Pagi masih dhuha. Seorang pria mengetuk pintu rumahku. Ia seperti terhesa-gesa. Belum selesai kubuka pintu, kulihat ia merogoh isi tasnya. Sebuah amplop sebesar buku tulis berwarna krem disodornya padaku.
“Hebat. Sekarang kakek punya saudara di luar negeri,” katanya tanpa melihat ke wajahku. Ia masih sibuk membetulkan letak lusinan amplop dalam tasnya.
Aku benar-benar tercengang. Siapa gerangan yang mengirimkanku surat. Cucu-cucuku yang kuliah di luar kota tak pernah mengirimiku surat. Paling hanya telepon ke telepon genggam milik Asmimara tetanggaku, yang kemudian akan mengantarkannya padaku untuk bercakap-cakap dengan mereka.
Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
“Sudah ya Kek, Asslamualaikom.” Tukang pos itu pamit. Salamnya membuyarkan lamunanku. Aku masih penasaran dengan amplop krem itu. Kutimang-timang beberapa saat. Sampulnya berbalut plastik menandakan isi amplop ini sangat penting. Kugerak-gerakkan isi dalam amplop itu, terasa ada beberapa lembar kertas tebal di dalamnya.
“Mungkin ini surat dari pustakawan Belanda di Amsterdam,” batinku.
Ya… sekitar tiga bulan lalu aku memang mengirim surat ke negeri kincir angin itu, menanyakan keberadaan Atjeh Institute, lembaga yang didirikan oleh Pemerintah Belanda pada 31 Juli 1914 melalui surat keputusan KB nomor 61. Lembaga yang mengkaji Aceh ini didirikan atas prakarsa Profesor Doktor Cristian Snouck Hurgronje. Ia juga yang menjadi ketua di lembaga tersebut, dengan Doktor C Jansen sebagai sekretaris dan Profesor J V Van Werde C J Haselman sebagai bendara.
Di lembaga itu terhimpun tulisan-tulisan kaum orientalis barat tentang Aceh. Aku akan sangat bahagia jika memang amplop yang kupegang ini berisi jawaban terdahap sejumlah tanya yang selama ini menjuntai dalam benakku.
“Isi amplop ini mungkin kopian bagian buku Encyopedie Van Ned Indie karya Kreemer yan pernah kuminta dalam suratku tempo dulu.” Aku mencoba menerka-nerka isinya.
Tapi bisa jadi juga ini informasi tentang karya beberapa penulis barat yang menulis tentang Aceh yang juga kupertanyakan dalam surat itu, seperti Van Veer, Van Graaff, Van De Plass, Van Den Nomensen. Kalau benar, maka ini adalah sebuah berkah di pagi hari. Aku hanya tinggal menunggu jawaban berbagai negara lainnya soal karya-karya penulis mereka tentang Aceh. Akan lengkap pemahamanku jika pihak Pustaka Nasional Inggris mau mengirimkanku karya Profesor Doktor Griff yang pernah meneliti Aceh. Begitu juga dengan catatan Marcopolo dari Spanyol, dan tulisan Profesor Doktor Wit Shing dari China.
Mereka semua adalah orang-orang yang menulis tentang Aceh. Tulisan mereka masih orisinil dan objektif, kecuali dari Atjeh Institute yang memboncengi kepentingan Belanda untuk penaklukan Aceh. Namun sebagai bahan pembanding dengan tulisan-tulisan lain, karya-karya mereka sangat berharga.
Aku kembali menimang-nimang amplop itu. Sambil duduk melipat kedua kaki di atas tikar pandan, kurobek sampul plastik bening itu. Namun, mataku kemudian terbelalak ketika melihat tulisan di sudut kanan amplop itu. “Dari Keumalahayati di Den Haag” Aku tambah bingung. Itu nama orang Aceh, mungkinkan ada orang Aceh yang bekerja di sana. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu membuat aku urung membukanya.
Di sudut amplop lainnya tertera tulisan yang tak kalah mengangetkanku. “Kepada Kakek Nyak Oebiet Kaoey di Meureudu.” Ia tahu lengkap namaku. Ia juga menambah panggilan kakek di sana. Siapa gerangan Keumalahayati ini. Orang Belanda tak mungkin punya nama seperti itu. Itu namanya laksamana perempuan Aceh yang memimpin armada perang Aceh di Selat Malaka ketika berperang dengan Portugis.
“Ah…bisa jadi itu orang Belanda yang kagum dengan kehebatan laksamana perempuan pertama di dunia itu, hingga ia menggunakan nama Keumalahayati,” aku membatin.
Beragam tanya menjuntai di benakku. Melihat sampul amplop dan nama pengirimnya, aku menduga ini bukan surat resmi dari pustaka Belanda, karena tak ada kop dan logo apa-apa di sana. Ini pasti surat pribadi. Tapi siapa gerangan Keumalahayati itu yang mengirimkan surat pribadinya untukku. Dengan sejuta tanya, segera kubuka sampul amplop itu.
