Wanita Aceh
dalam setiap perang menolak setiap perdamaian dan lebih berwatak keras dengan
berprinsip membunuh atau dibunuh – Zentgraaff
Apa yang
dikatakan HC Zentgraaff itu bukanlah tanpa alasan. Jurnalis perang itu
mengalami dan melihat sendiri bagaimana perempuan Aceh mengambil perannya dalam
perang melawan Belanda. Redaktur Java Bode itu kemudian membukukan pengalaman
perangnya di Aceh dalam buku “Atjeh”.
Buku ini
kemudian dianggap sebagai gondam yang memukul muka Belanda sendiri,
menelanjangi kegagalan Belanda di Aceh. Zentgraaff tak segan-segan mencela
bangsanya sendiri yang bertindak kejam dalam memerangi orang-orang Aceh. Ia juga
dengan rendah hati memuji kehebatan pejuang Aceh, bukan hanya pria tapi juga
wanita.
Zentrgaaff menulis,
“De
atjehschevrouw, fier en depper, was de verpersoonlijking van den bittersten
haat jegens ons, en van de uiterste onverzoenlijkheid an als zij medestreed,
dan deed zij dit met een energie en doodsverachting welke veelal die der mennen
overtroffen. Zij was de draagster van een haat die brandde tot den rand van het
graf en nog in het aangezicht van den dood spuwde zij hem, den kaphe in het
geizcht.”
Artinya, “Wanita
Aceh gagah dan berani mereka pendukung
yang tidak mungkin didamaikan, terhadap kita dan bila ia turut serta bertempur,
dilakukannya dengan gigih dan mengagumkan, bersikap tidak takut mati yang
melebihi kaum pria. Ia mempunyai rasa benci yang menyala-nyala sampai liang
kubur dan sampai saat menghadapi maut, ia masih mampu meludahi muka si kaphe.”
Menurut Zentgraaff,
wanita Aceh dalam setiap perang menolak setiap perdamaian dan lebih berwatak
keras dengan berprinsip membunuh atau dibunuh. Pujian Zentgraaff terhadap wanita
Aceh muncul setelah ia menemui Pucut Meurah Intan yang dikenal sebagai Pocut Di
Biheue, seorang wanita pemberani yang menyerang patroli Belanda seorang diri di
Padang Tiji. Ia digelar oleh Belanda
sebagai heldhftig yakni perempuan
yang gagah berani.
Dalam
buku Prominent Women in The Glimpse of
History (Wanita-wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah) peristiwa
itu ditulis T Ibrahim Alfian dengan juga merujuk pada keterangan Zentgraaff dan
sumber-sumber Belanda lainnya.
Suatu ketika keberadaan
Pocut Di Biheue diketahui Belanda. Ia berhadapan seorang diri dengan patroli 18
marsose bersenjata lengkap. Pocut di Biheue biukannya mundur, ia mencabut
rencong dari pinggangnya, menyerang patroli itu seorang diri. “Meunyoe ka lageei nyoe, bah ulon mate,”
teriaknya.
Pocut Di Biheue memilih menyerang patroli itu dari pada ditangkap. Melihat itu,
tentara marsose terkejut. Mereka tak menyangka, seorang perempuan paruh baya
berani menyerang patroli 18 tentara Belanda lengkap dengan senjata. Ia menikam
ke kiri dan ke kanan sehingga mengenai tubuh beberapa marsose. Sementara
tubuhnya sendiri juga ditebas dengan sabetan pedang marsose.
Pocut Di Biheue mengalami dua luka sabetan pedang di kepalanya dan dua sabetan
di bahu. Salah satu urat keningnya juga putus. Ia terbaring di tanah bersimbah
darah dan lumpur. Melihat Pocur Di Biheue yang sudah tak berdaya, seorang
sersan bertanya pada Veltman komandannya. Ia minta ijin untuk mengakhiri
penderitaan Pocut Di Biheue, ia ingin menembaknya hingga meninggal. “Bolehkan
saya melepaskan tembakan pelepas nyawa?” tanya sersan itu.
