Mana yang lebih mudah, memberi maaf atau memintanya? Nyak Kaoey tak mendebatkan hal itu diranah ini. Tapi intinya saja, bahwa meski telah memberi atau meminta maaf, efek dari perbuatan yang memunculkan memberi dan meminta maaf itu tak hilang.
Kemarin Nyak Kaoey baca bukunya John Kador, Effective Apology: Merajut Hubungan, Memulihkan Kepercayaan. Katanya, permintan maaf adalah perbuatan yang mengulurkan diri kita kepada orang lain karena kita mementingkan hubungan baik ketimbang kebutuhan untuk menjadi benar tanpa noda. Permintaan maaf mensyaratkan kerendahan hati dan kepasrahan jiwa dari orang bersangkutan.
Karena itu pula, meminta maaf bukan berarti berpikir rendah akan diri kita sendiri, membiarkan kita diinjak-injak, dicemooh, ataupun memposisikan diri kita lebih hina dari orang lain, tapi lebih dari itu, targetnya adalah memikirkan keberlanjutan kemaslahatan antara kita dan orang lain. Permintaan maaf harus dilakukan secara tulus dan ikhlas yang bersumber dari hati nurani yang paling dalam, bukan paksaan atas pertimbangan untung dan rugi.
Tapi bukan sebatas itu saja. Pada kesempatan lain, Nyak Kaoey temukan lagi catatan lama entah pada kutipan yang keberapa sudah orang menulisnya, yakni tentang tamsilan maaf yang sangat dahsyat. Maaf ditamsilkan pada paku dan pagar. Setiap berbuat salah, seorang anak diminta untuk memaku satu pagar. Hari pertama ada belasan pagar yang dia paku. Sesuai jumlah kesalahannya.
Dihukum seperti itu capek. Ia pun menahan diri. Dari hari ke hari jumlah pagar yang dipaku terus berkurang. Sampai kemudian ia tak memaku satu pagar pun, karena tak berbuat salah.
Hari hari selanjutnya, ia diajari untuk menahan diri bila ada masalah. Setiap ia berhasil, satu paku dicabutnya. Ia menemukan nikmatnya menahan diri yang membuatnya terbebas dari persoalan. Semua paku yang pernah dipakunya habis dicabut. Ia benar-benar mampu bersabar.
Tapi, meski ia telah berlaku baik, pagar itu berlobang karena bekas paku yang ditancam dan dicabutnya. Pagar tidak akan bisa seperti semula. Bekasnya akan tetap ada. Ternyata, dari tamsilan itu, Nyak Kaoey dapat pelajaran penting. Menahan diri lebih bagus ketimbang melakukan suatu tindakan yang kemudian menuntut kita untuk meminta maaf atasnya.
Jadi antara paku, pagar, dan bekasnya. Dimanakah kita sudah berada. Sudah menancap pakukah sebagai makna berbuat sesuatu yang melukai orang lain, atau sudah mencabut paku sebagai keberhasilan menahan diri atas suatu tindakan bodoh yang merugi? Kalau bisa, Nyak Kaoey ingin tidak berada diantara duanya.
Biarlah tidak menancap dan mencabut paku, menahan diri itu ternyata lebih bagus, karena tak akan meninggalkan bekas luka. Sebuah pelajaran yang sangat bagus dari tamsilan yang sarat makna. Berdiam dalam sabar lebih indah dari pada tindakan memunculkan luka. Ini yang dalam agama manapun disebut sebagai nikmatnya sabar.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Hanya Maaf"
Post a Comment