Cucuku Keumalahayati, setelah izin berkunjungmu ke Aceh habis. Dan kau kembali ke Belanda, negeri penjajah itu. Aku masih tak lelap tidur, sebelum semua yang ingin kau ketahui kuceritakan. Ini surat pertamaku untukmu setelah kau meninggalkan Aceh. Sampaikan salamku untuk Ummi Salamah, ibumu. Ucapkan terimakasihku karena selama Hasan hilang dari pendanganku, ibumu telah menjaganya sebagai istri yang baik, yang telah memberikanku dirimu sebagai cucu yang sangat kusayangi.
Keumalahayati, surat ini kutulis pas setelah aku selesai membacakan wirid yasin untuk almarhum ayahmu. Semoga Allah menyampaikan pahalanya kepada ayahmu itu, anakku yang hilang yang kemudian kembali dalam sosokmu cucuku. Kali aku ingin menyambung cerita yang terpenggal setelah Inggris merestui Belanda berkuasa di Sumatera.
Ini bagian yang krusial dari babak awal jelang meletusnya perang Aceh cucuku. Sejak mengetahui tingkah Inggris seperti itu, Aceh memperketat pengawasan di Selat Malaka dengan armadanya. Hal itu dilakukan karena Belanda ingin merongrong kedaulatan Aceh. Belanda sering mengganggu kapal-kapal niaga yang akan berlabuh dan berangkat dari pelabuhan Aceh. Alasan mereka, memberantas pembajakan dan lalu lintas perdagangan budak.
Itu alasan yang sangat mengada-ngada cucuku. Kita orang Aceh bangsa yang beradap yang tak mengenal istilah perbudakan. Kita orang Islam yang taat pada ajaran nabi, yang ratusan tahun sebelumnya telah menghapuskan perbudakan kaum Jahiliyah. Islam datang untuk pembebasan dan memerdekaan perbudakan. Jadi alasan Belanda itu hanya topeng untuk mengganggu Aceh. Belanda itu belum puas sebelum mereka benar-benar mampu menaklukkan dan mengusai Aceh.
Begitu liciknya Belanda itu cucuku, mereka ingin mengganggu perdagangan di pelabuhan Aceh. Sebelum maksud mereka untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Selat Malaka terwujud, mereka akan terus mengganggu Aceh. Aceh waktu itu ibarat kata pepatah endatu kita, Aceh rimueng tingoh eh, bangsa nyang areh peunoh agama, meunyo han ek gesaba le, geu tem meumate geubila bangsa. Kamu tentu tahu artinya, Aceh itu harimau tidur, bangsa yang arif dan bijaksana, kalau kesabarannya hilang, dia akan menerkam mangsanya demi harga diri dan agama.
Di sisi lain, Belanda mengirimkan surat-surat ancamannya kepada Sultan Aceh. Tapi surat-surat itu dengan tegas dijawab, Kerajaan Aceh menolak campur tangan Belanda dalam urusan perdagangan di Aceh. Makanya cucuku, ketegangan di Selat Malaka semakin memuncak. Aceh tak mau urusan niaga dan kedaulatannya diganggu gugat.
Kapal-kapal asing yang melanggar perairan Aceh dikejar dan ditangkap. Armada laut Aceh menangkap kapal Inggris, Belanda, Italia dan Amerika yang melewati Selat Malaka, karena membeli barang dagangan secara illegal di berbagai pelabuhan di pantai Aceh bagian barat dan utara. Alasan lainnya kapal-kapal asing itu juga membawa barang seludupan.
Penangkapan kapal-kapal asing tersebut di Selat Malaka merupakan tamparan pertama bagi Belanda dan jawaban tegas Kerajaan Aceh terhadap upaya Belanda merongrong Aceh. Sikap Aceh dengan Belanda waktu semakin bermusuhan. Sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat Aceh terus mengumpul kekuatan dan dukungan internasional untuk mempertahankan daerahnya.
