Hampir saban hari kita membaca berita korupsi di media massa dengan beragam bahasa orderan. Bahasa yang seakan mengabsahkan bahwa hidup tanpa korupsi itu ketinggalan zaman.
Nurani seorang Philip Nemo dalam tulisannya “Les Intelektualies, Le Pourvior et La Societe” di harian Paris le Mode, 26-27 April 1979, tergugah untuk menulis hal tersebut. Katanya, kita adalah orang-orang yang mengerjakan suatu bahasa yang jelas, akan tetapi bahasa yang masih dangkal, terhalang untuk mencapai tahap guna menjadi apa yang kita butuhkan.
Menurutnya, korupsi bukanlah suatu kebutuhan, melainkan sebuah pengaruh yang menyerang jiwa-jiwa yang bimbang terhadap dirinya sendiri. Mungkin juga bimbang untuk berkata tidak pada korupsi.
Di tempat lain, empat pengarang Rusia harus mempertanggungjawabkan bahasa kritisnya, akibat gencarnya menggugar budaya korupsi dan gaya pemerintahan yang diktator. Mereka harus merelakan badannya terkurung dalam terali besi, tapi tidak untuk ide-idenya yang kritis, yang mampu menggemparkan Moscow dan dunia sekalipun.
Mereka adalah Yuri Galaskov, Vera Lashkova, Aleksander Ginzberg, dan Aleksis Dobrovolsky. Saat ditahan pada Januari 1968, tulisan-tulisan bawah tanah mereka tak dapat dibendung dan malah menggemparkan dunia. Adalah Ginzberg yang secara rahasia mampu mengirim naskah-naskah mereka ke luar negeri. Dia berkata, “Mati untuk tanah air adalah kewajiban seorang patriot, tapi tidak untuk berdusta untuk negeri kita sendiri.”
Sementara diawal September 1967, seorang penulis lainnya, Vladimir Bukovsky, diadili karena memprotes hukuman yang dijatuhkan pengadilan terhadap keempat penulis tadi. Dalam pledoinya di pengadilan, ia berkata. “Kemerdekaan menyatakan pikiran dan kemerdekaan pers adalah pertama sekali kemerdekaan untuk mengkritik, tidak pernah ada orang yang melarang memuji pemerintah.” (Mochtar Lubis, September 1968)
Bahasa korupsi, suap, sogok, dan turunannya adalah bahasa kemunduran sebuah peradaban. Meski secara kasat mata dan material, mata kita seakan silau dengan gemerlap pembangunan. Akan tetapi sebuah citra utama yang sangat gawat, penuh kudis, dan borok, tersembunyi di balik gemerlapnya pembangunan mega proyek tersebut. hal itu tidak lain adalah korupsi yang semakin membengkak saja.
Hampir saban hari kita membaca surat kabar yang memberitakan soal korupsi, karena masih saja ada jurang yang terjal antara kata dan perbuatan para pemimpin kita. Jadilah kita hidup dalam lingkungan yang demikain tanpa protes yang berarti, karena setiap protes juga orderan. Apalagi memberontak terhadap budaya tersebut, kita belum berani.
Mungkin kita masih takut bernasib sama seperti empat penulis Rusia yang saya sebutkan tadi, atau mungkin ada yang mau tapi tidak sepenuh hati. Sudah menjadi rahasia umum, apa pun protes yang terjadi tidak lekang dari aroma gugat dulu tarik setoran kemudian.
Kalau lingkungan masyarakat kita masih brengsek, kita pun ikut menjadi brengsek. Kalau nilai yang berlaku adalah korupsi, kita pun mau saja menjadi koruptor yang lebih besar. Kalau dusta dan munafik merupakan gaya hidup yang dapat memberikan keselamatan, kita pun mau saja menjadi munafik yang lebih besar. Jangan berkata tidak, karena aulia tidak bersemanyam di jiwa kita, apalagi bertindah patuh seperti malaikat. Pun demikian, mari kita berusaha untuk tetap berkata tidak pada korupsi, sekecil apapun.
Soal korupsi, perkataan Ali Syari’ati, seorang pemikir Islam terkemuka abad ke 20, kini seakan menemukan ruhnya di Aceh. Katanya, “Renaisance adalah abad cemerlang yang melahirkan gerakan nasional, revolusi, ideology-ideologi besar seperti demokrasi dan humanisme. Sedangkan abad setelahnya adalah abad dekadensi yang ditandai dengan munculnya satu golongan yang gila kekuasaan, yang diperbudak oleh nafsu dan materi.”
Secara teoritis memang tidak ada peradaban yang mundur. Buktinya teknologi semakin canggih saja. Tapi secara hakiki, kita telah surut. Banyak diantara kita yang larut dalam kelana mencari jabatan semu. Dan pencarian itu membuat kita semakin nyata saja menjadi budak nafsu. Materi seakan menjadi “surga” yang menyilaukan mata kita, dengan meninggalkan surga yang sebenarnya.
Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Toynbee, filosof kontemporer dalam sejarah. Ia bilang, peradaban manusia sekarang telah sampai pada tahap kesempurnaan yang paling tinggi. Artinya, hanya manusia sekaranglah yang mengetahui bahwa dirinya berada dalam kemunduran.
