Aku benar-benar membalas surat Keumalahayati. Meski masih diselimuti keraguan, aku berharap ia benar-benar cucuku. Dan ia memberi jawaban terhadap keraguan itu dengan mendatangiku ke Aceh. Hari ini aku harus menjemputnya di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar.
Lama juga aku duduk di terminal kedatangan bandara itu. Dalam suratnya kemarin Keumalahayati memberitahuku pesawatnya transit dulu di Singapura. Dari sana ia harus ke Malaysia untuk menjemput seorang pria yang akan membawanya ke Aceh. Setiap pesawat yang mendarat kuperhatikan satu persatu. Pandanganku kemudian tertuju pada pintu kedatangan, tapi wajah dalam foto yang kupegang tak juga muncul di situ.
Menunggu memang usaha yang membosankan, tapi kali ini aku harus mengisi kebosanan itu dengan harapan, dengan teka-teki dan sejumlah tanya yang menjuntai dalam benakku tentang Hasan dan Keumalahayati. Waktu terasa berlalu begitu lama, detik layaknya berjalan bagai jam saja. Tapi aku harus tetap menunggu Keumalahayati untuk membawaku pada cerita Hasan yang kini terbujur dihimpit tanah Nezerland.
Pesawat dari Malaysia yang membawa Keumalahayati bersama temannya akhirnya mendarat juga, tepat ketika aku sudah menunggu satu jam sepuluh menit. Mataku terus mengamati satu persatu orang yang keluar di pintu kedatangan. Keumalahayati tentu tak mengenalku. Ia belum sekalipun melihat wajahku. Satu-satunya harapan adalah pada fotonya yang aku pegang. Sambil bersandar di tiang depan pintu aku mengangkat foto itu tinggi-tinggi. Jarakku dengan pintu kedatangan hanya sekitar duapuluh meter. Keumalahayati pasti melihat aku dengan fotonya.
Upayaku itu memang berhasil. Seorang perempuan langsing dengan hidung agak mancung mendekatiku. Ia sedikit lebih tinggi dariku. Ia segera memelukku hingga aku terdorong ke belakang menyentuh tiang bangunan bandara. Ia menangis. Aku tak dapat berkata-kata. Tanganku kemudian mengelus pundaknya.
“Aku pulang kek,” katanya setelah melepaskan pelukan.
Kulihat matanya basah. Sementara seorang anak muda yang sedari tadi memperhatikan kami, menyodorkan tangannya padaku. “Akmal,” katanya memperkenalkan diri.
Akmal merupakan kenalan Keumalahayati di dunia maya. Dia juga yang memberikan alamatku padanya, setelah memperoleh dari kawannya di kampungku. Ia terlihat sebagai anak muda berpendidikan. Dan dugaanku itu benar, ia sedang menyelesaikan study S3 di salah satu Universitas di Malaysia.
“Bang Hasan anak kakek itu kawan sekolah ayah saya,” katanya memulai cerita.
Sepanjang perjalanan pulang, Akmal lebih banyak bercerita tentang kenangan antara ayahnya dan Hasan anakku. Ayahnya juga seorang pemberontak, seorang gubernur wilayah yang berulangkali masuk penjara. Meski ketika Aceh sudah damai, ayahnya tidak diakuai dalam golongan para gerilyawan perebut kekuasaan.
“Kata orang, ayah saya ketika ditangkap dan disiksa tentara, membocorkan lokasi persembunyian seorang panglima. Aku yakin ayah tidak melakukan hal itu, karena ayah itu orang yang sangat militan. Beliau sudah bergabung dalam gerakan sejak masa DI/TII.”
Cerita Akmal langsung mengingatkanku pada Tgk Arief. Lelaki renta yang kini menghabiskan waktunya di pesantren di kampungnya di pedalaman Pidie. Aku punya banyak cerita tentang militansi lelaki itu. Cerita yang harus kusampaikan pada Akmal, tapi tidak sekarang, karena aku terlebih dahulu harus mendengar cerita tentang Hasan dari mulut cucuku, Keumalahayati.
Kami memilih pulang melalui jalan pintas, melewati perkampungan yang rindang.
“Ini yang aku mau kek, desa yang teduh dan rindang,” kata Keumalahayati.