Veltman kemudian membentak sersan tersebut. “Apa kau sudah gila.” Veltman membungkuk dan menjulurkan tangannya untuk
membantu Pocut Di Biheue, tapi mukanya diludahi, “Bek kamat kei kaphe,” kata Pocut Di Biheue sambil setelah meludah
wajah Veltman.
Perwira Belanda yang bisa berbahasa Aceh itu kemudian meniggalkan Pocut Di
Biheue seorang diri. Veltman ingin agar Pocut Di Biheue yang sekarat itu
meninggal bisa menghembus nafasnya di hadapan bangsanya sendiri. Namun dugaan Veltman meleset. Beberapa hari
setelah kejadian itu, Veltman bersama pasukannya kembali patroli ke kawasan
Keude Biheue, antara Sigli dan Padang Tiji. Ia bukan saja mendengar bahwa Pocut
Di Biheue masih hidup, tapi juga berencana untuk kembali menyerang patroli
Belanda.
Veltman kagum dengan keberanian Pocut Di Biheue, karena itu ia membawa seorang
dokter bersamanya ketika menjenguk Pocut Di Biheue dalam masa penyembuhan di
kediamannya.
Ketika Veltman sampai, Pocut Di Biheue masih sangat lemah akibat banyak
kehilangan darah. Tubuhnya menggigil, ia mengerang kesakitan. Meski begitu, ia
tetap menolak bantuan dokter yang dibawa Veltman untuk merawatnya. “Jangan kau
sentuh aku, lebih baik aku mati dari pada tubuhku dipegang kaphe,” katanya.
Veltman yang fasih berbahasa Aceh terus membujuk Pocut Di Biheue agar mau
diobati. Akhirnya ia menerima juga bantuan dokter itu, tapi tentara pribumi
dari pasukan marsose pimpinanVeltman yang mengobatinya. Ia tidak mau tubuhnya dipegang
oleh Belanda.
Berita
tentang Pocut Di Biheue akhirnya sampai kepada Scheuer, komandan militer
Belanda. Ia menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan perempan yang
dinilainya sangat luar biasa itu.
Ketika
Scheuer sampai ke kediaman Pocut Di Biheue, wanita gagah perkasa itu belum
sembuh betul. Di hadapan Pocut Di Biheue, Scheuer, komandan militer Belanda itu
mengambil sikap sebagai seorang prajurit. Ia mengangkat tabik tanda hormat
dengan meletakkan ujung jari-jarinya di ujung topi petnya. “Katakan padanya,
bahwa saya sangat kagum padanya,” kata Scheuer pada Veltmant.
|
Makam Pocut Di Biheu di Blora, Jawa Tengah |
Veltman
pun menterjemahkan apa yang dikatakan Scheuer terhadap Pocut Di Biheue itu.
Pocut Di Biheue yang sudah kelihatan kurus pun tersenyum. “Kaphe ini boleh
juga,” katanya. Setelah sembuh, Pocut Di Biheue kemudian diasingkan ke Blora,
Jawa Tengah. Belanda takut Pocut Di Biheue kembali memimpin masyarakatnya untuk
melawan Belanda.
Kemudian ada
lagi kisah keuletan Pocut Baren, yang kakinya harus diamputasi. Suatu ketika pasukan
Belanda yang dipimpin Letnan Hoogres menyerang benteng Gunong Macan. Mereka
menggempur benteng pertahanan Pocut Baren dengan dahsyat. Pocut Baren bersama
pasukannya melakukan perlawan yang sengit. Dalam pertempuran itu, kaki Pocut
Baren tertembak dengan luka yang cukup parah. Karena luka itulah, ia ditawan
oleh Belanda dan dibawa ke Meulaboh sebagai tawanan lalu dibawa ke Kutaraja
untuk pengobatan.
