Jika kamu melihat sebagian laci di kantor pemerintah tertarik keluar, itu berarti mereka mengharap sedikit imbalan dari urusanmu dengan mereka.
Kalimat tadi merupakan pesan yang pernah Nyak Kaoey terima dari seorang pejabat yang tak pernah memiliki laci di meja kerjanya. Meski para pejabat di lingkungan pemerintahah itu sudah digaji oleh negara, mereka tak segan-segan meminta imbalan dari apa yang mereka kerjakan pada warga yang dilayaninya.
Kalau dulu mereka hanya sekadar menarik laci sebagai bahasa isyarat permintaan imbalan itu, kini malah memintanya secara terang-terangan dengan kedok uang administrasi. Ironisnya ketika ditanya berapa biaya administrasi itu, mereka menjawab seihklasnya. Ini pasti ada yang tidak beres.
Kalau memang sebuah instansi menetapkan biaya administrasi terhadap suatu urusan yang berhubungan dengan publik, mengapa tidak ditempelkan di pintu kantor itu atau di papan informasi bahwa sertiap urusan ada biaya administrasi masing-masing. Cantumkan dengan jelas kriteria biaya administrasi itu.
Kebanyakan pula kita lihat, biaya administrasi yang seihklasnya itu bukan masuk ke laci, apalagi kas kantor, tapi ke saku pegawai yang bersangkutan. Pelayanan terhadap masyarakat berubah menjadi pemerasan secara halus. Saya yakin, hanya sedikit orang yang ihklas “membayar” biaya administrasi yang katanya seihklasnya itu.
Kebiasaan menarik biaya administrasi dengan kedok seihklasnya di instansi pemerintah ini sudah berlangsung lama. Sudah saatnya kepala kantor atau instansi yang bersangkutan menertibkannya. Ini lebih banyak terjadi di kantor atau lembaga yang berhubungan langsung dengan urusan administrasi masyarakat banyak.
Kita harus banyak belajar ke sebuah negeri yang katanya miskin; Banglades. Di negeri itu. Grameen Bank sebuah bank ternama yang tersohor ke seantero dunia karena pendirinya mendapatkan hadiah nobel; Muhammad Yunus, memberlakukan aturan tidak boleh ada laci di meja kerja.
Itu dilakukan bukan karena pegawai bank tersebut suka menarik biaya administrasi seihklasnya seperti yang terjadi di tempat kita. Tapi lebih karena menerapkan disiplin dan ketekunan kerja. Alasannya, menurut General Manger bank itu, Muhammad Shahjahan, bila ada laci di meja kerja, bisa membuat pegawai memasukkan dokumen kerja mereka dalam laci itu. Dan itu berarti bisa menunda pekerjaan, malah membuat pegawai yang bersangkutan lupa terhadap dokumen yang disimpannya itu. Padahal dokumen itu harus segera dikerjakan. Alasan yang sangat sederhana dan logis.
Bandingkan dengan apa yang terjadi di tempat kita. Bukan hanya dokumen yang dimasukkan dalam laci, tapi juga “imbalan” tambahan yang ditarik dari masyarakat yang berurusan dengan mereka. Imbalan dari biaya administrasi yang seihklahsnya, yang sejatinya tak pernah ihklas diberikan kepada mereka.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Bahasa Laci di Kantor Pemerintah"
Post a Comment