“Pohon asam sepanjang jalan ini peninggalan Belanda. Usianya sudah lebih seratus tahun. Ini dulu jalan utama yang dibangun Belanda dengan tenaga para pekerja paksa. Konon kabarnya, di setiap satu batang pohon asam itu terkubur satu jasad pekerja yang mati kelelahan dan kelaparan,” jelasku pada Keumalahayati.
“Banyak juga orang Aceh yang mati dipaksa bekerja ya kek?” tanya Keumalahanyati.
“Banyak, tapi mereka mati bukan karena kerja paksa, melainkan gugur di ujung senapan marsose, tentara elit Belanda di nusantara. Para pekerja paksa itu merupakan orang-orang dari Jawa yang ditahan sebagai orang hukuman dan dibawa ke Aceh untuk bekerja. Sementara orang Aceh lebih banyak mati dalam perjuangan melawan Belanda.”
Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku bercerita padanya tentang budak Jawa di Aceh. Ribuan pekerja paksa yang dirantai ketika diturunkan dari kapal perang Belanda untuk bekerja di Aceh. Belanda menyebut mereka sebagai beer atau beeren, sementara orang Aceh menyebutnya simeurante, yakni orang-orang yang dirantai.
Keumalahayati tampak semangat mendengar ceritaku.
“Ini sejarah yang belum terungkap kek, ceritakan padaku tentang mereka?” pintanya.
Aku pun bercerita tentang kedatangan pertama armada perang Belanda ke Aceh. Untuk menaklukkan Aceh Belanda membawa 2.100 tentara pribumi dari Jawa bersama 1.000 orang hukuman sebagai pekerja, 220 di antaranya merupakan wanita yang menjadi penghibur dan pemuas birahi para pewira.
“Kok kakek tahu semua itu?” tanya Akmal.
“Itu hanya sebagian, nanti di rumah kakek, kalian bisa membaca semuanya. Orang Belanda sendiri yang menulis tentang kekejaman bangsanya di Aceh. Mungkin kamu pernah mendengar nama H C Zentgraaff, pensiunan tentara Belanda yang menjadi wartawan perang dan membongkan sedikit banyak kekejian bangsanya sendiri,” kataku pada Keumalahayati.
“Ya…jadi tak sabar ni kek,” sela Akmal.
“Pulang ke Meureudu kampung kita, kakek juga punya cerita kegilaan pekerja paksa asal Jawa di sana.”
Sebelum ceritaku itu berakhir, kami berhenti di pertigaan untuk makan siang. Sebuah warung khas Aceh Rayeuk menjadi pilihan kami. Aku sudah lama tak merasakan enaknya eungkot paya dan sie kameng masak ala Aceh Rayeuk. Sekali-kali aku perlu ‘membakar’ tubuhku dengan aromanya.
“Kamu makan itu saja, asam udang dan sambal belacan agar lidahmu tidak tiloe kalau berbicara dalam bahasa Aceh,” kataku mencandai Keumalahayati yang masih terlihat logat asing ketika berbicara dalam bahasa Aceh. Maklumlah, ia lahir dan besar di Belanda. Mengerti bahasan Aceh saja sudah luar biasa. Tapi memang Hasan, anakku selalu mengajaknya berbicara dalam bahasa Aceh meski mereka hidup di Belanda.
“Kakek ini ada-ada saja, jeut long hai bahsa Aceh,” jawabnya membantah ucapanku. Kalimat terakhirnya ingin ditujunjukkan sebagai bukti padaku bahwa dia bisa berbahasa Aceh meski belum begitu fasih.
Kami makan dengan lahap. Keumalahayati nampak kwalahan dengan menu yang masih baru bagi lidanya. Ia kepedesan. Akmal kemudian menyodorkan padanya segelas timun kerok.
“Ni minum untuk menetralkan rasa di lidahmu,” katanya.
Kulihat keduanya tampak serasi. Andai Hasan masih hidup, aku akan memintanya untuk menjodohkan cucuku itu dengan anak Arief kawan seangkatanku dalam pergerakan menentang Jakarta.
“Kek cerita lagi dong tentang budak Jawa itu,” pinta Keumalahayati.
“Nanti di rumah kamu bisa baca buku Atjeh yang ditulis Zentgraaff semua ada di situ.”
