Untuk mencegah berbagai krisis, ruang informasi harus dibuka lebar. Dalam The Right to Know, Access to Information in South East Asia, Sheilla Coronel menulis, keterbukaan informasi publik diperlukan untuk memecah dan mengantisipasi ancaman krisis suatu bangsa.
Sayangnya, menurut peraih penghargaan Ramon Magsysay Award 2003 bidang jurnalistik itu, Indonesia masih dikatagorikan sebagai negara yang warganya belum memiliki hak atas informasi.
Berapa besar dana publik yang dikelola pemerintah hanya jelas nominalnya saja dalam daftar anggaran. Sementara pertangungjawaban penggunaannya hanya diketahui oleh segelintir orang. Itu pun kerap tak selamanya benar-benar betul. Hikayat kongkalikong tetap saja terjadi.
Apa yang dibuat sering hanya untuk diketahui kalangan terbatas saja. Publik tidak diberikan kekuasaan untuk mengetahui dan membela kepentingannya. Parahnya lagi ketika media turut berkolaborasi dengan kekuasaan, sehingga pembohongan publik pun dikemas entah dalam advertorial atau apalah namanya.
Media juga sering terjebak dalam isu isu peralihan, yang sengaja dimunculkan untuk meredam isu lebih besar yang berhubungan dengan kepentingan publik. Hak publik terhadap informasi subtansial pun terkebiri, digilas isu lain yang sengaja dimunculkan.
Media dituntut jeli untuk melihat persoalan, menangkap fakta dan fenomena untuk dikabarkan kepada publik. Bukan larut dalam tunggangan kekuasaan, meski itu tidak mudah, karena untuk ukuran Aceh, media masih melihat pemerintah sebagai lumbung penghasilan. Bukan hanya lewat iklan, tapi juga kolaborasi untuk mengelabui kepentingan publik.
Kebebaan pers telah melahirkan banyak media. Meski berdampak positif bagi perkembangan media dan penyebaran informasi publik, tapi juga sebaliknya, kebesan dipakai untuk mengolah ketidakjelasan dari abu-abu menjadi hitam, bukan membuatnya putih kembali. Inilah kebebasan yang keblablasan. Karena banyak media masih berharap untung dari kucuran biaya iklan pemerintah. Akibatnya, mengkritik untuk kepentingan publik jadi barang langka.
Kita masih harus belajar pada Hu Jia, aktivis kemanusiaan Cina. Ia rela diganjar dengan pasal subversi dan dipenjara tiga tahun, hanya karena menulis hak-hak publik. Dalam jurnal Development Dialogue, Sheilla Coronel menjelaskan Hu Jia menulis tentang hak pengindap HIV-AIDS. [iskandar norman]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Informasi"
Post a Comment