Setiap kita akan selalu berusaha keras untuk memperoleh kesejahteraan dalam hidup. Namun tingkah kita kadang-kala sering menolak kesejahteraan tersebut. Ini lakon yang sering terjadi hampir di setiap sudut kota, di warung-warung, kantor, terminal dan di trotoar.
Suatu ketika seorang kawan berkata, tanpa sadar kita sebenarnya telah menolak kesejahteraan, padahal setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan sepanjang masa, kita rela berpeluh untuk mendapatkan imbalan dari setiap usaha untuk mencapai tingkat sejahtera dalam hidup.
Ketika sedang berbicara tentang kesejahteraan itu di warung kopi, seorang kakek dengan kantong plastik di tangannya menghampiri meja kami sambil mengucapkan salam. Dan mulai dari sinilah contoh nyata terhadap tabiat menolak sejahtera yang diungkapkan kawan itu, yang kemudian dijelaskan secara sempurna oleh sang kakek.
Ketika kakek itu datang dengan salamnya, kami bukannya menjawab salam itu, kami malah serentak berkata. “Meuah teungku beh,” Permintaan maaf yang bermakna bahwa tak ada koin atau lembaran uang sedekah untuk kakek peminta-minta itu.
Namun yang datang kali ini, bukanlah sembarangan peminta-minta. Ia marah besar, itu tampak dari raut wajahnya yang seketika berubah. Setelah itu khutbah singkat pun terjadi. Kakek itu berkata, tak perlu meminta maaf bila memang tak ada sedekah untuknya.
Dalam khutbah warung kopi itu, sambil berdiri di sisi meja kami ia menjelaskan, salam yang disampaikan setiap orang, termasuk salam yang diucapkan dirinya tadi ketika menyapa kami, merupakan sebuah doa kesejahteraan untuk yang diberikan salam (kami). Jadi ketika kami meminta maaf, berarti kami menolak doa kesejahteraan yang diucakapnya.
Meski maaf yang kami maksud adalah jawaban bahwa tidak ada sedekah. Itu tetap sebagai penolakan terhadap salam sejahteraanya. Seharusnya menjawab salam dulu, baru kemudian meminta maaf sebagai bentuk penolakan halus terhadap peminta-minta.
Mendengar itu kami tercengang. Kata kakek itu ada benarnya. Memang selama ini kita melihat, hampir di setiap warung kopi, kantor, trotoar, terminal dan simpang lampu merah, kita selalu mengabaikan salam yang diucapkan para peminta-minta. Malah sebelum salam yang diucapkannya selesai, kita lebih dulu memotongnya dengan kata “Maaf” yang bermakna menolak doa sejahtera yang disampaikannya.
Kakek itu kemudian melanjutkan khutbah singkatnya, sementara kami hanya diam menyimaknya dalam serius bercampur rasa tak enak telah berlaku demikian kepada si kakek. Ia berkata bahwa dalam agama dijelaskan salah satu doa yang paling cepat didengar oleh Tuhan itu doa kaum lemah dan teraniaya.
Ia mengaku dirinya sebagai orang lemah dan teraniaya akibat konflik panjang di negeri ini beberapa tahun lalu, hingga ia menjadi peminta-minta. Seorang kawan entah serius atau hanya bercanda memotong ucapan kakek itu. “Berarti salam yang kakek ucapkan untuk kami, cepat diterima Tuhan dan kami rugi tidak menjawabnya tadi.”
Kakek itu semakin tersinggung. Inilah lakon anak muda zaman sekarang yang tak lagi menghargai orang tua. Melihat gelagat yang tidak baik itu, kawan lainnya kemudian merogoh kantongnya dan memasukkan uang limaribuan ke kantong kresek (plastik) di tangan kakek itu.
Kakek itu menatap sesaat, ia berkata tak menerima sedekah yang tidak ihklas. Namun kawan itu lebih arif berujar menjawab kakek itu dengan santun. “Itu untuk pelajaran dari wejangan kakek hari ini terhadap kami,” katanya.
Lelaki tua itu terangguk-angguk melihat uang limaribu. Ia tersenyum ke arah kami. Lalu menengadahkan tangannya berdoa. Entah berapa bait doa yang ia ucapkan, wajahnya terlihat begitu serius. Namun di antara bait-bait doa itu, ada doa keselamatan dunia akhirat, dimudahkan rezeki,dan entah apa lagi. Tak ada doa yang tidak bagus, semua doa yang dipanjatkan bagus. Dan dalam khazanah doa-doa pun tak ada doa yang tidak bagus. Yang tidak bagus itu bukan doa namanya, tapi upat cela dan caci maki.
Kali ini kami benar-benar mengamini doanya, agar kami tak lagi menjadi orang yang menolak sejahtera. Namun diakhir doa itu, kawan saya kembali berulah dan ini benar-benar membuat kakek peminta-minta itu tersinggung. Ia berujar agar kakek itu tidak hanya mendoakan kami saja, tapi juga mendoakan dirinya agar hidupnya sejahtera dan tak lagi menjadi peminta-minta. Entahlah, semoga saja kita tak lagi menjadi golongan yang menolak sejahtera.[]
Belum ada tanggapan untuk "Menolak Sejahtera"
Post a Comment