Perbankan di Aceh harus fokus pada peran intermediasi. Jika terus uang Aceh dibawa ke luar dalam bentuk SBI, maka perekonomian Aceh akan mengalami ‘anemia’.
Spekulasi untuk mencari keuntungan dengan cara aman yang dilakukan perbankan di Aceh membuat gairah pasar di Aceh jadi lesu. Uang yang dihimpun dari nasabah dengan yang dikucurkan kembali dalam bentuk kredit sangat tidak berimbang.
Keluhan beberapa kawan pengusaha terhadap susahnya mendapat kredit usaha di bank sekan menyiratkan bagaimana bank-bank di Aceh lebih tertarik memberikan kredit konsumtif, tinimbang kredit untuk modal usaha. Hanyalah pengusaha-pengusaha kelas kakap yang menikmati kredit di bank. Itu pun setelah pihak dalam mendapatkan sejumlah sukses fee sekian persen dari kredit yang dikucurkan.
Sementara pengusaha kecil semakin terpuruk karena susahnya mendapat bantuan modal dari bank. Selain itu bank juga lebih memilih cara aman dalam pemberian kredit, yakni kredit yang diberikan dominan hanya untuk pegawai negeri. Itu pun kredit konsumtif. Bank lagi-lagi memilih cara aman karena kredit yang diberikan kepada pegawai tidak akan macet. Cicilan bulanannya langsung dipotong dari gaji. Ini umumnya dilakoni oleh Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Sebelumnya, untuk meningkatkan gairah usaha di Aceh pascatsunami, Wakil Presiden Jusuf Kala mengucurkan bantuan kredit Rp1 triliun untuk pengusaha Aceh. ironisnya, dana yang ditempatkan di lima bank di Aceh tersebut, tidak pernah bisa dicairkan. Kelima bank yang menikmati dana itu adalah Bank Nasional Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Pembangunan Daerah (BPD), Bank Mandiri, serta Bank Bukopin.
Kredit untuk program rehabilitasi dan rekonstruksi itu diberikan kepada pengusaha lokal dengan bunga rendah. Namun, tidak dikucurkannya kredit itu juga tidak serte merta kesalahan pihak bank. Alasannya, pihaknya bank mengaku terbentur dengan sejumlah aturan dari departemen keuangan, sehingga dana Rp1 triliun itu tidak bisa disalurkan dalam bentuk kredit.
Peran intermediasi bank sangat menentukan tumbuhnya gairah pasar. Kita tidak menginginkan ‘petaka’ tahun 1997 kembali terulang. Kala itu permasalahan intermediasi tidak hanya terjadi pada bank-bank domestik saja, tapi juga pada bank-bank asing yang melakukan spekulasi hingga menyebabkan berfluktuasinya nilai tukar rupiah.
Krisis moneter pada tahun 1997 itu masih menyisakan beberapa persoalan hingga sekarang, apalagi di daerah. Sampai kini penyaluran kredit perbankan masih stagnan, tumbuh lebih lambat dibandingkan masa sebelum krisis. Dalam laporan Direktorat Penelitian Perbankan Biro Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia tentang fungsi intermediasi bank asing dalam mendorong sektor riil di Indonesia, dibandingkan kondisi dan kebijakan beberapa negara tentang peran intermediasi bank asing.
Malaysia misalnya, mereka punya cara jitu untuk menghindari pengaruh bank asing dalam pasar domestik. Otoritas perbankan di Malaysia sangat hati-hati dalam memberi izin terhadap bank asing. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan adalah bank asing dapat memberikan kredit bekerja sama dengan bank lokal dan bank campuran, sehingga sektor riil jadi tumbuh.
Kemudian pada tahun 1989, otoritas perbankan Malaysia menerapkan Banking and Finansial Institution Act yang mewajibkan bank yang melakukan kegiatan usaha di Malaysia membentuk perusahaan publik yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan atas rekomendasi Bank Negara Malaysia (BNM).
Hasilnya, walaupun Malaysia melakukan kontrol devisa degnan ketat, prospek perekonomiannya cukup stabil mendorong peningkatan aktivitas bank, terutama dalam peran bank sebagai lembaga intermediasi. Dana yang dikumpul dari nasabah hampir sebanding dengan dana yang dikucurkan dalam bentuk kredit.
Lambannya peran intermediasi bank sampai sekarang masih jadi polemik di Indonesia, baik secara nasional maupun daerah. Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah menyebutkan, meski angka kredit menunjukkan kenaikan, namun pertumbuhannya lamban. Malah ada beberapa bank malah turun.
Hal ini diperparah dengan ulan bank yang enggan berekspansi. Bank termasuk Bank BPD Aceh, lebih suka menyimpan dana yang dikumpulkan dari nasabah dalam bentuk SBI dari pada mengucurkannya dalam bentuk kredit. Selain itu, ekspansi kredit konsumtif juga masih jadi andalan bank. Maka, tidak salah ketika seorang kawan mengatakan bank di Aceh hanya jadi ‘pemeras’ terhormat yang mengejar target pendapatan bunga dari kredit konsumtif yang disalurkan kepada pegawai negeri.
Sementara di sisi lain, bank juga memilih jalan aman untuk memperoleh untung dengan cara meng-SBI-kan dana yang terkumpul dari nasabah. Sudah saatnya peran intermediasi bank di Aceh dipertanyakan sebelum perekonomian Aceh mengalami ‘anemia’.[]
Belum ada tanggapan untuk "Intermediasi"
Post a Comment