Untuk mencegah berbagai krisis, ruang informasi harus dibuka lebar
Keterbukaan informasi publik diperlukan untuk memecah dan mengantisipasi ancaman krisis suatu bangsa. Begitu Sheilla Coronel menulis dama The Right to Know, Acces to Information in Sout East Asia. Indonesia sebagai negara yang hak akses informasi bagi publik sangat kurang perlu memahami hal tersebut.
Krisis kepercayaan kini sudah hinggap pada berbagai lembaga dan institusi negara. apalagi setelah kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri. Diputarnya percakapan Anggodo Widjojo dengan berbagai pihak dalam kasus mengkriminalisasi petinggi KPK, telah memberi ruang informasi bagi publik bagaimana hukum di negeri
ini diatur oleh kekuatan rupiah dengan digit tanpa terbatas.
Keberanian Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Muhammad Mahfud MD membuka rekaman tersebut dalam persidangan, Sabtu, 3 November 2009 lalu mendapat pujian dari berbagai kalangan. Rakyat bisa mendengar secara langsung bagaimana sandiwara memainkan hukum itu dilakukan oleh Anggodo. Isu mafia peradilan, makelar kasus (markus) pun tak terbantahkan.
Namun kemudian jadi ironi, ketika transkrip rekaman itu disiarkan di media massa. Informasi publik seakan diberanggus ketika koran Kompas dan Seputar Indonesia (Sindo) dipanggil Mabes Polri atas laporan Anggodo. Sementara terhadap Anggodo yang secara telah mengatur kasus kriminalsasi petinggi KPK, Polri belum berani menentukan statusnya sebagai tersangka. Status Anggodo masih sebagai terlapor dengan enam pasal sangkaan, yakni: pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan institusi Polri, penyuapan, perbuatan memfitnah orang lain, dan pengancaman.
Dalam surat bertanggal 18 November 2009, Kompas dan Sindo dipanggil oleh Polri untuk memberi keterangan terkait disiarkannya transkrip percakapan Anggodo tersebut. Kompas memuat transkrip itu pada Minggu, 4 November 2009. Surat panggilan itu ditandatangani oleh Direktur II Ekonomi dan Khusus Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, Kombes Pol Raja Erizam.
Pemanggilan kedua koran nasional tersebut seakan mencederai hak informasi bagi publik. Untuk menjaga hak informasi publik, kita harus mendukung sikap Dewan Pers yang menentang upaya pelarangan siaran langsung di sidang pengadilan dan sidang DPR yang hingga kini masih kontroversi. Dewan Pers menilai penyiaran langsung tersebut tidak melanggar pasal 28 F UUD 1945, yang menjamin hak rakyat untuk berkomunikasi, memperoleh dan menyampaikan informasi dengan berbagai saluran media cetak dan elektronik yang tersedia.
Begitu juga dengan Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, pasal 4 ayat (2) yang menyatakatan terhadap pers tidak dikenakan pensensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Dilanjutkan dengan ayat (3) pers mempunyai hak mencari memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pasal-pasal ini menjaga agar ruang informasi terhadap publik terbuka. Lalu bagaimana dengan sikap Polri yang memanggil dua koran nasional tadi terkait penyiaran transkrip pembicaraan Anggodo? Kalau itu yang terjadi, maka publik harus berani menentangnya, sebagaimana Hu Jia, aktivis kemanisiaan di Cina yang rela diganjar dengan pasal subversi hanya karena menulis hak-hak publik dalam jurnal Developmen Dialogue. Dalam jurnal itu ia menulis hak-hak pengindap HIV-AIDS.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Informasi"
Post a Comment