malam itu, kita debatkan cinta tanpa kurangi maknanya. Dengan santun pula kita maknai benci tanpa mencelanya. Lalu kau sebut rindu sebagai siksa. Sementara aku menganggapnya sebagai goda. Kita yang terlena dalam rasa berbicara dalam segala bahasa.
katamu, kau ingin kenalku dengan segala rupa. Pada wajah murka kau sanding pura-pura. Di sana kau lihat bengis sambil tertawa. Lalu, aku yang terperangkap tipu daya ikut terkekah. Di ujung segala tawa, kau kembali bisik rindu sebagai siksa. Kubiarkan dirimu terpanggang gelora, agar rindumu menyusun tangga di ketinggian cinta kita.
entah pada denting ke berapa kita lelap dalam senyum yang tak pura-pura. Lalu, aku bergetar pada bumi yang murka. Tak kutemukan lagi dirimu sesudahnya. Pada gelombang mana aku harus titipkan surat cinta? Kini rindu itu benar-benar menyiksa.
kutinggal khayal penuh takzim. Pada gelombang aku bercerita tentang cinta dan segala bahasanya. Dengan nyanyian paling miris kuingin dia mendendangkanmu lara hati yang kupunya. Entah di kedalaman mana dia sembunyikan dirimu. Pada batu-batu pusara tak ketemukan namamu.
cinta telah membuatku tak memahami apa yang ditinggalkannya, selain rindumu yang tak kupenuhi malam itu, karena jarak kita terjebak lara. Dengan senyummu kubungkus jiwa. Pada bait-bait puisi kuukir lagi cerita kita.
setiap pagi kubasuh muka dengan sajak satire, agar kata kabarkan setia sebelum hati membelokkan kisahnya. Dengan kata hati kudorong mengenangmu. Semoga laut melelapkanmu dengan gelombangnya, setelah parade murka pisahkan kita.
Kini tinggal aku lelaki separuh jiwa, setelah separuhnya kau bawa serta.
(Banda Aceh, 20/11/08)
Artikel keren lainnya:
2 Tanggapan untuk "Surat tak Beralamat"
Wow.... tulisan sastra nya keren.. menyenangkan untuk dibaca... kalau boleh usul di dokumentasi n dijadikan buku kumpulan tulisan.. siapa tau suatu saat bisa berguna minimal untuk kalangan sendiri....
Salam
Pocut farhan
wah wah..
nyastra banget semua tulisannya.....
santai luar biasa saya bacanya..
keren ihan....
Post a Comment