Seperti pada tahun 1868, utusan kerajaan Aceh menuju Turki, melakukan perundingan rahasia di sana untuk membantu Aceh. Turki yang sebelumnya pernah membantu Aceh secara terang-terangan, kali ini membantu dari balik layar karena Turki waktu itu sangat terikat dengan Inggris yang membutuhkan bantuan untuk melawan Rusia.
Begitu hebatnya endatu kita cucuku, saat bangsa-bangsa lain di nusantara masih tertidur pulas dalam keluguannya di ketiak penjajah. Kita bangsa Aceh sudah menjalin hubungan internasional dengan berbagai negara di Eropa, termasuk Belanda itu sendiri yang tak tahu balas budi terhadap Aceh. Aku katakan demikian, karena Kerajaan Aceh lah yang pertama-tama di Asia yang mengakui kedaulatan Belanda dan menjalin diplomasi dengannya.
Sulthan Aceh juga pernah menerima kunjungan diplomat Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis saat itu membawa hadiah cermin yang sangat berharga bagi Sulthan Aceh. Namun dalam perjalanannya cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan pecahan cermin itu sebagai hadiah bagi Sulthan Aceh. Tentang ini ada ditulis oleh Denys Lombard. Katanya, Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumen yakni aula kaca dalam istananya.
Kalau kamu nanti kembali ke Aceh cucuku, aku akan membawamu ke bekas istana Kerajaan Aceh itu, yang oleh Lombar disebtkan luas areal istana tak kurang dari dua kilometar dalam komplek istana Darud Donya. Di dalam komplek itu ada Medan Khayali dan Medan Khaerani yang menampung 300 ekor pasukan gajah. Sulthan Iskandar Muda pula yang membuka aliran sungai Krueng Aceh agar mengaliri komplek istananya, tempat di mana ia sering mandi, bersenang-senang dan menerima tamu di taman buah yang luas sepanjang aliran sungai itu. Ada sekitar 500 jenis tanaman di sana cucuku, tanaman aneka buah sejauh mata memandang. Tentang ini pula nanti akan kuceritakan padamu. Maka cepat-cepatlah kau cucuku Keumalahayati kembali lagi ke Aceh, karena banyak hal yang ingin kuperkenalkan padamu.
Oya…cucuku, sekali waktu kamu mungkin bisa berjalan ke gereja St Pieter di Middelburg, Zeelan. Di perkarangan gereja itu dulu diplomat Aceh, Abdul Hamid dimakamkan pada 9 Agustus 1602. Abdul Hamid merupakan duta besar (ambasador) Aceh pertama untuk Belanda. Ia dikirim oleh Sultan Alauddin Al Mukamil.
Begitu romantisnya hubungan Aceh dengan Belanda waktu itu, tapi karena kepentingan ekonomi dan bermaksud memonopoli rempah-rempah di nusantara, Belanda mengabaikan hubungan baik itu dan mencari permusuhan dengan Aceh. Tak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik cucuku, yang ada hanya kepentingan.
Cucuku, sejak dulu Aceh sudah memiliki diplomat-diplomat ulung yang menjalin hubungan dengan luar negeri. Kisah ambasador Abdul Hamid salah satunya. Jika kamu nanti ke gereja St Pieter di Middelburg, berfotolah untukku di kuburan endatu kita Abdul Hamid. Aku sangat ingin mengoleksi bukti-bukti kebesaran Aceh itu cucuku.
Waktu itu cucuku, Pangeran Murist selaku pendiri dinasti Oranye di Belanda menyambut baik kedatangan ambasasor Aceh, Abdul Hamid. Duta Aceh dan rombongannya itu diambut sebagai tamu agung. Namun dalam kunjungan itu, beberapa hari setelah tiba di Belanda, Abdul Hamid sakit-sakitan dan meninggal dunia. Di perkarangan gereja itu ia dimakamkan melalui upacara pemakaman kerajaan secara bersar-besaran.