Aku memang harus kecewa di pagi itu. Surat yang kuterima memang bukan jawaban dari suratku tiga bulan lalu. Mimpi akan menemukan tulisan-tulisan kaum orientalis barat tentang Aceh buyar sudah. Namun di balik kekecewaan itu, aku kembali dikagetkan dengan dua lembar foto perempuan berjilbab di dalam amplop itu.
Seorang gadis tersenyum dalam foto itu. Ia mengenakan blezer warga abu-abu dengan rok sewarna sampai tumit. Di belakangnya tertera tulisan tangan. “Keumalahayati di depan Balai Kota ‘Het Ijspaleis’ Istana esnya Den Haag”. Foto lainnya dengan pakaian yang hampir senada, ia berdiri di Malieveld yang disebutnya sebagai alun-alun kota Den Haag.
Aku tambah penasaran degan Keumalahayati. Kubaca dua lembar suratnya. Karena tergesa-gesa aku tak bisa membedakan bagian pertama dan kedua surat itu. Namun kubaca juga. Keumalahayati banyak bercerita tentang Kota Den Haag, mulai dari pengeboman kota itu oleh angkatan udara Britania Raya di daerah perkampungan Bezuidenhout pada 3 Maret 1945 yang menewaskan 510 penduduk. Sampai tentang Koferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda di Den Haag pada 23 Agustus dan 2 Noverber 1945.
“Gadis ini penyuka sejarah,” kataku dalam hati.
Aku semakin bersemangat membaca suratnya. Paling tidak, bila suratku benar-benar tak dibalas oleh pihak Pustaka Belanda, aku telah menemukan Keumalahayati yang bisa membantuku untuk memndapat berbagai hal yang kuinginkan. Apalagi Keulahayati jelas-jelas terkesan dalam suranya itu sebagai gadis penyuka sejarah.
Pada baris-baris selanjutnya ia bercerita tentang penduduk Indobelanda. Mereka adalah orang-orang dari Indonesia yang dibawa oleh Belanda ke sana. Mereka banyak menetap di Den Haag yang kemudian menjadikan kota itu sebagai kota Indisch. “Sering juga disebut sebagai weduwe van Indie, karena di sini banyak janda Hindia Belanda, orang-orang dari Indonesia yang dipeistrikan oleh Belanda ketika di Indonesia,” jelasnya dalam surat itu.
Seketika aku menduga bahwa Keumalahayati mungkin anak salah satu janda itu.
“Tapi pada zaman penaklukan Belanda di nusantara, sangat jarang malah bisa dikatakan tidak ada perempuan Aceh yang mau disunting Belanda,” aku membantah dugaanku sendiri. Dengan bantahan itu, maka semakin besar rasa penasaranku terhadap Keumalahayati. Ia tak mungkin anak janda Belanda, raut wajahnya tak mencerminkan ia keturunan Indo. Wajahnya benar-benar wajah khas Aceh.
Selesai membaca satu bagian surat itu, kulanjutkan pada bagian lainnya. Ternyata tadi aku membaca surat halaman ke dua. Dan yang kupegang ini adalah bagian pertama dari surat itu. “Saya cucu kakek…” tulisnya. Membaca itu aku tambah terkejut. Anakku yang mana yang memberiku cucu secantik itu. “Bukan….bukan…bukan..,” kataku dalam hati sambil melempar lembaran surat itu ke tikar pandan.
Aku tak mungkin memiliki cucu di Belanda. Aku sangat benci Belanda. Mendengar nama Belanda saja aku teringat berbagai fakta sejarah Aceh yang hilang, yang kepingan-kepingannya ingin kukumpulkan. Karena itu pula aku mengirimkan beberapa surat ke sana. Surat yang sampai sekarang tak berbalas, kecuali surat Keumalahayati yang datang tanpa kuminta.
Setelah mengusap muka dengan kedua telapak tangan. Kulanjutkan membaca surat itu. Aku ingin membunuh penasaran dan mencari jawaban dari pengakuannya sebagai cucuku. Perasaanku semakin tak menentu membaca kalimat-kalimat surat Keumalahayati. “Ayahku Hasan, anak kakek.”
Surat itu jatuh dari tanganku. Bagaimana seorang gadis di Belanda mengetahui nama putra pertamaku. Itu tidak mungkin, gadis itu hanya mengada-ngada. Pikiranku tambah galau. Seandainya di rumah masih ada istriku, aku akan meminta pendapatnya tentang surat itu. Tapi aku memang sudah lama sendirian di rumah ini. Aku menyendiri, menolak tinggal di rumah anak-anakku, karena di rumah ini aku bisa leluasa membaca apa saja yang ingin kubaca tentang Aceh tanpa ada yang mengusiknya. Meski kadang-kadang kerinduan pada cucu-cucuku membuatku harus meninggalkan rumah ini dua tiga hari.