“Gak bisa kek, Mala ingin dengar dari kakek sekarang. Kalau gak ngapain juga kakek cerita tadi, jangan sepenggal-sepenggal lah kek ceritanya.” Keumalahayati menarik tanganku. Tingkahnya yang mulai bermanja-manja denganku membuatku agak kaget. Tapi aku senang, cucuku itu mau mencari dan menjengukku di sini padahal ia bisa hidup senang di Belanda.
Untuk menyenangkan cucuku itu, akupun bercerita padanya tentang apa yang pernah kubaca dari tentang budak-budak Jawa itu. Keberadaan mereka di Aceh selain sebagai pekerja paksa yang membangun rel kereta api, juga pengangkut logistik. Sebagian mereka meninggal karena letih dan lapar. Kuburan para pekerja paksa itu dibuat seadanya. Malah tak jarang mayat-mayat orang hukuman itu dibiarkan tergeletak begitu saja. Mayat-mayat itu ada yang menjadi makanan binatang buas.
“Masa sesadis itu Belanda kek, gak mungkin. Itu karangan kakek saja,” kata Keumalahayati.
Aku kaget mendengar bantahannya, hingga kemudian bercerita lebih banyak untuk menguatkan ceritaku. Dan saat itu aku baru sadar, ketika melihat Keumalahayati tersenyum, ternyata bantahannya hanya untuk memancingku bercerita lebih banyak. Aku tanpa sadar masuk dalam perangkapnya. Ia benar-benar cucuku yang cerdik.
“Kakek tidak sembarang cerita. Media-media di Belanda waktu itu juga mengakui tentang orang-orang hukuman dari Jawa itu,” kataku.
“Masa Belanda mau mengakui hal itu kek?” Keumalahayati kembali memancingku. Aku tersenyum dan kemudian melanjutkan ceritaku.
Ya…sebuah koran di Belanda, De Nieuve Rotterdamsche Couran pada edisi Januari 1883 menulis tentang usaha Belanda mendatangkan pekerja paksa dari Jawa ke Aceh. “Usaha yang lainnya adalah usaha-usaha dalam pekerjaan umum, membangun dinas-dinas angkutan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan ekspedisi di wilayah yang akan memberikan saham bagi sejarah pekerja-pekerja paksa (kettingbereb) dalam pekerjaan menentramkan daerah-daerah dan membuka berbagai daerah.” tulis koran itu.
Aku menyarankan Keumalahayati untuk mencari koran itu ketika dia kembali ke Belanda. Mungkin klipingannya masih ada. Kulihat Keumalahayati kembali tersenyum. Kali ini aku menang, ia tak lagi membantahku.
“Tugasmu untuk mencari koran itu dan membawa pulang ke sini untuk kakek,”
“Yaahhh kek, itu kan koran dua abad lalu, susah mencarinya,” jawab Keumala.
Kami kemudian tertawa. Keumalahayati semakin menampakkan sikap manjanya padaku. Sementara Akmal lebih banyak diam ketika aku menceritakan tentang sejarah budak-budak Jawa itu.
“Lanjutkan ceritanya kek, tapi ceritakan juga tentang pekerja paksa di Meureudu yang kakek bilang tadi,” kali ini Akmal yang memintaku untuk bercerita.
Aku tak dapat menolak permintaan Akmal. Aku menghargainya sebagai anak dari sahabatku dan kawan cucuku. Maka sebelum kami beranjak dari rumah makan itu, akupun menuntaskan ceritaku.
Para pekerja paksa itu selain mengakut logistik tentara Belanda, juga sering dijadikan tameng saat perang dengan gerilyawan Aceh. Malah ada pekerja paksa yang ikut berperang dengan harapan diberi upah keringanan hukuman atau malah dibebaskan dari status budak bila mereka mampu menunjukkan pekerjaan baiknya dalam perang, seperti menyelamatkan nyawa perwira.
Kadang kala, para pekerja paksa itu berperang hanya untuk mengharapkan imbalan sebatang rokok dengan risiko yang sangat besar. Mereka rela mempertaruhkan nyawanya hanya untuk sebuah imbalan yang tak setara. Lebih beruntung bila mereka diberikan baju bekas milik tentara Belanda.
