Raja boleh berganti dan kabinetnya boleh dirombak, tapi keteguhan sikap Kerjaan Aceh terhadap Belanda tidak pernah berubah. Aceh benar-benar seperti karang yang kekar dihantam gelombang. Hempasannya boleh saja membasahi, tapi ombak itu akan pecah menjadi buih dan terseret kembali ke tempatnya, tanpa mampu mengoyahkan kekokohan karang.
Begitulah Aceh yang dulu bersikap damai dalam diplomasinya dengan Belanda, kini Belanda datang sebagai gelombang yang ingin menghempas dan membuat Aceh basah kuyup dengan hempasannya. Tapi bagi Aceh yang sudah kepalang basah mengambil sikap penolakan terhadap Belanda, akan menghadapinya dengan jantan. Gelombang tak akan mampu menakutkan orang yang sudah basah kuyup.
Gelombang itu adalah Belanda yang akan siap-siap masuk ke Aceh dengan angkatan perangnya. Namun sebelum serangan itu dilakukan Belanda beberapa kali menggertak Aceh dengan surat-surat ancamannya. Surat yang kemudian dijawab dengan santun namun tegas oleh Sulthan Aceh, Alaiddin Mahmud Syah. Cucuku Keumalahayati, kamu boleh cek surat-surat itu mungkin di arsip lama surat menyurat Gubernemen Hindia Belanda, itu mungkin tersimpan di Leiden atau bisa jadi di pusat dokumen nasional Belanda.
Pada 1 April 1873, ribuan rakyat Aceh sudah mengasah pedang dan rencong, mereka berjaga-jaga di sepanjang pantai mulai dari Ulee Lheue sampai Kuala Tari. Sementara di kejauhan di tengah Selat Malaka, beberapa kapal berbendera Belanda melepaskan jangkar. Namun mereka tak berani merapat ke daratan. Hanya setengah lusin pria berseragam militer yang turun ke darat dengan sebuah sekoci dayung. Mereka membawa bendera putih, dan terus mendayung hingga sekocinya mencium pasir di Pante Ceureumen.
Sekelompok pemuda Aceh dengan bertelanjang dada dan hanya menggenakan celana panjang hitam yang berbalut kain selutut, menghampirinya. Mereka tampak sangar dengan pedang dan siwah di tangan. Mereka menangkap sekoci dan penumpangnya itu. Mendapat perlakukan seperti itu, si Belanda hanya angkat tangan sambil mengangkat tinggi-tinggi bendera putih seukuran kain sarung. Seorang lagi memperlihatkan selembar kertas tebal dan kasar bergulung.
Melihat gelagat seperti itu, seorang pemuda keluar dari bawah rimbun pohon cemara dan menghampiri mereka.
“Mereka mau berdamai, tanya sama si Belanda itu apa maksudnya?” kata pemuda itu.
Belum sempat ditanya, si Belanda menyerahkan kertas berbalut yang dibawanya. Ia hanya berkata singkat.
‘Sulthaan..sulthaann,..sulthaann,” katanya dengan logat sengaunya.
Para pemuda itu pun mengerti bahwa itu surat untuk Sulthan Aceh. Keenam Belanda itu dibawa berteduh di bawah pohon kelapa dan cemara. Mereka diawasi dengan senjata terhunus oleh pemuda-pemuda Aceh di pantai itu. Seorang pria lebih tua kemudian mengambil surat itu. Ia bergegas menunggangi kuda, membelah semak dan jalan setapak. Dua pria lainnya yang juga menunggang kuda mengikutinya dari belakang.
Penduduk sepanjang kampung pantai itu memperhatikan laju kuda yang tak biasa itu. Kalau pun ada patroli tentara kerajaan derap kuda tak sekencang itu. Pasti ada yang tidak beres. Penduduk sepanjang panta mulai cemas, apa lagi setelah desas-desus kedatangan Belanda jadi pembicaraan sejak sepekan sebelumnya. Melihat tingkah para pemuda yang siap-siap dengan pedang terhunus menuju pinggiran pantai, warga sudah mahfum, bahwa petaka itu sudah datang, dan perang akan berkecamuk.
Ketiga kuda itu terus melaju kencang, derap kakinya meninggalkan debu yang berterbangan di jalan masuk ke pusat kerajaan. Sampai di gerbang istana Darud Donya mereka memarkirkan kudanya dan dengan langkah cepat masuk ke alun-alun kerajaan. Surat itu diserahkan kepada seorang perempuan bertubuh tegap. Ia Laksamana dari divisi keumala cahaya yang bertugas sebagai komandan pasukan perempuan penjaga istana.
