Kepadamu yang masih menunggu.
Kunyanyikan senandung lara. Bersama dawat yang tumpah. Coretnya akan memberitahumu tentang kepiluan. Kunyanyikan lagi lagu miris tentang rasa yang menolak memberi. Aku musafir menolak derma bila itumu ingin kembali. Akan kuubah pilu jadi puji dalam pidato kematian yang tak lagi merindui.
Cerita gagah terkapai pada rindu cerai berai. Wajahnya compang-camping dengan air mata. Di pipi cekungnya bulir sesal mengalir, meratap cinta yang kabur dari peraduan. Maafkan aku yang harus menepi, setelah nota terakhir itu berbunyi.
Sungai lara akan menghanyutkanku, entah pada kelokan mana capai tonggak. Airnya akan pendam gelisah, basahi resah sampai di ujung muara ombat menjemputku dengan ketangguhan. Arusnya akan ajariku bertahan dari karam. Jangan kau meratap, laut tak akan membunuhku. Ombaknya akan bawa kekar sekokoh karang.
Bila ombak itu rasa yang ingin kau tawarkan kembali, maka aku adalah karang yang akan menghadang lajunya. Engkau akan pecah jadi buih. Berkecai dan menderai pada rasa yang hilang. Kutulis surat ini agar kita tidak lupa bahwa pengkhianatan tak selamanya kejatuhan.
Di pantai yang menghanyutkan rasa itu, hati yang retak mendengar bisikan ombak. Dengan irama rasa ia tenggelamkan kisah. Di sana cinta akan tumbuh atas nama lain. Seorang gadis akan menjemputku dengan senyumannya. Ia yang dianugerahi keindahan jiwa dan raga, yang bisa dipahami hanya dengan cinta dan disentuh dengan kesucian.
Namun, kau yang menorah luka itu, akan terus terbawa sampai tua. Di mana pun aku akan mengingatmu, dari satu luka ke luka lainnya. Cukup hanya kisah. Karena perawan di rembang petang akan menunggu kepulangku ke istananya. (16/11/08 Ketika Bulan Masih Setengah Penuh)
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Surat Miris Untukmu"
Post a Comment