Tapi cucuku, yang membuat kakekmu ini bersedih hati, endatu kita Abdul Hamid itu dimakamkan secara nasrani, karena Belanda belum pernah memakamkan orang Islam. Nanti kamu bisa berfoto di prasasti makam itu cucuku, prasasti yang diresmikan oleh mendiang pangeran Bernhard suami dari ratu Julianan dan ayahnya Ratu Beatrix. Kalau kamu jumpa sekali waktu dengan keluar besar Belanda itu, katakan kamu Keumalahayati dari Aceh, dan Abdul Hamid itu adalah endatunya kamu.
Cucuku, tahukah kamu mengapa Aceh begitu cepat berkembang dan memiliki diplomat-diplomat ulung seperti Abdul Hamid? Itu semua karena pengaruh Islam. Dunia orang Aceh berubah cepat karena pengaruh agama Islam yang dianutnya. Kerajaan Aceh juga sudah menjalin hubungan dagang dengan berbagai negara Eropa sejak abad ke-14, ketika bangsa-bangsa lain di nusantara masih lelap dalam tahyul-tahyulnya. Endatu kita Aceh pula cucuku yang meng-Islam-kan Jawa. Apa yang mereka kenal dengan Walisongo itu, sembilan orang wali yang mengislamkan Jawa, empat di antaranya merupakan orang Aceh. Dan pemimpin para wali sembilan itu, Maulana Malik Ibrahim merupakan orang Aceh.
Cucuku Keumalahayati, ketegangan di Selat Malaka sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum Belanda datang. Hal ini sudah terjadi sejak Portugis menduduki Malaka pada 18 Agustus 1511. Sejak itu pula Portugis menjadi ancaman bagi perdagangan rempah-rempah. Sultan Aceh yang sudah membangun kerja sama perdagangan dengan kerjaan-kerajaan Islam di India, Persia, Mesir, Turki dan bandar-bandar dagang di Laut Merah, menyadari ancaman Portugis tersebut. Meski demikian, Sultan Aceh tetap menjaga hubungan dengan Portugis selama bangsa itu tidak mengganggu kedaulatan Aceh.
Namun persaingan dagang kemudian membuat hubungan Aceh dengan Portugis di Selat Malaka merenggang. Portugis yang ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah berusaha menghentikan semua pengangkutan rempah-rempah dari Pelabuhan Aceh. Portugis mulai bermain api cucuku. Malah pada tahun 1520, Laksamana dan Raja Muda Portugis di Goa, Dirgo Lopez De Sequeire mengancam dan mengultimatum akan menyerang kapal-kapal yang melakukan kontak dangan dengan Aceh. Sejak itulah Aceh menjadi musuh bubuyutan Portugis di Selat Malaka.
Sembilan tahun kemudian, pada 1529, Portugis benar-benar menyerang Aceh. Pertempuran besar-besaran terjadi di Pelabuhan Pidie dan Pase. Dua pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah di Aceh. Portugis gagal total cucuku, armada perang mereka di Selat Malaka dihalau oleh angkatan perang Aceh. Malah pada Desember 1529 kapal-kapal perang Aceh berlayar ke Canannore di Pantai Barat India untuk membantu armada Raja Kalicut yang bertempur melawan angkatan laut Portugis di Goa.
Dan hebatnya lagi cucuku, laksamana yang memimpin perang di laut itu adalah Keumalahayati, nama yang kini diberikan Hasan anakku untukmu. Berbagalah cucuku kamu menyandang nama laksamana perempuan pertama di dunia itu. Cucuku, kau harus mewarisi semangat Keumalahayati itu. Bila sekarang bangsa-bangsa barat sibuk dengan urusan jender, kesetaraan antara pria dan wanita. Katakan pada mereka bahwa Aceh sudah melakukan persamaan hak laki dan perempuan itu berabad-abad yang lalu.
Katakan juga pada mereka, empat perempuan pernah memimpin kerajaan Aceh ketika perempuan lainnya di nusantara bahkan dunia masih menjadi budak para suaminya. Keempat perempuan pilihan itu adalah: Ratu Nihrasiyah Chadiyn, Sri Ratu Tadjul Alam Syafiatuddin Syahbaz, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, serta Sri Ratu Keumalat Syah.
