Lelah berperang dan jauh dari istri membuat marsose stress. Perselingkuhan pun terjadi. Inilah sisi lain dari perang Aceh.
Suatu ketika, untuk membangkitkan semangat berperang, istri marsose dikirim dari Kuala Simpang ke Blangkejeren. Namun di tengah perjalanan yang berat, istri marsose yang muda-muda kembali ke Langsa.
Barisan istri marsoese yang tersisa, terus bergerak menuju Blangkejeren, dibawah pengawasan patroli Belanda, untuk mencegah adanya penyergapan dari gerilyawan Aceh. Para wanita itu ada yang mengenangan topi bambu kepunyaan suaminya, ada juga yang membawa tempat makanan dengan gambar bungan bertuliskan “selamat makan”. Barang-barang itu digendong dengan kain dipunggunya.
Karena lelahnya pekerjaan menuju ke Blangkejeren yang dilalui dengan menaiki gunung dan menyebrang sungai, seorang istri marsose bernama Hethuela, sering emosi dan naik darah. Namun sampai di Blangkejeren persoalannya stres para marsoese tidak juga hilang, karena wanita-wanita yang tiba ke sana sangat sedikit. Mereka berada ditengah ratusan laki-laki (marsoese-red).
Hal inilah yang kemudian melahirkan sengketa baru antara para marsose, karena banyak marsose yang istrinya tidak sampai ke Blangkejeren, karena ditengah perjalanan yang melelahkan itu, wanita-wanita yang masih muda itu memeilih kembali ke Langsa. Sementara yang sampai ke Blangkejeren hanya yang tua-tua saja. Yang oleh Zentgraaff disebut wanita-wanita kasar dari Ambon yang tidak lagi berselera bagi laki-laki.
Soal sengekta itu, Zentgraaff dalam buku Atjeh menulis, para marsoase tidak bisa menahan nafsu. Tatkala Mosselman dengan pasukannya di Trangon, membuyarkan gerombolan perempuan Gayo, kemudian memburu mereka dengan sengitnya, telah jatuh ketangan mereka seorang wanita cantik istri salah seorang dari gerombolan itu.
Mosselman memerintahkan pasukannnya membawa wanita itu sebagai tawanan, dan orang itu telah diperlakukan dengan sopan oleh setiap serdadu pasukan tersebut. Dia telah dibantu untuk menyebrang sungai-sungai, waktu memanjat air-air terjun. Dan disetiap bivak setiap serdadu sangat siap sedia membantunya. “
Masih menurut Zentgraaff, dalam menjalankan tugas, mereka mengekang diri, namun setelah kembali ke bivak, meledaklah ketegangan yang tertahan itu dengan nafsu yang membara. Bermula dengan seorang marsose Ambon yang masih muda, bernama Nannink. Dalam bivak itu diadakan permainan judi, terkenal dengan nama “puter dadu” yang betu-betul mencengkam pemikiran setiap pemainnya.
Perempuan yang sudah berjanji akan kencan bersamanya, sudah tidak sabar menunggunya. Perempuan itu adalah istri dari seorang marsose lainnya. Karena kesetanan bermain, sang marsose lawannya berkencan ini kalap, lalu mengambil kelewangnya dan membunuhnya sebelum sempat dileraikan orang.
Para opsir bawahan yang berada dalam mess mereka bercengkerama, tatkala mereka mendengar suara jerian seorag wanita. Dikira bahwa hal itu merupakan ganjaran hukuman biasa diberikan oleh suami terhadap istri yang dianggap nakal, seperti yang sering kali terjadi. “Selbach, seorang yang lucu, melompat ke atas meja dengan cambuk kudanya dijepit antara kedua lututnya sambil berkata: Ha, itu sudah dapat persen satu orang, saya mau pergi tengok sebentar apa perempuan itu sudah kapok atau belum,” tulis Zentgraaff.
Sementara, si marsose Nanink, setelah membunuh perempuan itu pergi keruang barak, mengenakan setelan kulit dengan peluru-peluru dalam tasnya dan lima buah peluru berada dalam karabennya. Empat dalam tempat pelor dan satu dalam laras bedil.
Seluruhnya berjumlah 16 tempat pelor masing-masing berisi lima peluru dan didalam dua buah tas peluru. “Kaedaan sangatlah kritisnya, dan Letnan Van Eck, bukannya menembak orang itu, atau memerintahkan untuk menembaknya, melainkan justru berusaha untuk menenangkan dia, namun, tatkala Selbach datang mendekat, Si Nanink menembak sersan tadi menembus kepalanya,” Lanjut Zentgraaff.
Timbullah kepanikan dalam bivak. Naninnk menembak membabi buta ke sekelilingnya sehingga seorang skelewak bernama Schild Wacht, mendapat serempetan peluru yang nyasar pada rahangnya. Jiwa marsose yang kalut itu, rupanya masih menyimpan cukup banyak kesadaran, sehingga pelurunya yang penghabisan diperuntukkannya bagi dirinya sendiri.
Setelah ia mebunuh diri, kembalilah ketenangan suasana. “Dapat kita rasakan betapa merosotnya moril pasukan eengan kejadian trsebut. Dan betapa besar pengaruhnya permainan serba bunuh itu terhadapkawan-kawan lain yang berwatak lemah,” tulis Zentgraaff.
Karena itu pula Zentgraaff menilai para marsoese yang tersisa tak ubahnya orang yang menderita sakit jiwa. Disiplin pasukan elit Belanda itu luntur dengan semangatnya. Mereka juga mengalamai frustasi berat dan hilang keprcayaan terhadap diri sendiri.
Tidak hanya di Blangkejeren, hal yang sama juga terjadi di Takengon. Seorang marsose muda menembak mati dua kawannya, opsir bawahan bengsa Eropa. Karena salah seorang opsir itu telah bermain gila dengan kekasihnya. Setelah itu, marsoese muda itu pun bunuh diri. [iskandar norman]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Marsose, Nafsu dan Perang"
Post a Comment