Luka kakinya bertambah
parah, hingga tak dapat diobati lagi. Tim dokter yang merawatnya terpaksa
melakukan amputasi; kaki Pocut Baren dipotong. Selama di Kutaraja Pocut Baren
diperlakukan sebagaimana layaknya tawanan perang dan seorang Uleebalang.
Masa-masa di Kutaraja merupakan masa penantian yang sangat panjang, masa
penantian keputusan hukuman yang akan dijatuhkan Belanda terhadapnya.
Gubernur Militer
Hindia Belanda di Aceh, Van Daalen memutuskan hukuman buang ke Pulau Jawa
terhadap wanita perkasa ini. Mendengar putusan itu, seorang perwira
penghubung Belanda, T J Veltman, menyampaikan saran kepada Van Daalen agar
Pocut Baren tidak dibuang ke Pulau Jawa, melainkan dikembalikan ke daerahnya
untuk melanjutkan kembali kepemimpinannya sebagai Uleebalang. Saran Veltman itu
diterima oleh Van Daalen.
Doup seorang penulis
Belanda dalam buku Gadenk Book va Het
Korps Marechaussee mengungkapkan, Pocut Baren merupakan wanita yang diburu
secara khusus oleh Belanda. Para pemimpin patroli pemburu Pocut Baren adalah
tokoh-tokoh Belanda terkemuka dan terkenal amat berpengalaman dalam peperangan.
“Hal ini menunjukkan bahwa wanita itu memang dianggap sebagai lawan tangguh,”
tulis Doup.
Doup mencatat
nama-nama perwira Belanda yang pernah pemimpin pasukan pemburu Pocut Baren, mereka
antara lain adalah Kapten TJ Veltman, Kapten A Geersema Beckerrigh, Kapten F
Daarlang, Letnan JHC Vastenon, Letnan OO Brewer, Letnan W Hoogers, Letnan AH
Beanewitz, Letnan HJ Kniper, Letnan CA Reumpol, Letnan Wvd Vlerk, Letnan WL
Kramers, Letnan H Scheurleer, Letnan Romswinkel, Sersan Duyts, Sersan De Jong,
Sersan Gackenstaetter, Sersan Teutelink, Sersan van Daalen, dan Sersan Bron.
|
Pocut Baren |
Veltman yang fasih berbahasa
Aceh, secara berkala terus melakukan komunikasi dengan Pocut Baren, sehingga
perwira Belanda itu dapat membuat laporan mengenai perubahan yang terjadi pada
Pocut Baren. Ia wanita yang suka berterus terang, suatu sikap yang amat
dihargai oelh Veltman. Karena itulah Pocut Baren dikenal sebagai pejuang yang
dapat menghormati musuhnya karena kebaikannya.
Adalagi kisah
istri Teungku Mayed Di Tiro, putra Tgk Chik Di Tiro. Dalam pertempuaran pada
tahun 1910, meski sudah dikepung pasukan Belanda, Tgk Mayed Di Tiro bisa
meloloskan diri atas bantuan istrinya. Sementara istrinya tertangkap dengan
luka parah di tubuhnya, sewaktu komandan pasukan Belanda hendak memberikan
pertolongan, ia menolaknya. “Bek ta mat kei kaphe budok (jangan sentuh
aku kafir celaka),” hardiknya dengan suara lantang. Ia lebih memilih syahid
dari pada mendapat pertolongan dari kafir.
Sikap ceubeh dan tungang itu hingga kini masih menjalar dalam jiwa-jiwa perempuan
Aceh. Menutup tulisan ini saya kutip sepenggal puisi Vichitra, cucu Tuanku
Hasyim Banta Muda, panglima besar perang Aceh yang mempertahankan mesjid raya saat
agresi pertama Belanda. “Bangsa Aceh terkenal tungang, sesama bangsa sendiri sering bertikai, konon lagi dengan
musuhnya.” [Iskandar Norman]
Belum ada tanggapan untuk "Ceubeh dan Tungang Inong Aceh"
Post a Comment