Stres berat yang dialami marsose di Blangkejeren terus berlanjut, suasana saling bunuh membunuh akibat wanita dan perselingkuhan terus terjadi. Pada beberapa brigade, serdadu-serdadu Belanda itu banyak yang mengacuhkan komandannya.
Soal ketegangan antar serdadu Belanda itu, dalam bukunya “Atjeh” Zentgraaff menulis, kepanikan menghadapi pejuang Aceh, membuat para pasukan elit Belanda itu stres berat, ditambah lagi akumulasi persoalan dikalangan istri-istri marsoese dengan marsose yang istrinya tidak sampai ke Blangkejeran.
Zentgraaff menulis, seorang marsoase Ambon hendak membunuh komandan brigadenya, namun ‘sekali ini’seorang marsoase lainnya telah bertindak tegas. Pada kejadian-kejadian sebelumnya, para marsoase itu rupanya tidak bertindak dengan tegas, walaupun mereka dapat melakukannya harus dapat melakukannya. “Dimanakah kini gerangan perginya semangat militer yang baik itu, semangat yang terutama bagi pasukan kecil itu, yang paling banyak terdiri dari seorang komandan dengan 18 anak buah bersenjata karaben dan elewang, dimana setiap orang sangat terikatnya kepada kawan-kawannya?” Tanya Zentgraaff.
Kejadian lainnya, seorang komandan brigade bernama Van der Post, yang berperawakan kecil serta pucat, sedianya akan berangkat patroli bersama pasukan pada pukul tujuh pagi, dan semua sidah siap, tatkala si “pang” datang berkata kepadanya mangenai seorang serdadu yang tidak mau pergi ketempat jaga, serta punya maksud-maksud jahat. Sering benar terjadi, dimana serdadu-serdadu yang ada punya sesuatu persoalan dengan istrinya sendiri atau istri orang lain, tidak mau pergi keluar bivak dan memberi alasan karena dia sakit.
Sakit hanyalah alasan untuk tetap tinggal di bivak, tidak ikut patroli, karena para marsose yang pura-pura sakit itu punya agenda lain, yakni ketika kawan-kawannya pergi patroli, ia akan kencan dengan istri marsose yang suaminya ikut patroli tersebut. “Untuk menghindari hal itu, lalu dikerluarkanlah perintah: setiap serdadu yang lapor sakit ketika akan berangkat, haruslah berada ditempat jaga dan tetap berada di sana sampai pasukan kembali, sehingga dengan demikian maka setiap jam kencan dia tidak dapat memenuhi,” jelas Zentgraaff.
Pun demikian, tetap saja serdadu yang pura-pura sakit itu tidak mau pergi ke tempat jaga. Sampai akhirnya komandan mereka, Van Der Post turun tangan, ia masuk ke dalam dengan karaben di tanggannya. Diarahkannya senjata ke marsose yang pura-pura sakit itu, sambil meminta anak buahnya untuk melucuti senjata masrsose tersebut.
Tapi marsose yang sudah paham betul pada alasan pura-pura sakit kawannya itu, enggan melakukan perintah komandannya, sebaliknya mereka malah mengomel akan menembak komandannya yang tidak mengerti pada kebutuhan prajuritnya.
Hal itu membuat komandan Van Der Post berang. Ia kemudian melemparkan karabennya ke lantai dengan sangat marah, dan melompat ke hadapan marsose yang mengomelinya. “Tembak kalau kalian memang berani,” tantang Van Der Post.
Mendengar tantangan tersebut, ke delapan belas marsose malah berbalik meninggalkan komandannya itu. Merasa tak dihargai van Der Post pun berteriak dengan keras. “Baris” perintanya kepada marsose itu, yang kemudian langsung membentuk barisan. Lalu ke 18 marsose itu dihukum berjalan sejauh mungkin sampai semuanya kelelahan dan tidak sanggup berjalan lagi.
Tak cukup sampai di situ, Van Der Post pun memerintahkan ke 18 marsose itu untuk patroli meski sudah sangat lelah. Karena sering dihukum seperti itu, maka akhirnya secara perlahan-lahan para marsose itu disiplin kembali, meski alasan sakit untuk menolak ikut patroli agar bisa berkencan dengan para wanita, istri marsose lainnya tetap tak pernah hilang. [iskandar norman]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Perselingkuhan Berkedok Sakit"
Post a Comment