Ketika tentara Belanda (Indiche Leger) di Aceh baru memiliki 18 batalion infantri. Para pekerja paksa itu dianggap sebagai batalion ke-19. Kumpulan para pekerja paksa itu sering disebut batalion merah, sesuai dengan baju yang mereka pakai.
“Apa mereka juga ada di Meureudu?” tanya Akmal.
“Ya, ada,” jawabku.
Aku kemudian bercerita padanya tentang sebuah peristiwa di tahun 1899. Kala itu, pos Belanda di Meureudu dikepung oleh pejuang Aceh. Komandan Belanda sangat khawatir karena tidak mampu menghadapi peperangan itu. Padahal dalam pos itu terdapat 150 pasukan Belanda yang segar bugar.
Seorang pekerja paksa asal Madura diminta untuk mengantarkan surat mohon bantuan tambahan pasukan dari pos Belanda di Panteraja. Pekerja paksa itu berlari seorang diri menerobos semak belukar dan menyebrangi tiga sungai (krueng), mulai dari Krueng Beuracan, Krueng Trienggadeng dan Krueng Panteraja. Esoknya ia berhasil tiba di pos Panteraja dengan wajah letih dan badan penuh goresan duri.
Para marsose di Panteraja ketika itu sedang mandi. Mereka terkejut melihat beer pengantar sura itu keluar dari sungai.
“Di mana kapten pasukan Panteraja,” tanyanya dengan nafas putus-putus.
“Ada apa tanya seorang marsose,”
Pekerja paksa itu tidak segera menjawab. Ia duduk di tanah sambil bersandar di batang kelapa. Disorongnya tangan kanannya ke arah marsose.
“Ini dari komandan Mardu kepada tuan komandan marsose,” katanya menyerahkan surat itu. Ia menyebut Meureudu dengan sebutan Mardu. Setelah menyerahkan surat itu beer asal Madura itu pingsan karena kelelahan.
Surat itu kemudian ditersukan kepada Komandan Marsose di Pos Panteraja. Saat itu sang komandan sedang merapikan jenggotnya di depan cermin yang digantung pada batang kelapa di belakang tendanya. Mendapat surat itu, ia menancapkan ujung pisau cukurnya di batang kelapa di atas gantungan cermin, kemudian membersihkan pipi dan dagunya dengan handuk kecil. Ia segera membuka surat itu dan membacanya.
Dalam surat itu Komandan Marsose di Meureudu memberitahukan bahwa ia sudah tidak mempunyai opsir-opsir lagi, dan serdadu-serdadu dalam pos tersebut sudah lentur semangatnya akibat digempur gerilyawan Aceh. Ia meremas surat itu dan memerintahkan opsir-opsirnya untuk siap-siap menuju Meureudu. Seorang perwira penghubung diperintahkan untuk meneruskan kabar itu ke Pos di Pidie.
Dalam keadaan gawat seperti itu, Belanda kemudian mengirim delapan brigade marsose dari Pidie menuju Meureudu. Ketika mereka sampai perang sudah berkecamuk. Lebih dari setengah marsose dalam Pos Meureudu tewas. Sebagain dari gerilyawan Aceh juga terkapar. Mereka mundur ke perbukitan antara Seunong dan Beuracan ketika marsose dari Penteraja dan Pidie tiba.
Pekerja paksa yang membawa surat ke Pos Panteraja itu baru sadar dari pingsannya sehari kemudian. Ketika sadar kepadanya diberikan semangkuk coklat, roti dan sepotong daging tebal sebagai imbalan. Seorang pekerja paksa maklum bahwa dengan berhasil melaksanakan tugas yang berani seperti itu, sudah dipastikan mereka mendapat kebebasan penuh dan tak lagi berstatus sebagai budak pekerja paksa.
Si Madura itu sudah bisa menanggalkan pekerjaannya sebagai beer ia menjadi orang yang bebas dan bisa bekerja di dapur atau menjadi pelayanan di rumah perwira Belanda, tidak lagi harus menentang maut dalam kecamuk perang. Namun hanya sedikit dari mereka yang berhasil dalam tugas-tugas berat seperti itu. banyak di antara mereka yang tidak kembali dari menjalankan perintah seperti itu. Dan tak ada yang tahu bagaimana cara kematian mereka.