Ketiga pemuda dari pantai itu istirahat di balai-balai di bawah pohon rindang di perkarangan istana sambil menikmati suguhan air kelapa dan buah-buah segar dari pengawal istana. Mereka benar-benar kelelahan, butir-butir peluh mengalir di dahinya. Sementara belasan perempuan pengawal istana hilir mudik di sudut-sudut taman, mereka nampak banyak diam dan berada di ring pertama istana, sementara pria-pria terlatih berbadan kekar ada di ring kedua di alun-alun istana terus sampai ring tiga di gerbang. Begitulah seterusnya pengamanan berlapis dilakukan untuk menghadapi ancaman terburuk dari kedatangan Belanda.
Sementara di dalam istana, Sultan Alaiddin Mahmud Syah sedang memimpin rapat bersama para wazirnya (menteri). Melihat kedatangan laksamana divisi keumala cahaya itu, ia menghentikan sejenak rapatnya. Setelah membungkuk memberi salam dan hormat, laksamana itu menyerahkan surat yang dibawa dari pantai setelah oleh tiga pria berkuda kepada Sultan.
Sulthan Alaiddin Mahmud Syah menggangam erat-erat surat ujung surat itu dan membacanya dalam hati. Ia kemudian meremasnya. Para wazir penasaran dengan sikap Sulthan, mereka bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi.
“Holanda kembali mengancam kita,” katanya singkat. Orang Aceh menyebut Belanda dengan sebutan Holanda.
Sulthan bangun dan berdiri di hadapan para wazirnya itu.
“Mereka terlalu congkak, sebelum Holanda itu sampai ke pesisir, siapkan penyambutan dengan meriam dan kelewang. Biar mereka tahu bahwa kita tidak sama dengan Jawa yang bisa dipermainkannya. Atas nama Allah dan nabi-Nya kita akan hadapi Holanda itu.” tegas Sultan.
Sulthan Alaiddin Mahmud Syah benar-benar marah dengan surat ancaman Belanda itu, tapi seorang wazir yang bijaksana kemudian meminta Sulthan agar menjawab surat itu dengan santun. Sulthan menerima saran wazirnya itu. Ia pun meminta Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan untuk menulis konsep surat balasan kepada Belanda. Setelah beberapa kali perbaikan naskah, Sulthan menyetujui dan menerakan cap stempel kerajaan di surat itu atas namanya.
Di bagian akhir surat balasan itu Sulthan Alaiddin Mahmud Syah menulis.
“…kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha kuasa. (Sulthan Alaiddin Mahmud Syah—1 Safar 1290 Hijriah / 1 April 1873 Masehi)
Surat itu diserahkan kembali kepada laksamana selaku kepala divisi keumala cahaya, yang kemudian diteruskan kepada tiga pemuda berkuda untuk membawanya ke pantai sebagai balasan kepada Belanda. Tiga pemuda itu terus memacu kudanya menuju pantai. Sepanjang jalan terdengar terikan “Allahu Akbar..” dari para penduduk yang dilewatinya.
Surat itu kemudian diberikan kepada seorang panglima yang memimpin ratusan pemuda di pantai itu. Ia membawanya kepada setengah lusin Belanda yang ketakutan di bawah pohon cemara. Setelah diberikan surat itu, kawanan Belanda itu berlayar kembali dengan sekoci dayungnya kembali ke kapal yang berlabuh jauh di lepas pantai.
Surat menyurat antara Belanda dan Sultah Aceh itu sudah berulang kali terjadi. Pihak Aceh tetap menolak untuk tunduk pada kekuasaan Belanda dengan segala risikonya. Bahkan dalam surat jawabannya, Sulthan Alaiddin Mahmud Syah menegaskan bahwa Aceh statusnya sebagai kerajaan berdaulat sama juga dengan Gubernemen Hindia Belanda, yang sama-sama berada di bawah perlindungan tuhan.
Penolakan halus Sulthan Aceh itu membuat Belanda berang dan berencana untuk melancarkan serangannya ke Aceh. Menyadari bahaya semakin dekat, Sultan Alaiddin Mahmud Syah menggelar musyawarah kerajaan pada 10 Zulkaidah 1288 Hijriah (1872 Masehi) di dalam Mesjid Baiturrahim Darud Dunia. Dalam musyawarah itu hadir para ulama besar, menteri dan uleebalang seluruh Aceh.
Kepada para wazir, ulama dan uleebalang, Sulthan Alauddin Mahmud Syah menjelaskan tentang bahaya yang sedang mengancam Aceh, yakni armada militer Belanda yang sudah berada di Selat Malaka.
