Dalam sebuah persidangan, pledoi merupakan “harga mati” bagi terdakwa. Begitu juga bagi Darmili dan Yazid, Bupati dan Dirut Perusahaan Daerah Kabupaten (PDKS) Simeulue, dua terdakwa kasus perambahan hutan.
Dua kali sudah sidang gagal. Alasannya, kuasa hukum keduanya belum menyelesaikan nota pembelaan (pledoi). Setelah jaksa menuntut Darmili dan Yadiz masing-masing satu tahun penjara plus denda Rp50. Bila denda itu tidak dibayar disubsider dengan tambahan tiga bulan penjara.
Pledoi jamak disiapkan sebagai pembelaan terhadap terdakwa. Di dalamnya deretan pasal-pasal KUHP baik perdata maupun pidana “dikunyah” untuk membantah pasal-pasal yang dijerat oleh jaksa selaku pengacara negara.
Di sisi lain pledoi juga upaya mempengarui opini hakim dalam mengetuk palu vonis. Mungkin, menyadari hal itu, sampai sekarang Zakiruddin Chaniago dan Afdal Affan, kuasa hukum Darmili dan Yadiz belum merampungkan pledoinya. Disini, sikap profesionalisme dipertaruhkan.
Pertaruhan inilah yang kadang kala membuat sidang bukan lagi mencari keadilan, tapi berujung pada ego menggapai kemenangan. Sementara pada hakikatnya tak ada menang kalah dalam hukum selain keadilan itu sendiri. Hukum harus jadi panglima.
Namun lagi-lagi, ya..lagi-lagi kebanyakan sidang hanya upaya menggapai kemenangan semata. Bila kemenangan yang dicari tentu rasa adil bagi satu diantara dua pihak yang “bertarung” di pengadilan akan tercoreng.
Dalam kasus Darmili, kita berharap majelis hakim bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus terpengaruh dengan beragam opini “mendayu mengiba” dari dua pihak: jaksa dan pengacara, karena hakim adalah orang pintar.
Penyair Roy Campbell (1901-1956) menulis “Dari sekian banyak orang pintar, aku paling bahagia melihat diri sendiri. Suaraku adalah satu-satunya yang aku cermati. Dan wajah satu-satunya yang aku cermati adalah wajahku sendiri.” Semoga hakim benar-benar mendengar suaranya sendiri.
Hakim harus menjadi apa adanya dia dalam memamah perkara yang disidangkannya, tanpa harus manut pada tuntutan jaksa atau patuh terlena pada pledoi pembela. Friedrich Wilhelm Nietzsche pilsuf Frusia dalam karyanya “Ecce Homo” berkata, how one becomes what one is. Bagaimana orang menjadi apa adanya dia. Semoga.***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Pledoi"
Post a Comment