Persoalan perempuan menjadi masalah pelik bagi marsose. Zentgraaff mencatat beberapa kejadian pembunuhan karenanya.
Kejadian satu:
“Marsose Ambon, bernama N, telah mebunuh isteri orang lain dengan kelewang, dan kemudian menembak menembus bivak, sehingga sersan bangsa Eropa bernama Selbach tewas, dan setelah itu orang Ambon terebut melakukan bunuh diri”.
Kejadian Kedua:
“Marsose Ambon, Bernama O, yang mendapat hukman “arrest” sementara, telah lari dari penjaganya yng merampas sepucuk karaben beserta peluru-pelurunya, dan mengadakan pengacauan di kam pamen. Beberapa orang sesama sukunya berhasil membujuknya menyerahkan bedil itu kembali”.
Kejadian Ketiga:
“Marsose Ambon, bernama W, sedang bersikap untuk menembak komandan brigadenya, namun sekali ini, marsose-marsose lainnya bertindak tegas sebelum orang ini sempat berbuat yang tidak tertib”.
Kejadian Keempat:
“Marsose ambon, Bernama T, telah menembak mati sersan mayor Graber yang sedang duduk dikantornya pada jam 19.40, lalu melepaskan satu tembakan lagi kearah kantin opsir bawahan,kemudian mebunuh diri”.
Zentgraaff menilai hal itu merupakan suatu gejala bersifat psikologis, dan semua tentara yang berada diwilayah tropis mengenalnya. Dalam ukunya berjudul ”In the matter of a private” memperhatikan contoh-contoh yang jelas. “Dan siapakah yang tidak kenal dengan ceritanya yang amat tepat mengenai ”The madness of private Or theris”, salah satu dari “tiga Panglima Perang”-nya?” tanya Zentgraaff.
Selain itu stres tersebut dialami karena kelelahan menembus rimba Aceh sampai ke Blangkejeren, memadamkan pemberontakan rakyat Aceh yang semakin berkobar di sana. Setelah pasukan infantri Belanda yang berada di situ tidak berhasil, maka didatangkanlah pasukan marsoese dari Seulimum, Aceh Besar dan Padang Tiji, Pidie. Ada sekitar 300 marsose dan 400 pekerja paksa yang ikut dalam rombongan itu. Sementara istri-istri mereka ditinggalkan di Padang Tiji dan Seulimum.
Lama mengarungi rimba tanpa wanita membuat stres para marsoese semakin bertambah. Malah tak jarang dari marsose tersebut yang mengganggu istri orang. Menyadari hal tersebut, petinggi militer Belanda di Kutaraja memerintahkan agar istri para marsoese dikumpulkan dan dibawa ke Kuala Simpang.
Para istri marsoese kemudian dari Kuala Simpang dikirim ke Blangkejeren untuk bertemu dan melayani suaminya masing-masing. “Para wanita itu dikirim oleh Remmerswall, kepala depot 800 pekerj paksa di Kuala Simpang,” tulis Zentgraaff.
Pengiriman wanita-wanita itu sungguh sangat merepotkan Remmerswall. Ke 800 pekerja paksa asal Gayo yang digunakannya kewalahan mengurus barang-barang bawaan para istri marsoese tersebut, seperti kasur dan kotak-kotak barang lainnya.
Namun di tengah perjalanan yang melelahkan tersebut, sebelum sampai ke Blangkejeren, banyak istri marsoese yang memilih kembali ke Langsa. Hal ini dilakukan setelah beberapa istri pasukan infrantri menceritak soal kegetiran hidup di Blangkejeren.
Sementara wanita-wanita yang tetap melanjutkan perjalanan ke Blangkejeren itu, merupakan perempuan-perempuan Ambon tua. Oleh Zentgraaff, wanita-wanita itu disebut sebagai wanita-wanita kasar jenis “tartar” yang berwajah kusam, yang dalam pandangan laki-laki tidaklah lagi menggoda, bahkan pasukan pengawal rombongan itu pun ogah merayunya. “Selain dari nyonya-nyonya suka berkelahi dan berwatak asam ini, hanyalah sejumlah kecil saja wanita-wanitanya yang masih muda-muda, karena yang selebihnya sudah pada kabur,” tulis Zentgraaff. [iskandar norman]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Komandanpun Ditembak"
Post a Comment