Mendengar ceritaku itu, Keumalahayati dan Akmal tampak diam. Mereka seolah tak percaya dengan semua itu.
“Kasihan juga orang Madura itu ya kek,” kata Keumalahayati.
“Bukan kasihan, tapi beruntung ia bisa sampai ke Panteraja dengan selamat. Ada banyak pekerja paksa yang memiliki nasib tak sebaik dia,” kataku.
“O..yaa…cerita lagi dong kek,” pinta Keumalahayati.
Untuk menjawab rasa penasaran Keumalahayati dan Akmal. Kulanjutkan ceritaku tentang para pekerja paksa yang diadu sesama pekerja paksa oleh Belanda. Mereka mengangapnya sebagai hiburan penanggal lelah usai pulang patroli. Karena itu tak jarang para pekerja paksa yang menangkut logistik marsose membuang satu persatu barang bawaannya untuk mengurangi berat beban yang ia pikul.
Lama-lama hal itu diketahui juga karena banyaknya barang yang hilang. Untuk mencegah hal itu terulang, komandan marsose kemudian mengangkat salah seorang pekerja paksa sebagai mandor untuk mengawasi pekerja paksa lainnya. Untuk membuktikan ia bisa bekerja dengan baik, mandor itu tak segan-segang menghukum kawannya sendiri. Mereka dua kali dijajah, oleh Belandan dan oleh mandor.
Hal ini juga terjadi pada pekerja paksa rombongan transport yang membawa perbekalan dan barang kebutuhan marsose ke suatu wilayah. Seperti dialami rombongan transport pimpinan Letnan Jenae yang dikenal sebagai komandan kecil, si tuan cabe rawit.
Jenae merupakan seorang letnan muda. Pada tahun 1905 dengan kekuatan dua pasukan infantri bersenjata 40 karaben dengan bayonet, mereka mengawasi 400 pekerja paksa dari Kuala Simpang ke Penampaan Blangkejeren. Barisan pekerja paksa yang mengangkut barang-barang tersebut panjangnya melebihi satu kilometer. Mereka diawasi oleh 40 marsose. Jenae membuat peraturan setiap sepuluh pekerja paksa diawasi oleh satu tentara bersenjata.
Para pekerja paksa itu mengangkut minuman keras (jenever) untuk para marsose di medan perang. Mereka juga mengangkut berkaleng-kaleng minyak tanah untuk pasukan di bivak-bivak. Barang bawaan itu sangat memberatkan pekerja paksa. Dengan mendaki gunung dan menuruni lembah, mereka memikul beban berat itu. Di punggung mereka barang-barang tersebut diikatkan.
Namun para pekerja paksa yang licik dengan segala cara membuat agar barang yang dibawanya itu berkurang sedikit demi sedikit. Kaleng-kaleng minyak dibuatnya menjadi bocor dengan cara menumbukkan benda keras dan tajam, sehingga sedikit demi sedikit minyak itu tumpah. Begitu juga dengan minuman keras, poci-poci jenever dibuat berkurang isinya sedikit demi sedikit. Sementara tenda-tenda perkemahan yang mereka angkut, yang merupakan barang bawaan yang paling dibenci para beer karena besar dan berat, sering dihanyutkan saat menyebrang sungai.
Untuk menghadapi kelicikan pekerja paksa itulah Letnan Jeane membuat peraturan mengangkat mandor untuk mengawasi para pekerja paksa. Kepada mandor diberi tanggungjawab menjaga agar barang bawaan tak berkurang satu pun. Setelah berjalan beberapa hari, pasukan Jenae yang mengawasi 400 pekerja paksa itu tiba Brawang Tingkeum, suatu daerah yang dianggap angker waktu itu. Di sana mereka harus menyebrangi sungai Wih Ni Oreng. Dan dari seberang sungai mereka ditembaki oleh para pejuang Aceh.