Cucuku, sejarah Aceh juga mewariskan banyak cerita khas tentang keterlibatan perempuan, tidak hanya dalam urusan pemerintahan, tapi juga angkatan perang. Korp tentara wanita sudah sejak dahulu ada di Aceh, mereka dikenal sebagai si pai inong, yakni korp prajurit wanita. Mereka ada yang langsung terjun ke medan perang, ada juga yang bertugas sebagai pengawal istana. Resimen tentara wanita pengawal istana itu disebut sebagai sukee kawai istana. Berbanggalah kamu cucuku menjadi perempuan Aceh.
Cucuku, kamu harus menceritakan itu pada bangsa Eropa, yang kini sibuk mengkampanyekan gender ke Aceh. Kalau mereka tahu apa yang kuceritakan padamu ini, mungki para perempuan Eropa itu datang ke Aceh tidak sebagai orang yang mengkampanyekan gender, tapi peneliti yang akan meneliti tentang kesetaraan jender di Aceh dan kiprah para wanitanya yang mampu bertindak setara dengan kaum pria.
Katakan pada mereka, korp tentara wanita di Kerajaan Aceh itu dibentuk pada masa Aceh diperintah oleh Sultan Ali Riayat Syah V (1604 – 1607 M). Para tentara wanita itu dipimpin oleh dua Laksamana wanita yaitu Laksamana Meurah Ganti dan Laksamana Tjut Meurah Inseuen. Dua wanita itu pula yang dicatat sejarah sebagai sosok yang membebsakan Iskandar Muda ketika ditahan oleh Sultan Alaidin Riayat Syah V.
Bayangkan cucuku, Iskandar Muda itu raja yang paling tersohor di Aceh yang mampu membawa Aceh kepada zaman kegemilangannya, seandainya dua laksamana perempuan itu tidak membebaskan Iskandar Muda dari dalam penjara mungkin sejarah Aceh akan lain cucuku.
Sebagai balas budi Iskandar Muda terhadap resimen tentara wanita, ketika ia menjadi sulthan Aceh (1607 -1636), korp tentara wanita itu diperbesar. Sulthan Iskandar Muda membentuk Divisi Keumala Cahaya, yang merupakan divisi pengawan istana yang dipimpin oleh seorang laksamana wanita. Para prajurit wanita yang cantik-cantik ditugaskan untuk menerima tamu-tamu agung dengan barisan kehormatannya.
Oya…cucuku, sebelumnya pada masa pemerintahan Sulthan Alaudin Riayat Syah IV (1589-1604) juga pernah dibentuk Armada Inong Balee, yang prajuritnya terdiri dari janda-janda yang suaminya tewas dalam perang. Armada inilah yang dipimpin oleh Laksamana Keumalahayati. Nanti kalau kamu kembali lagi ke Aceh cucuku, kamu akan kubawa ke benteng inong balee dan kuburan Laksamana Keumalahayati.
Cucuku, Laksamana Keumala Hayati bukanlah sembarang perempuan. Kamu harus menjadi seperti dia, kamu harus menjiwai semangatnya. Tahukah kamu, Laksamana Keumalahayati mampu menggagalkan percobaan pengacauan oleh angkatan laut Belanda di Selat Malaka. Itu terjadi pada tahun 1599 ketika armada Belanda di bawah pimpinan Cournelis de Houtman dan Frederich de Houtman. Dua bersaudara itu ditangkap oleh Laksamana Keumalahayati dan dipenjarakan, mereka ingin mengacaukan perairan Aceh dengan dalih perdagangan. Itu juga yang membuat hubungan Aceh dengan Belanda semakin meruncing.
Untuk mengetahui kejelasan tentang peristiwa itu cucuku, kamu mungkin bisa ke Universitas Leiden, kamu bisa mencarinya di buku Vrouwelijke Admiral Malahayati karangan Marie van Zuchtelen. Itu orang Belanda tulen yang menulis dan mengakui kehebatan perempuan Aceh. Ia mengagumi dan memuji Keumalahayati yang disebutnya sebagai perempuan cantik, cerdik, bijaksana dan berani dalam memimpin 2.000 prajurit wanita. Ingat cucuku, 2.000 prajurit wanita, jadi ia bukan sembarang panglima dari kalangan perempuan.
