Sebuah hal yang alami ketika seseorang mempekerjakan temannya dalam urusan politik. Teman yang memperlunak kekerasan. Intinya, kalau bisa bekerjasama dengan teman, mengapa harus meminta bantuan orang asing.
Namun masalahnya, teman dalam politik tidak bisa diukur kesetiannya. Mereka yang sering menghindari perdebatan untuk menyepakati apa yang dikatakan tuan politiknya, hanya sebagai upaya untuk tidak menyinggung perasaan. Di balik itu, mereka menutupi kualitas buruk mereka atas nama politik.
Teman dalam politik sering menawarkan lelucon tinimbang kejujuran untuk memperkuat persahabatan. Anda tidak akan pernah tahu kualitas perasaat teman politik Anda dalam politik yang ia mainkan. Teman dalam politik sering memuji langkah dan kebijakan Anda, tapi sering kali itu tidak sungguh-sungguh.
Saat Anda mempekerjakan seorang teman atas nama politik, Anda tak mengetahui kualitas yang ia sembunyikan. Tindakan baik hati atas nama balas budi hanyalah kedok untuk merebut langkah politik mendahuli Anda. Lalu perasaan sakit hati, merasa dikhianati akan muncul sesudahnya.
Mempekerjakan teman hanya akan membatasi tindakan Anda karena beragam pertimbangan, rasa tak enak hati dan sejenisnya. Dalam istilah orang Aceh dikenal dengan sebutan hana meu’oh sa’oh. Teman dalam politik lebih sering tak bisa membantu, hingga kemudian kita sadar bahwa kepintaran lebih penting dari pertemanan.
Dalam ilmu politik, sebenarnya musuh Anda adalah tambang emas yang perlu dieksplorasi. Simaklah apa yang dikisahkan Robert Greene penulis buku The Art of Seduction. Ia menulis yentang Talleyrand, Menteri Luar Negeri Napolen Bunaparte yang pada 1807 memutuskan bahwa bosnya itu akan memimpin Prancis menuju kehancuran.
Talleyrand paham betul bahwa saat itulah ia harus mengkhianati dan melawan Napoleon. Ia memilih Joseph Fouché kepala polisi rahasia, musuh bubuyutannya, seorang pria yang bahkan pernah menyuruh seseorang untuk membunuhnya. Ia tahu bahwa kebencian mereka dan permusuhan di masa lalu akan memberikan peluang untuk rekonsiliasi politik untuk mengulingkan musuh yang sama yakni Napoleon.
Pertemanan dalam politik hanya dilandasi oleh minat yang sama, bukan persahabatan. Meski keduanya dalam persekutuan itu tidak mampu menggulingkan Napoleon, namun ketakberhasilan itu pula yang membuat keduanya sangat kental berhubungan. Mereka benar-benar musuh yang telah berhasil melakukan rekonsiliasi politik untuk minat yang sama yakni melawan Napoleon pada kali kedua dengan kekuatan yang menyebar di Prancis, kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya.
Abraham Lincoln mengatakan hal ini sebagai menghancurkan musuh dengan menjadikannya teman. Dalam suatu pidato yang disampaikan Lincoln pada puncak perang saudara di Amerika, ia merujuk pada pendudukan daerah selatan sebagai sesama manusia yang melakukan kesalahan. Seorang wanita lansia menegurnya ketika menyebut mereka musuh. Ia mengakui hal itu dan menyanggah wanita lansia tersebut dengan mengatakan, “Bukankah aku menghancurkan musuh-musuhku ketika aku menjadikan mereka teman.”
Kulatitas pertemanan dalam politik digambarkan dalam pribahasa China sebagai rahang dan gigi seekor hewan yang berbahaya. Jika tak hati-hati maka Anda akan dikunyahnya.
Kaisar Sung di China tahu ia akan dikeroyok oleh teman-temannya, para jenderal yang haus kekuasaan, mereka akan melakukan kudeta terhadapnya sebagaimana dilakukan terhadap kaisar-kasisar sebelumnya. Para jenderal teman politiknya saat melakukan kudeta diyakini akan menjadi musuh pada kudeta selanjutnya. Kaisar Sung tak mau mengalami hal itu. Ia memberi fasilitas mewah kepada para jenderal itu dan memintanya untuk pensiun dini dari kemiliteran. Maka amanlah kekuasan Kasisar Sun.
Inilah cara yang lebih baik, melemahkan lawan politik dari pada membunuhnya sebagai musuh. Mereka kemudian akan jadi kawan politik yang memberi dukungan sepanjang masa. Kaisar Sung memanfaatkan musuhnya satu persatu dan mengubah mereka menjadi kawan politiknya yang bisa diandalkan.
Seorang musuh dalam politik yang berada disekitar kekuasaan, akan membuah si berkuasa mempertajam kelihaiannya dalam memanfaatkan dan menaklukkannya. Dan kaisar Sung telah mampu melakukan hal itu, hingga ia bisa menghentikan pola kudeta di China yang sudah berlangsung lama. Dinasti Sung memimpin China tanpa kudeta sampai lebih 300 tahun. Inilah imbalan ketika mampu mempekerjakan kawan dan lawan dalam konflik politik.
Malah, Mao Tse-tung menganggap konflik sebagai kunci untuk mendekati kekuasaan. Dan itu dipraktekkannya pada tahun 1937 ketika Jepang menyerang China dalam perang saudara antara komunis Mao dengan golongan nasionalis. Ia menang karena mampu memanfatkan kawannya sebagai lawan dan begitu juga sebaliknya, karena teman dan musuh dalam politik tidaklah hitam putih tapi abu-abu. Kepentingan yang membuatnya buram atau malah menjadi lebih pekat.
Namun, meskipun lebih baik tidak mencampurkan antara pertemanan dalam politik dengan pekerjaan. Ada kalanya seorang teman bisa dimanfaatkan untuk memberikan dampak yang lebih besar, dari pada berkawan dengan seorang musuh. Jika rencana politik Anda gagal, Anda bisa menggunakan teman sebagai kambing hitam. Ini yang oleh Robert Greene disebut sebagai trik kejatuhan orang kesayangan.
Menutup tulisan ini, saya kutip kata-kata Baltasar Gracian (1601 – 1658). Katanya, ketahuilah cara memanfaatkan musuh Anda demi keuntungan Anda sendiri. Anda harus belajar memegang pedang bukan di bagian bilahnya, karena tindakan itu akan melukai Anda sendiri, melainkan di bagian gagangnya karena tindakan itu akan membuat Anda mampu membela diri. Manusia yang bijak lebih meraih keuntungan dari musuhnya daripada orang bodoh yang berusaha meraih keuntungan dari teman-temannya.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Teman Politik"
Post a Comment