Aceh tak pernah
menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda. Sampai kini Belanda tidak bisa
menunjukkan surat penyerahan kekuasaan Sultan Aceh.
Mengenai
kedaulatan Aceh dijelaskan dalam sarakata
(dokumen kerajaan) yang masih tersimpan sampai sekarang. Adalah Said Abdullah
Teungku Di Meulek selaku Wazir Rama Setia (Sekretaris Kerjaan) yang menyiapkan
dan menyimpannya.
Sarakata tersebut diantaranya seperti sumpah dan khutbah kerajaan
dalam menghadapi ancaman penyerangan Belanda. Para ulama, uleebalang dan
seluruh rakyat Aceh diserukan untuk berjihat melawan agresi tersebut.
Kegigihan rakyat
Aceh dalam menghadapi dan melawan angresi Belanda itu digambarkan oleh penulis
Belanda HC Zentrgaaff sebagai perjuangan yang luar biasa. Ia menulis:
“…De waartheid
is dad de Atjehers mannen en vrouwen in het elgemeen schitteren hebben
gevochten voor wat zij zaggen als hun nationaal of religieus ideal. Er is onder
die strijders cen zeer groot aantal mannen an vrouwen die den trots van elk
volk zouden uitmaken.”
Maksudanya
kira-kira, “Rakyat Aceh, baik pria maupun wanita berjuang secara luar biasa.
Mereka merasakan sebagai satu bangsa yang bertugas membela agama, bangsa dan
wilayahnya dengan perjuangan suci. Mereka terdiri dari pahlawan-pahlawan, baik
pria maupun wanita yang memiliki kebanggaan atas kebenaran perjuangannya.”
Hal ini diakui
oleh Panglima Perang Belanda di Aceh, Jenderal Van Pel. Dalam buku ES
Klerek: History of Netherland Eas Indie ia mengakui jatuhnya mental tentara Belanda akibat
perlawanan sengit dari rakyat Aceh. Ia menulis:
“The
proclamation of direct rule over Acheh pi proper had been a mistaken idea;
there could be not question of conquest for the time being, the standing army
in Acheh beingdepleted by the heavy losses suffered and the consequent large
drainage of force.” (Proklamasi tentang langsung dijajah/diperintah Aceh,
sesungguhnya adalah cita-cita yang amat salah. Sebenarnya soal menang tidak ada
waktu itu. keadaan serdadu di Aceh sangat menyedihkan karena menderita
kekalahan hebat dan akibatnya kemusnahan kekuatan yang besar).
Keterangan Pocut
Meurah
Soal perjuangan
mempertahankan kedaulatan Aceh itu, pernah ditulis Ali Hasjmy dalam “Peranan
Islam dalam Perang Aceh.” Dalam buku
itu pada halaman 44, mantan Gubernur Aceh tersebut menceritakan pengalamannya
pada tahun 1944 ketika mengantarkan seorang pembesar Jepang menemui Pocut
Meurah.
Kepada pembesar
Jepang itu Pocut Meurah mengungkapkan bahwa Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah
yang ditawan Belanda pada tahun 1903 tidak mau menandatangani naskah penyerahan
kedaulatan Aceh kepada Belanda. Alasannya, kedaulatan Aceh telah diserahkan
kembali kepada rakyat Aceh menjelang ia ditangkap/ditawan Belanda.
Meski waktu itu
Belanda berjanji akan mengangkat kembali Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah
sebagai raja Aceh jika mau menandatangai surat penyerahan kedaulatan Aceh
kepada Belanda, sultan tetap menolak menandatanganinya.
Masih menurut
Pocut Meurah, Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah juga pernah mengirimkan surat
kepada Kaisar Jepang, Tenno Heika dengan perantaraan Konsul Jenderal di
Singapura. Dalam surat itu ia meminta bantuan senjata dan kapal perang.
Keterangan yang sama juga pernah disampaikan Tuanku Raja Keumala melalui
putranya Tuanku Hasyim SH kepada Ali
Hasjmy.
Begitu juga
dengan keterangan bekas Sultan Pontianak, Sultan Abdul Hamid. Ia memberikan
keterangan tentang kedaulatan Aceh kepada Teuku Burdansyah sewaktu sama-sama
dalam tahanan di penjara Cipinang, Jakarta. Sultan Abdul Hamid mengaku telah
mempelajari semua dokumen penyerahan kedaulatan kerajaan-kerajaan di nusantara
kepada Belanda, tapi ia tidak menemukan naskah penyerahan kedaulatan Aceh.
