Manusia itu hewan yang dikarunia akal. Dia punya naluri sejak lahir, mulai dari naluri hidup
(survive), naluri persaingan
(competition), naluri seksual
(sexual desire) sampai naluri pengorbanan
(self secrifice).
Dalam naluri bertahan hidup, manusia bisa seperti hewan, makan apa saja tanpa perikemanusiaan. Naluri yang seperti itu membuat manusia bertindak tanpa mempertimbangkan. Lakon dan gaya boleh apa saja, malah tikus bisa berlakang kucing, kucing bergaya anjing, sampai ustad bersurban maling.
Ini gaya yang terlalu mengejar kepentingan
survive untuk pemenuhan kepuasan. Gaya yang menolak tangga mengharap licin penyangga eskalator. Padahal rantai-rantai penggeraknya menjerat leher para jelata.
Lebih dari
survive, dalam naluri bersaing, manusia juga bisa lebih dari hewan. Hukum rimba yang homo homoni lupus berlaku. Pada kondisi seperti ini, naluri yang muncul akan membunuh etika untuk kepuasan pribadi.
Manusia akan berlagak sebagai
homo homoni deo, mengangap dirinya tuhan. Bukan tuhan yang mengasihi, tapi tuhan yang merampas belas kasihan, yang mematikan iba.
Lagi-lagi penyebab dominannya pemenuhan kepuasan ekonomi. Manusia seperti ini, sering tak bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan, hingga terjebak dari satu nafsu ke nafsu lainnya.
Sementara
self secrifice, lebih banyak berkorban. Ia bisa melewati batas ketika hanya mengikuti nalurinya, dia tidak perduli sang gurunya salah, pemimpinnya salah, keluarganya salah, orang-orang yang dicintainya salah, atau dirinya salah, secara membabi buta dia hanya akan membela mati-matian mengikuti naluri pengorbanan dirinya. Inilah naluri menuhankan manusia, mendewakan atasan untuk kepentingan sesaat.
Tapi dalam bisnis dan dunia kerja tidak boleh hanya mengikuti naluri semata. gunakanlah kecerdasan intuisi bisnis dan kecerdasan yang lainnya sebagai penyeimbang.
Pertanyaanya sekarang, kita bekerja dengan naluri atau intuisi, mari saling menimbang, agar mencari kepuasan tak selamanya harus menganggap diri sebagai tuhan.***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Merawat Naluri"
Post a Comment