Para pekerja paksa yang terjebak dalam sungai saling berpegangan agar tidak hanyut. Sementara 40 tentara yang mengawasi pekerja paksa itu membalas tembakan pejuang Aceh. Namun peluru pejuang Aceh dari atas tebing lebih cepat menerpa tubuh tentara Belanda itu. Lusinan tentara Belanda tewas dan hanyut dalam sungai itu. Sementara para pekerja paksa yang membawa barang yang berada paling belakang tidak mendapat pengamanan. Sekitar 20 pejuang Aceh dari Gayo keluar menyerang dari semak-semak dan merampas barang bawaan pekerja paksa itu, setelah menebas lehernya dengan kelewang. Letnan Jeane benar-benar panik dan prustasi. Ia selamat karena berlindung di punggung empat anak buahnya.
***
Usai bercerita tentang pekerja paksa itu, aku mengajak Keumalahayati dan Akmal ke rumahku di sudut kota Banda Aceh. Mobil terus merangkak di jalan kampung. Pada belokan kedua di depan kampus swasta milik pengusaha Aceh di Jakarta, Keumalahayati kembali menagih cerita lanjutan tentang pekerja paksa itu. Terlihat raut wajahnya menyimpan penasaran yang dalam. Sementara Akmal mulai akrab dengan Kasem, cucuku yang meminjamkan mobilnya untuk menjemput Keumalahayati. Sambil menyetir ia berbicara dengan Akmal.
Setiap jengkal tanah Aceh memang penuh dengan sejarah. Aku pun rela menghabiskan waktuku untuk mempelajari satu persatu kepingan sejarah itu. Dan tentu akan suka rela pula menceritakannya pada siapapun. Seperti cerita pekerja paksa itu yang memberikan kisah penuh warga di balik perang Aceh dengan Belanda. Dan kini kumelanjutkan ceritaku itu pada Keumalahayati.
Aku mengutip sebuah cerita tentang pekerja paksa bernama Kimun yang tempramen. Ceritanya kutemukan dalam catatan Zentgraaff. Ia mengisahkan, Kimun dibawa ke Aceh pada tahun 1896 sebagai pekerja paksa. Ia harus menjalani hukumannya di Aceh selama 20 tahun. Kimun berada di Aceh pada masa pengkhianatan Teuku Umar yang pura-pura membelot pada Belanda, kemudian melarikan puluhan pucuk senjata untuk kembali memerangi Belanda. Kisah Teuku Umar ini dikenal sampai sekarang sebagai taktik tipu Aceh yang terkenal sepanjang masa. Sebuah penipuan yang memberikan tamparan keras bagi Belanda.
Hukuman sebagai pekerja paksa di Aceh selama 20 tahun sangatlah lama bagi Kimun. Karena itu ia menawarkan diri untuk menembus daerah kepungan pasukan Aceh. Ia bersedia mengantarkan surat kepada pasukan Belanda di daerah lain. Tujuannya hanya satu, ingin memperoleh pengurangan hukuman atau bisa jadi dibebaskan bila berhasil. Ia sangat ingin segera pulang ke Jawa.
Namun ia ditangkap oleh gerilyawan Teuku Umar. Surat dari tangannya dirampas. Untuk membuktikan pada Belanda bahwa surat itu tidak sampai, Teuku Umar tidak membunuh Kimun tapi mencabik cabik tubuhnya dengan sabetan pedang. Ia kemudian dibuang dalam sungai. Dalam keadaan hampir tak bernyawa lagi, Kimun ditemukan oleh Belanda terapung di pinggir sungai di daerah Lambaro, Aceh Besar. Belanda kemudian merawat dan mengobatinya, meski ia gagal, ia dibebaskan dari hukuman kerja paksa dan diperbolehkan untuk kembali ke Jawa.
Tapi Kimun menolak pembebasannya. Ia sangat dendam dengan orang Aceh setelah apa yang dialaminya itu. Ia tetap tinggal di Aceh dan bekerja sebagai jongos pada Grasfland, seorang opsir Belanda. Ketika tuannya itu meninggal, ia pindah ke rumah opsir lainnya dan bekerja sebagai jongos di Lhokseumawe.
Pada suatu hari ia berjalan-jalan di Keude Cina, membeli sebotol limun di sana. Seorang polisi datang hendak menangkapnya, karena mengira ia pekerja paksa yang lari dari tugas. Kimun kemudian memukul polisi itu dengan botol limun tersebut. Atas perbuatannya itu Kimun dihukum sepuluh tahun. Ia dikirim ke Jambi sebagai pekerja paksa. Di sana ia juga membuat ulah hingga dikirim ke Menado. Tak lama di sana ia dibebaskan dari sisa hukumannya dan dikembalikan ke kampungnya di Surabaya.