Kutatap kembali lembar surat itu. Pikiranku semakin jauh menerawang. Jangan-jangan surat itu dikirim oleh seseorang yang bukan keumalahayati dalam foto itu. Bukankah banyak sudah sejarah pencurian identitas untuk tujuan propaganda dan sejenisnya. Bisa jadi pengirim surat itu seorang mata-mata yang ingin mengorek informasi tentang Aceh setelah damai dari perang. Anggapan-anggapan seperti itu membuatku semakin penasaran.
Tapi pengirim surat itu, siapa pun dia, terlalu gegabah mengaku sebagai cucuku dari anakku Hasan. Putra tertuaku itu sudah meninggal dalam kecamuk perang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia pada tahun 1999. Ia tewas bersama empat temannya di Glee Beuracan. Wajahnya remuk hingga kami tak mengenalnya sama sekali. Namun, kawan gerilyanya membenarkan itu Hasan, anakku. Karena Hasan yang memimpin kawan-kawannya senja itu menghadang iring-iringan truk tentara.
Dengan galau kulanjutkan juga membaca surat itu. Aku menduga ini hanya orang iseng yang mendompleng identitas anakku. Aku segera teringat Donald Heathfield dan Anna Chapman yang dituduh Amerika sebagai mata-mata Rusia yang memata-matai Amerika untuk kepentingan Rusia. Bisa jadi pengirim surat ini mata-mata Belanda yang ingin memata-matai Aceh setelah mereka gagal menaklukkan Aceh dalam perang termahal mereka di Indonesia. Aceh dulu adalah sebuah tamparan bagi Belanda, daerah terakhir yang coba dikuasainya, tapi daerah pertama yang ditinggalkan karena kekalahannya.
Bagian pertama suratnya ini benar-benar mencengangkanku. Siapun dia, aku harus membaca keseluruhan suratnya. Ia banyak bercerita tentang Hasan anakku. Aku tak habis pikir, ia mengetahui segalanya tentang keluargaku. “Ayah telah bercerita banyak,” tulisnya. Tapi bagaimana seorang yang sudah meninggal di Aceh bisa menikah dan punya anak di Belanda. Ini benar-benar mustahil.
Kemustahilan itu sedikit demi sedikit berkurang, ketika ia menceritakan kepergian Hasan ke Belanda. Katanya, ia tidak tewas dalam pertempuran itu. Empat mayat itu adalah kawannya. Salah satunya menengenakan baju milik Hasan karena mereka memang sahabat dekat dari kecil. Yang tewas itu katanya Husein, anaknya Pawang Raman. Setelah peristiwa itu, Hasan katanya lari ke Batam, terus menyebrang ke Singapura, sampai akhirnya mendapat perlindungan orang-orang Aceh di Malaysia.
Tak terasa bulir-bulir bening mengalir dari pelupuk mataku membasahi pipi yang keriputan. Kalau benar Hasan masih hidup kenapa selama duapuluh tahun lebih ia tak memberi kabar.
“Dari Malaysia ayah berjuang untuk mendapat suaka. Dan akhirnya dibawa ke Denmark, tak lama di sana ia memutuskan untuk merantau ke Belanda. Dan di Den Haag ayah menemukan Ummi Salamah sebagai pendamping hidupnya yang telah melahirkanku sebagai putri satu-satunya,” tulis Keumalahayati.
Aku benar-benar menangis. Ketika melanjutkan membaca kalimat surat itu. “Tahun lalu ayah meninggal. Aku mendapat alamat kakek dari kawanku di jejaring sosial dunia maya. Kalau benar yang membaca surat ini adalah kakekku, balas surat ini, karena aku ingin menjengukmu setelah mendengar kabar Aceh tanah ayahku telah aman dari nestapa.”
Kuraih kembali amplop surat itu untuk melihat sisa isinya. Di dalamnya kutemukan foto Hasan bersama dua orang perempuan. “Ini aku Ummi dan Ayah,” tulis Keumalahayati di balik foto itu. Itu benar-benar Hasan, wajahnya belum berubah, ia hanya tambah putih sedikit. Foto lainnya memperlihatkan Keumalahayati dan Salamah menziarahi kuburan Hasan. Aku benar-benar ingin ke sana.
Seketika aku tak dapat menahan luapan emosiku. Aku terus menangis. Seorang pemberontak yang tertawa ketika kuku kakinya dicabut tentara, kini menangis dalam kesendiriannya. Seorang pemberontak yang masih mampu meludahi muka tentara ketika badannya disetrum listrik, kini sendu di ruang tamu rumah kecilnya. Seorang pemberontak yang kalah perang dengan nasibnya.
Belum ada tanggapan untuk "Surat dari Den Haag (1)"
Post a Comment