“Holanda, imperialis itu akan datang menyerang kita, maka ini hari saya permaklumkan rapat kerajaan membahas sikap penentangan kita dan mengatur siasat untuk menghadapinya,” kata Sulthan.
Rapat itu berjalan alot, para ulama dengan tegas mendukung sikap sulthan yang akan melawan Belanda, sikap yang sama juga ditunjukkan pada wazir selaku menteri kerajaan. Hanya kelompok uleebalang yang agak ragu, namun karena ulama bersama wazir sudah sependapatan, mereka akhirnya juga menyetujui untuk berperang melawan Belanda. Namun, kelak para uleebalang itu ada yang ingkar dengan membuka pintu dialog dengan Belanda, tentang itu cucuku Keumalahayati, akan kuceritakan nanti ketika sampai pada kisah pengkhianatan yang sampai sekarang belum mau diungkapkan oleh sejarawan manapun. Hasymi mengaku tahu tentang itu, tapi ia juga tak berani mengungkapkan pengkhianatan tersebut.
Cucuku, rapat kerajaan yang dipimpin Sulthan Alaiddin Mahmud Syah itu melahirkan keputusan akan melakukan perang total kalau Belanda menyerang Aceh. Sebagai tanda kesepakatan tekat tersebut, mereka yang mengikuti rapat kerajaan itu mengucapkan sumpah. Sumpah itu dipimpin oleh seorang ulama besar, Kadli Mu’adhham Mufti Besar Kerajaan Aceh, Syekh Marhabab bin Haji Muhammad Saleh Lambhuk dan disaksikan oleh para alim ulama.
Para wazir kerajaan bersama uleebalang dan petinggi kerajaan berbaris dalam aula kerjaan, mereka berdiri sejajar dalam beberapa barisan. Syeh Marhaban berdiri agak ke depan di ujung kanan menghadap mereka sambil mengangkat kitab suci Al Quran dengan kedua tangannya melewati kepala. Sumpah kerjaaan Aceh pun diucapkannya dan diikuti dengan suara gemuruh oleh para wazir dan uleebalang. Sumpah itu berbunyi:
“Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini thaat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.”
Cucuku, isi sumpah ini kemudian dicatat dan dimasukkan dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis tangan dengan huruf Arab. Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh keturunannya. Cucuku, kalau kamu ingin melihat foto kopi naskah sumpah kerajaan Aceh itu, pulanglah kamu ke Aceh sayang, kakek akan membawamu ke Pustaka Hasjmy, karena di sana ada foto kopinya. Tapi sebelumnya, kusarankan padamu untuk belajar bahasa Arab, karena naskahnya ditulis dengan aksara Arab.
Cucuku, Keumalahayati, begitu tegasnya sumpah kerajaan Aceh itu. Dari isi sumpah itu, kakek bisa melihat bahwa benih-benih pengkhianatan terhadap Kerajaan Aceh dari pihak dalam sudah tumbuh. Coba kamu baca kembali penegasan dari sumpah itu. Sulthan Aceh menyadari akan adanya pembelot di jajarannya, maka ia mengikat sumpah itu, jika ada yang berkhianat terhadap sumpah tersebut, mereka akan dikutuk oleh Allah dan Rasul sampai kepada cucunya turun temurun. Dan itulah yang kemudian terjadi sampai hari ini di Aceh. Karena segolongan orang mengkhianati sumpah itu, generasi mereka di Aceh tercerai berai.
1 Tanggapan untuk "Sumpah Kerajaan Aceh 1 (6)"
Iskandar Norman: saya kaget juga dengan adanya sumpah rraja Aceh itu yg sebelumnya tdk pernah saya tahu... Maka disinilah muncul sebuuah pertanyaan, apakah Aceh yg hari ini, yg merupakan generasi anak-cucu-cicit kerajaan Aceh dulu, ygg kini tercerai berai, meulho keudroe-droe, atas apapun alasannya, adalah akibat telah terjadi pelanggaran sumpah? Dan, apakah konteks dibuatnya sumpah itu ketika ingin menghadapi agresi Belanda, dapat kemudian berlaku secara berkelanjutan, sehingga yg hari ini sebagai cicit-cicit mereka harus menanggung resiko atas kejahatan indatu? Sepintas menurut saya tidak, Allah tidak akan menghukum seorang anak, hanya karena orang tuanya berbuat dosa...juga sebaliknya Orang tua juga tdk akan dihukum hanya karena [perbuatan dosa anak-anaknya... Jadi mempercayai pola pikir "klutukan" tidak islami...ini adalah warisan hindu yang masih sering kita yakini kebenarannnya...
(Fuad Mardhatillah)
Post a Comment