Anehnya, ia tidak betah di kampungnya. Ia ingin kembali ke Aceh untuk membalaskan dendamnya. Ia meminta kepada Veltman, opsir Belanda yang akan bertugas di Aceh. Veltman menyanggupinya dan mempekerjanya sebagai jongos masak memasak di Tapaktuan. Tapi karena sifatnya yang terlalu agresif, Kimun tidak lama berada di Tapaktuan. Ia mengalami gangguan mental akibat traumanya dengan orang-orang Aceh.
Ia diambil oleh Hein Meijer seorang Belanda kadet perang di Aceh. Namun di sana Kimun juga membuat masalah hingga Meijer menghukumnya. Kimun tak tahu harus ke mana. Ia nekat meretas pegunungan dari Tapaktuan menuju Sigli. Tak jelas bagaimana nasibnya dalam perjalanan itu.
“Mungkin dia ditangkap orang Aceh dan dibunuh,” kata Keumalahayati.
“Tapi bisa jadi juga dia dimangsa binatang buas dalam hutan,” sambung Akmal.
Aku hanya tersenyum menanggapi keduanya. Karena memang tak ada yang tahu bagaimana nasib Kimun dalam pelariannya dari Tapaktuan ke Sigli itu.
Soal pekerja paksa yang mati dimangsa binatang buas sebagaimana dugaan Akmal itu memang ada kejadiannya. Sekelompok pekerja paksa yang oleh Belanda disebut sebagai si babi lanang itu ada yang mati menengenaskan dalam rimba Aceh. Mayat mereka dibiarkan tergeletak begitu saja di jurang-jurang bebatuan, menjadi santapan binatang buas.
Kadang, para pekerja paksa yang kelaparan dan dahaga mencuri sedikit makanan. Namun mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu dengan diikat di batang kelapa dan dicambuk sampai 25 kali dengan rotan. Peristiwa seperti ini sering dialami oleh pekerja paksa yang membangun rel. Meski ada yang mati dalam cambukan itu, tak juga menyurutkan niat para pekerja paksa lainnya untuk mencuri lagi bila ada kesempatan. Malah ada yang mencuri senjata untuk dijual kepada gerilyawan Aceh.
Saat Belanda menerapkan taktik perang terpusat, para pekerja paksa itu mendapat tugas untuk mengamati rel kereta api yang longgar dan memperbaikinya. Sebuah peritiwa di luar Aceh Besar membuat sekawanan pekerja paksa itu tewas dengan tubuh tercabik-cabik saat memperbaiki bantalan rel. Sekrup yang mereka pakai untuk memperbaiki ganjalan-ganjaan rel menarik seutas kabel yang membuat sebuah bom meledak. Tubuh mereka tercabik-cabik dengan mengenaskan. Sejak peristiwa itu tak ada tentara Belanda yang berani memperbaiki rel. Itu selalu menjadi tugas yang harus dilakukan oleh para pekerja paksa.
Untuk membersihkan bahan peledak di rel trem, setiap malam para pekerja paksa harus menjaga lampu yang terdapat di luar benteng pertahanan. Sering juga mereka mengantarkan surat dari satu pos ke pos lainnya melalui daerah-daerah berbahaya yang dikuasai gerilyawan Aceh.
“Tragis juga nasib mereka ya kek?” tanya Keumalahayati menanggapi ceritaku itu.
“Ya..itu hanya secuil kisah, tapi ada yang lebih menarik tentang pengkhianatan dari orang-orang Aceh sendiri sehingga Belanda bisa masuk ke Aceh, juga tentang pengkhianatan diplomat Aceh di Singapura, kamu harus mengetahui tentang hal itu,” kataku pada Keumalahayati.
Perjalanan pulang itu terasa begitu singkat. Tanpa sadar kami sudah sampai ke rumah. Aku baru mengetahuinya ketika Kasem menghentikan mobil. Kami semua masuk untuk istirahat.
“Suatu saat cerita pengkhianatan itu akan kuceritakan padamu,” janjiku pada Keumalahayati.
Belum ada tanggapan untuk "Surat dari Den Haag (2)"
Post a Comment