Laksamana Keumalahayati memang wanita yang hebat cucuku, ia pula yang disuruh oleh Sulthan Alauddin Riayat Syah IV untuk menerima dan menghadap utusan Ratu Inggris, Sir James Lancester pada 16 Juni 1606, ketika diplomat Inggris itu melakukan kunjungannya ke Aceh dan membawa langsung surat dari Ratu Inggris untuk Sulthan Aceh. Di bagian pembuka surat itu Ratu Inggris menulis “Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam” bersama surat itu dikirim seperangkat perhiasan sebagai cendra mata dari Ratu Inggris.
Sulthan Alauddin Riayat Syah IV menyambut baik diplomasi Kerajaan Inggris itu dan mengizinkan kapal-kapal Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Membalas surat itu, Sulthan Aceh mengirim hadiah-hadiah yang berharga kepada Ratu Inggris sebagai balasan. Hadiah yang dikirim berupa sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas.
Dalam pembuka surat itu oleh Sulthan Aceh menulis, “Sayalah sang penguasa perkasa negeri-negeri di bawah angin yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatera dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam.”
Hubungan mesra Inggris dengan Aceh itu dilanjutkan pada masa Raja James I. Raja Inggris itu mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sulthan Aceh. Meriam itu hingga kini masih terawat dengan baik dalam koleksi peninggalan Kerajaan Aceh yang dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Sekali lagu cucuku, katakan kepada bangsa Eropa itu, bahwa sebelum mereka berkoar-koar tentang jender. Wanita Aceh sudah berabad-abad lalu melakukannya. Wanita-wanita Aceh juga dikenal sebagai politisi untuk memperjuangkan hak-hak kaumnya di parlemen. Peranan perempuan di parlemen yang dalam istilah Kerajaan Aceh disebut sebagai Balai Majelis Mahkamah Rakyat diatur dalam qanun Meukuta Alam.
Hebatnya lagi cucuku, ketika Aceh dipimpin oleh perempuan yakni Sri Ratu Tadjul Alam Syafiatuddin Syahbaz dilakukan perubahan terhadap susunan anggota badan legislatif yang terdiri dari 73 orang wakil rakyat yang 16 di antaranya merupakan perempuan. Dari 73 anggota parlemen itu, 9 orang berfungsi sebagai wazir atau menteri, sisanya 64 orang sebagai anggota parlemen biasa. Daftar nama-nama anggota parlemen itu tertera dalam Qabub Al Asyu Darussalam, undang-undang tata negara Kerajaan Aceh.
***
Oya cucuku, tentang si Cournelis dan Freerick de Houtman yang ditangkap oleh Laksamana Keumalahayati itu belum habis kuceritakan padamu dalam surat ini. Mereka ingin mengacaukan jalur perdagangan di Selat Malaka. Untuk menutup kedoknya itu sebagai utusan negeri penjajah, mereka berpura-pura membawa misi dagang. Inilah yang menyulutkan ketegangan di Selat Malaka.
Kedua bersaudara itu mendompleng maskapai perdagangan Zeewsche Reeder Balthazar de Moecheron. Dengan dua kapal besar dari perusahaan itu berlayar di Selat Malaka dan masuk ke perairan Aceh. Portugis mengetahui hal itu dan menghasul pihak Aceh untuk mengusir misi dagang tersebut. Portugis ingin monoplinya tidak diganggu oleh Belanda.
Utusan Belanda itu ditahan, karena negosiasi ekonomi yang gagal salah satu di antaranya dibunuh yakni si Cournelis de Houtman, sementara Frederick de Houtman ditahan. Lalu dua kapal Belanda itu dilepaskan dan diminta kembali kepada tuannya. Tahukah kamu cucuku mengapa kapal itu dilepaskan? Sulthan Aceh ingin menyampaikan pesan kepada pihak Belanda untuk tidak main-main dengan Aceh. Itu pesan yang sangat tegas bahwa Belanda yang ingin mengganggu kedaulatan Aceh mati di ujung pedang.