Pernyataan Putra
Mahkota Kerajaan Aceh
Yang lebih kuat
lagi tentang tidak diserahkannya kedaulatan Aceh kepada Belanda
diungkapkan Tuanku Raja Ibrahim Bin
Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah, putra mahkota Kerajaan Aceh. Surat
pernyataan itu dibuat pada 5 Mei 1975 di
Banda Aceh. bunyinya:
“Pada tanggal 20
Januari 1903 dengan tergesa-gesa ayahanda Sultan dan saya sendiri dihadapkan di
hadapan pembesar-pembesar pihak Belanda di Kutaraja. Kami dihadapkan dalam satu
sandiwara politik kolonialnya dengan cara 4 (empat) pasal yang dibuatnya
sendiri tanpa ditandatangani oleh Ayahanda Sultan dan saya sendiri,
ditonjolkannya untuk menjatuhkan martabat perjuangan Aceh, seolah-oleh mereka
telah berhasil. Pernyataan (penyerahan kedaulatan) yang dibuat-buat oleh pihak
musuh itu otomatis bertentangan dengan prinsip Ayahanda Sultan dan saya sendiri
sebagai putranya, sedangkan perjuangan rakyat terus bergolak tidak ada hentinya
melawan pihak Belanda…”
Menurut Ali
Hasjmy, naskah pernyataan Tuanku Raja Ibrahim tersebut saat itu disimpan dalam
kumpulan dokumen-dokumen bagian museum pada Kantor Perwakilan PDK daerah
istimewa Aceh, sedangkan foto kopi surat pernyataan itu tersimpan di Pustaka
Ali Hasjmy, Banda Aceh.
Soal tidak
pernah diserahkannya kedaulatan Aceh kepada Belanda juga ditulis oleh pengarang
Belanda Dr BJ Bolland dalam bukunya, The Strunggle of Islam In Modern
Indonesia. Dalam buku itu ia
menulis: “…But on Januari 10th, 1903, the Sultan was captured…
However, the Sultan continued to be active in secret even in captivity, and
Aceh never capitulated to the colonial power…”
Penulis Belanda
lainnya, Paul van’t Veer dalam buku De Atjeh Oorlog membagi babakan
perang Aceh dari 1873 sampai 1942 dalam empat periode, yakni periode pertama
1873, periode kedua 1874 sampai 1880, periode ketiga 1881 sampai 1896, serta
periode keempat dari tahun 1897 sampai 1942.
Dari keempat
periode perang tersebut, Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada
Belanda. Pada periode pertama dan periode kedua merupakan periode perang total
yang frontal, saat itu pemerintahan Kerajaan Aceh masih berjalan dengan baik
meski pusat kerajaan (Dalam) telah dipindahkan dari Bandar Aceh
Darussalam ke Indrapuri lalu dipindahkan lagi ke Keumala Dalam dan beberapa
tempat lainnya.
Sementara perang
pada periode ketiga merupakan perang gerilya total teratur. Saat itu
pemerintahan Kerajaan Aceh sudah tidak teratur lagi karena sering berpindah-pindah
tempat pusat pemerintahan. Selanjutnya pada periode keempat, merupakan periode
perang gerilya kelompok/perorangan. Pada periode terakhir ini, kelompok-kelompok rakyat atau
perorangan melakukan perlawanan terhadap Belanda tanpa ada komando dari
pemerintah pusat kerajaan.
Paun van’t Veer malah berkesimpulan, perang Aceh
berakhir pada tahun 1942 dengan kekalahan Belanda. Ia menulis. “Perang Aceh
tidak berakhir pada tahun 1913, atau 1914, karena dari tahun 1914 masih
memanjang benang merah yang tidak pernah putus sampai ke tahun 1942.”
Malah menurut
paul, setelah tahun 1942 Pemerintah Belanda tidak pernah lagi bisa masuk ke
Aceh. Pada buku yang sama ia menulis. “Dari tahun 1942 sampai 1945 dan
sesudahnya, Pemerintah Belanda tidak pernah dapat kembali ke Aceh. Dalam
masa-masa aksi militer sekitar tahun 1946 – 1947, sewaktu sebagian besar Pulau
Sumatera telah dapat diduduki kembali oleh Belanda, tidak pernah tentara
Belanda berniat dan berusaha untuk menembus sampai ke Aceh. Dan Aceh adalah
daerah satu-satunya di Indonesia di mana sejak tahun 1945 sampai dengan 1950,
kemerdekaan sudah menjadi suatu kenyataan. Aceh adalah daerah terakhir yang
dapat diduduki oleh Belanda, tetapi Aceh adalah daerah yang paling pertama
membebaskan diri dari pendudukan militer Belanda, yaitu sejak 1942.” [Iskandar
Norman]
Belum ada tanggapan untuk "Aceh yang tak Pernah Menyerah"
Post a Comment