanjian ektradisi dengan negara tempat para koruptor itu tinggal. Singapura salah satunya.
Sebagaimana dilaporkan Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri dalam rapat konsultasi dengan pengawas pada 14 Mei 2009 [www.komisikepolisian.com] mereka adalah sebelas orang terpidana dan sembilan tersangka. Diantaranya ada obligor bermasalah dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kini ditambah lagi dengan Anggoro Widjojo terdakwa kasus pengadaan sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) dan Djoko S Tjandra terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali.
Anggoro Widjojo juga ditengarai sebagai dalang dibalik kriminalisasi petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini terungkap setelah rekaman pembicaraan Anggondo Widjojo adiknya Anggoro diputar di Mahkamah Konstitusi dua pekan lalu.
Yang paling fenomenal dan tak tersentuh sampai sekarang adalah Eddy Tansil. Bos Golden Kev Group, pembobol Bapindo senilai Rp1,3 triliun yang sudah melarikan diri ke luar negeri sejak 1996 silam. Untuk memburu para koruptor tersebut, pada 19 Januari 2009 lalu Menkopolhukkan mengeluarkan surat perintah bernomor Kep-05/Polhukkam/01/2009 tentang pencarian sembilan terpidana dan sebelas tersangka perkara tindak pidana korupsi.
Para terpidana itu adalah Eddy Tansil, Bambang Sutrisno, Andrian Kiki Ariawan, Sujiono Timan, Eko Edi Putranto, David Nusa Wijaya, Samadikun Hartono, Darmoko K Lawi, dan Trabani Ismail. Sedangkan sebelas tersangka adalah: Maria Pauline Lomuwa, Rico Hendrawan, Hendra alias Hendra Lee, Jefri Baso, Robert Dale Kutchen, Chaerudin (sudah almarhum), Irawan Salim, Amri Irawan, Lisa Evianti Imam Santosa, Hendra Liem, dan Budiyanto.
Dari duapuluh terpidana/tersangka itu baru lima orang yang berhasil ditangkap yaitu: David Nusa Wijaya, Darmono K Lawi, Andrian Kiki Irawan, Tabrani Ismail dan Jefri Baso. Andrian Kiki Irawan ditangkap oleh Australian Federal Police pada 28 November 2008, sampai kini masih dalam penahanan Commonwealth Director of Public Procsecution. Meski sudah setahun ditahan sampai kini belum dipulangkan ke Indonesia karena terganjal persoalan tidak adanya perjanjian ekstradisi dengan Australia. Status Kiki Irawan dimata hukum Australi hanya sebagai tersangka.
Begitu juga dengan Maria Pauline Lumowa yang kini menetap di Belanda. Ia tidak bisa diektradisi ke Indonesia karena sudah menjadi warga negara Belanda. Yang sedikit melegakan adalah pemblokiran asset E C W Neloe terpidana tindak korupsi Bank Mandiri. US$ 5,2 juta asset miliknya di rekening Bank Swis sudah diblokir. Begitu juga dengan US$ 9,9 juta dana di Bank Swis milik Irawan Salim tersangka kasus Bank Global.
Sementara para terpidana kasus BLBI lainnya kini masih bebas di luar negeri, seperti Sudjiono Timan yang telah divonis 15 tahun penjara dalam kasus PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia. Interpol sudah memburunya sejak 2004 lalu, sampai sekarang belum ditemukan konon lagi diektradisi ke Indonesia.
Ada lagi Samadikun Hartono, terpidana kasus Bank Moderen yang telah divonis empat tahun penjara. Kemudian Bambang Sutrisno dan Andrian Kiki Ariawan keduanya terpidana kasus PT Bank Surya yang divonis penjara seumur hidup. Sejak tahun 2005 lalu ketiga mereka sudah diburu oleh Interpol tapi sampai kini hukum Indonesia belum mampu menjamahnya.
Lalu Eko Adi Putranto dan Sherny Kojogian terpidana kasus PT Bank Harapan. keduanya divonis 20 tahun penjara, sudah diburu Interpol sejak tahun 2006. Satu-satunya yang berhasil di ektradisi adalah David Nusa Wijaya, terpidana kasus Bank Sartiva yang divonis delapan tahun penjara. Ia ditangkap di Amerika pada 16 Januari 2006, kini sedang menjalani hukuman di Salemba.
Upaya kerja sama ektradisi dengan negara lain mutlak harus dilakukan. Namun hal itu tidaklah semudah membalik telapak tangan. Profesor James Crawford, Sepcial Rapportuer yang mengurusi State Responsibility dalam tulisannya mengungkapkan, setiap negara di dunia memiliki kewajiban internasional untuk melakukan due diligence yang berakar pada primary rules hukum internasional.
Salah satu isi aturan tersebut adalah kewajiban negara untuk melakukan pengusutan terhadap warga negaranya yang disangka terlibat tindak kriminal di negara lain. mengacu pada aturan ini, para koruptor asal Indonesia yang telah berganti kewarganegaraan di negara lain bisa diminta untuk ditangkap oleh negara yang bersangkutan, kemudian diekstradisi ke Indonesia bila sudaha da perjanjian ektradisi dengan negara tersebut.
Masih menurut James Crawford, dalam tata hubungan internasional antar negara juga punya kode etik tersendiri, sebagaimana diatur dalam fatsoen (sopan santun) yang mengharamkan suatu negara atau warga dari satu negara mencampuri urusan internal negara lain. Fatson ini biasanya digunakan untuk pelaku makar. Sebagaimana pernah dijerat kepada tiga petinggi GAM; Hasan Tiro, Malik Mahmud, dan Zaini Abdullah. Indonesia meminta kepada Swedia dan Singapura untuk menghormati fatson tersebut dan mengektradisi tiga petinggi GAM itu ke Indonesia, tapi kemudian gagal.
Swedia dan Singapura tidak memenuhi permintaan tersebut. Meski Swedia pernah megirim jaksanya, Thomas Linstrad untuk melakukan investigasi atas dakwaan Indonesia terhadap Hasan Tiro Cs pada 2005 lalu. Namun hasil investigasi Linstrad menyimpulkan, dakwaan pemerintah Indonesia setebal 1.500 halaman itu tidak terbukti. Zaini Abdullah yang pernah ditahan selama tiga hari oleh Pemerintah Swedia dibebaskan, kepadanya juga dibayarkan sejumlah kompensasi akibat penahanan tersebut.
Hal-hal semacam itu mungkin juga akan terjadi terhadap para koruptor yang lari ke luar negeri. Dengan mudah mereka bisa berganti kewarganegaraan, hingga lepas dari jerat hukum di Indonesia. Hasilnya, para koruptor yang telah jadi terpidana dengan vonis dari tahunan, belasan tahun, puluhan tahun bahkan seumur hidup, tak akan merasa efek jera dari vonis tersebut. Vonis hanya berlaku di atas kertas tanpa mampu meringkus para terpidana.
Belajar dari kegagalan tersebut, sudah saatnya Pemerintah Indonesia yang menganut politik luar negeri dengan jargon bebas aktif, memaksimalkan diplomasi untuk meretas kerja sama ektradisi dengan berbagai negara, agar kalimat pembuka dari tulisan kolom ini jadi tidak benar. Dan anggapan saya itu menjadi salah adanya. Semoga.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Ektradisi"
Post a Comment