Kalau kamu sudah ke Leiden, kamu bisa membaca hal itu dalam buku “Atjhe” yang ditulis J Kreemer. Kamu bisa baca bagaimana tak berdayanya Belanda itu menghadapi Aceh, hingga pada November 1600 mencoba kembali untuk masuk ke Aceh. Waktu itu Belanda mengutus Paulus van Caerden bersama teman sepelayarannya Pieter Both. Mereka ingin masuk ke Aceh dengan dua buah kapal dari perusahaan dagang Brabantsche Compagnie.
Dalam suasana yang tegang seperti itu, Paulus van Caerden memang bisa masuk dan berlabuh di pelabuhan Aceh, tapi niat untuk membangun kerjasama perdagangan itu pupus akibat hasutan Portugis yang bermusuhan dengan Belanda. Muatan rempah-rempat dari dua kapal itu dibongkar, mereka kembali ke Belanda tanpa hasil apa-apa.
Oya cucuku, saat itu kita orang Aceh masih berbaik hati, si Federick de Houtman yang ditahan itu dilepaskan dan dizinkan untuk kembali ke Belanda bersama paulus van Caerden, tapi ia menolaknya dan tetap ingin berada di Aceh, meski sebagai tawanan kerajaan. Sejarah tentang apa yang kuceritakan ini, kamu bisa membacanya dalam De Europeers in den Maleshen Archipel dan het Handelsverdrag vab V Caerden dalam bukunya J E Heeres Corpus Diplomaticum. Sebuah catatan tentang diplomasi Belanda ke Malaka. Karena kamu sudah hidup di Belanda dan fasih dengan bahasa mereka kuminta sekali waktu agar kamu Keumalahayati cucuku mau menerjemahkan catatan-catatan itu untukku, agar kakekmu ini mengetahui seutuhnya tidak sepenggal-sepenggal.
Cucuku, meski Belanda sudah dua kali gagal, mereka terus berupaya untuk masuk ke Aceh. Dan itu baru bisa dilakukan dengan damai pada tahun 1601. Ketika itu Raja Belanda , Print Maurist mengirim utusannya ke Aceh, ia juga mengirim sepucuk surat persahabatan dengan berbagai hadiahnya kepada Sulthan Aceh. Mereka datang dengan misi dagang Gerard le Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa buah kapal dari perusahaan Zeeuw yang merupakan sebuah eskader dari Middelburg.
Misi dagang Belanda itu diterima, mereka diizinkan untuk memberli rempah-rempah di berbagai pelabuhan di Aceh. Saat itulah Frederick de Houtman benar-benar dilepaskan. Ia bersama kawan-kawannya kembali ke Belanda. Saat itu sebagai upaya untuk membangun diplomasi dan kerja sama yang baik, Sulthan Aceh Alauddin Riayatsyah al Mukamil, mengirim utusannya ke Belanda. Rombongan diplomat Aceh itu antara lain, Duta Besar Abdul Hamid, Laksamana Sri Muhammad, Mir Hasan dan seorang bangsawan Aceh bersama penerjeman Leonard Werner.
Itulah ambasador Abdul Hamid yang kuceritakan padamu sebelumnya cucuku. Mereka tiba di Belanda pada Agustus 1602 dan disambut secara besar-besaran. Tapi pada 9 Agustus 1602 itu, Abdul Hamid meninggal di sana karena sakit. Ia dimakamkan di perkarangan gereja St Pieter Middelburg, Zeeland. Jangan lupa pesanku padamu ya cucuku, kunjungilah makam endatumu itu nanti. Dan, untuk lebih mengetahui tentang hal tersebut, kamu bisa mencari bukunya Dr J J F Wap, Het Gezantschap Van Den Sulthan Van Achin (1602) aat Print Maurist van Nassau en de Oud-Nederlandsche Republiek. Buku ini diterbitkan pada tahun 1862, jauh sebelum kakekmu ini dilahirkan.[]
Belum ada tanggapan untuk "Ketegangan di Selat Malaka (4)"
Post a Comment