Dalam dunia angka-angka, seri nominal pada lembaran alat tukar alias uang menentukan nilai sesuatu. Namun uang bukanlah uang ketika peruntukannya mengaburkan makna uang itu sendiri. Sebanyak apa pun deretan digit di kertas keluaran bank negara itu, tak bermakana apa.
Baiklah kuceritakan sekarang tentang kisah klasik ketika alat tukar itu pertama kali muncul menggantikan sistim perdagangan barteran. Seorang Uleebalang di negeri tak bertuan mengumpulkan banyak uang untuk membuktikan dirinya orang terkaya di negeri tersebut. Siapapun yang diketahui memiliki lembaran uang akan diusahakannya untuk didapatkan, meski dengan cara menukarkannya dengan barang berharga miliknya yang lebih bernilai dari nominal angka uang tersebut.
Hingga pada waktu tertentu, separuh uang yang beredar dalam negeri itu telah jadi miliknya dan disimpan dalam sebuah bungker rahasia. Ia mencintai uang lebih dari segalanya. Negeri tak bertuan yang mencoba memunculkan seorang tuan sebagai pemimpin menjadi rusuh. Uang yang beredar sangat sedikit, harga barang jadi mahal. Sehingga rakyat kota kecil itu kembali lagi pada perdagangan dengan sistim barteran, barang diganti dengan barang.
Seorang pencuri ulung yang baik hati kemudian mengetahui tentang bungker berisi tumpukan uang milik Uleebalang itu. Dengan susah payah ia mencurinya, kemudian membagi uang itu kepada penduduk miskin dengan syarat penduduk yang mendapat uang itu harus merasahasiakannya dan tidak berbelanja dengan uang tersebut sampai batas waktu tertentu.
Uleebalang itu uring-uringan, ia hampir saja mengakhiri hidupnya dengan meneguk racun. Beruntung baginya memiliki seorang istri yang menyelamatkannya dari petaka bunuh diri itu. Istrinya mengajak dia ke bungker itu sambil membawa sebuah goni besar. Isi goni itu dikeluarkan. “Ini pengganti uangmu,” katanya.
Uleebalang merasa tersinggung karena uangnya yang sangat banyak itu diganti istrinya dengan segoni daun. “Apa maksudmu mengolok-ngolokku seperti ini,” tanya Uleebalang pada istrinya.
Dengan tersenyum istrinya menjawab. “Uangmu sama seperti daun ini, anggap saja ini uang yang hilang itu. Kita masih kaya memiliki banyak daun pengganti tabungan uangmu,” lanjut si istri.
Uleebalang jadi emosi karena menganggap istrinya keterlalulan. “Masa uangku kau ganti dengan daun? Ini keterlaluan, kamu telah mengolok-ngolokku yang sedang bersedih dan jatuh miskin ini,” katanya.
Si istri masih tersenyum, lalu dengan nada datar ia berujar. “Uang yang kau tumpukkan dalam bungker ini, nilainya sama dengan tumpukan daun yang baru saja kukeluarkan dari goni itu, karena kau tidak pernah menggunakan uang itu sebagaimana peruntukannya. Kau tidak menggunakan uang pada tempatnya, tidak membelanjakannya untuk kebutuhan kita, juga tidak untuk membantu orang lain, jadi anggap saja daun itu sebagai uang yang tak akan kita gunakan untuk apa pun, kita hanya melihat-lihatnya saja, sebagaimana kau melihat lihat tumpukan uangmu sebelumnya,” kata si istri memberi argumen.
Mendengar penjelasan istrinya, Uleebalang itu sangat malu. Tak ada gunanya menimbun harta, bila harta itu tidak digunakan untuk kepentingan dan kemakmuran sendiri. Uang yang ditumpuk dalam bungker bukanlah uang, nilainya sama dengan daun yang tak bisa digunakan untuk tukar menukar.
Di zaman yang segalanya sering diukur dengan uang ini, banyak orang tak punya uang berusaha mendapatkan uang dengan berbagai cara, baik berutang, mengambil kredit, atau malah dengan penipuan. Dengan sedikit uang mereka memancing uang yang lebih besar. Dan itu bukan untuk ditimbun dalam tabungan, tapi diputar dalam berbagai usaha hingga makna uang dalam hukum ekonomi benar-benar terwujud. Uang benar-benar uang ketika ia digunakan. Karena itu pula, para pelaku ekonomi memutar lebih 80 persen uangnya untuk usaha, sementara 20 persen sisanya hanya dijadikan dana abadi untuk kebutuhan dadakan.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Uang Uleebalang"
Post a Comment