Sogok menyogok dan suap, salah satu cabang korupsi. Boleh jadi Ratu Balqis dari Negeri Saba merupakan pelopornya. Ratu tersebut pernah berusaha menyogok Nabi Sulaiman alaihisalam, karena sang nabi bermaksud “menghajar” ratu itu yang masih berlaku tolol menyembah matahari.
Nah, supaya Nabi Suliaman luluh hatinya, Ratu Balqis puluhan laki-laki dan perempuan membawa upeti emas permata sebagai sogokan, agar Nabi Sulaiman tidak melaksanakan maksudnya, menyebarkan agama Allah. Tentu saja sang nabi tidak mampan dengan sogokan itu.
Pengadilan Pennsylvania pun punya cerita tersendiri soal sogokan. R Budd Dwyer seorang bendahaeawan di negara bagian Amerika serikat itu, dengan tenang mengulum pucuk pistol dan menarik pelatuknya, sehingga kerongkongan dan tulang kepalanya pecah.
Aksi itu dilakukan Dwyer di muka hakim yang menyidangkanya. “Atraksi” bunuh diri itu dilakukan setelah ia dituduh menerima dan makan uang sogokan sebanyak 300.000 dolar. Apa yang dilakukan Dwyer itu berbeda sangat dengan apa yang terjadi di Aceh sekarang.
Sebut saja apa yang menimpa seorang pejabat di Dinas X di Aceh. Sebut saja namanya tuan Hananan, yang telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh, karena menyelewengkan dana publik puluhan juta.
Anehnya, saat hakim mengetuk palu vonis dua tahun penjara, tuan Hananan tidak panik, apalagi kalang kabut. Ia malah duduk tenang di kursi terdakwa menyimak putusan itu. Ia tidak meronggoh pistol di pinggangnya atau di mana saja. Apalagi mengulum pucuk dan menarik pelatuknya sebagaimana dilakukan Dwyer.
Meski telah divonis dua tahun penjara, hakim juga masih bersikap longgar dengan tidak memerintahkan penahanan. Makanya Tuan Hananan pun bebas berkeliaran di luar. Vonis hakim itu pun layu tak bermakna. Malah sebagai pejabat negara ia tetap beraktivitas seperti biasa, mungkin juga korupsi sebagaimana biasanya. Kalau saja R Budd Dwyer hadir saat pembacaan vonis di PN Banda Aceh itu, dia akan terbengong-bengong. Boleh jadi akan jatuh pingsan.
Setelah vonis dijatuhkan, Tuan Hananan keluar dari ruang sidang utama dengan senyum khasnya dan siap untuk berpose di hadapan wartawan. Esoknya senyum itu terpampang di surat kabar. Loper koran berteriak, “Tuan Hananan pemakan uang rakyat sudah dihukum.” Ia tidak tahu hukum itu telah mandul akibat vonis hakim yang tidak memerintahkan penahananan. Dua tahun penjara hanya diatas kertas. Mungkin juga majelis hakim sudah terima angpau ya?
Beberapa orang di Simpang Jambo Tape, Banda Aceh pun, merogok koceknya, membeli koran itu. Seorang kawan aktivis anti korupsi, turut membelinya. Belum satu alinia ia baca koran lokal itu, ia berkata “busyet” yang lain malah menyulut wajah tersenyum itu dengan putung rokok, tepat di kedua matanya.
Pada kesempatan lain, seorang pejabat teras di Kabupaten Aceh Besar, dengan polos mengaku telah tertipu oleh seorang penelpon gelap, yang mengaku sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh yang meminta ditransver sejumlah uang.
Pejabat itu pun, rela mengeluarkan uang rakyat untuk sipenelpon yang mengaku orang penting itu. bodohnya lagi, itu dilakukan bukan sekali, tapi sampai empat kali. Pejabat teras di Aceh Besar itu kemudian sadar kalau ia sudah tertipu. Tapi nasi sudah jadi bubur, ia kemudian didepak dari jabatannya.
Nah, dari dua kasus tadi, siapa yang sukse “mengeroyok” uang rakyat? Jauh sebelumnya, Mohere alias Jean Baptiste Poquelin dalam karyanya Le Misanthrope (1666) pernah juga bertanya, “Siapakah yang lebih benar antara seorang intelektual yang jujur, tapi tidak mencapai tujuannya (Aleste) dan seorang politikus yang tidak jujur, tapi mencapai sukses dalam usahanya (phillinte)?”
Heryus Suprapto, seorang penyiar di Radio Arif Rahman Hakim, pada tahun 1977, mengambarkan keadaan yang demikian sebagai sebuah kamuflase kebodohan. Dalam puisinya ia menulis: Sekarang dengarlah ceritaku. Zaman ini selembar diploma (ijazah-red) bukan berarti kursi kerja. Sebab, polusi sistim famili serta koneksi telah menyelimuti tubuhnya. Zaman ini selembar diploma tidak hanya milik cendikia, sebab uang pelican adalah kamuplase kebodohan.
Dimanakah posisi kita kini? Andai saja Dwyer lahir di sini, dia mungkin akan mengajarkan pada kita cara mengulum pucuk pistol dan menarik pelatuknya, untuk menghilangkan rasa malu dan pedih akibat disebut sebagai koruptor.[]
Belum ada tanggapan untuk "Dwyer dan Korupsi"
Post a Comment