Sambil minum segelas kopi, kemarin pagi saya disapa dengan berita Ujian Akhir Nasional (UAN). Spontan bibir saja menarik sesunging senyum, meski ada kadar sinis di dalamnya. Kawan di samping saya berseloroh, “Itu sangat politis, apalagi menjelang pilkada,” katanya ketika melihat seorang bupati memantau jalankan UAN.
Ingin saya berdebat, tapi saya urungkan, apa lagi saya berada di warung kopi. Dan pagi itu banyak pekerjaan yang mesti saya selesaikan. Dengan nada sinis pula, kawan saya yang satu lagi berujar. “Tunggu saja berita minggu depan. Ramai-ramai orang akan menghujat, karena banyak siswa yang tidak lulus.”
Sampai saya masuk kerja. Saya coba renungi perkiraan kawan tadi. Mungkin ada yang salah dengan sistim pendidikan kita. Metode pendidikan konvensional memang bukan zamannya lagi. Karena tidak akan mampu mengembangkan potensi siswa.
Saya langsung terbayang bagaimana bosannya di dalam kelas berjam-jam ketika masih duduk di bangku SMU. Apalagi ketika pelajaran eksata. Saya mengangap sekolah itu membosankan. Dan seketika itu pula motivasi belajar saya hilang sama-sekali. Akhirnya, saya ambil langkah loncat pagar alias cabut.
Ironisnya lagi. Tak ada sanksi atau arahan dari sekolah yang bisa membuat saya jera. Paling diakhir semester, seorang guru di Binpen akan menghitung berapa banyak C sebagai kode cabut dalam absen atas nama saya. Sebanyak itu pula saya harus membawa botol limun sebagai hukuman.
Kawan-kawan saya bingung, meski kerap loncat pagar, setiap semester saya selalu masuk dalam peringkat lima besar. Wali kelas saya pun geleng-geleng kepala. Ia pun bertanya, “Apa yang mesti kami lakukan agar tabiat jelekmu itu tidak terulang?”
Saya tidak tahu harus menjawab apa. Pertanyaan itu pun terus terngiang sampai saya kuliah. Mengapa saya dan kawan-kawan tidak betah di kelas?. Akhirnya ketika saya bolak-balik buku. Saya “bertemu” dengan Rabindranath Tagore. Ia bilang sekolah itu adalah siksaan yang tak tertahankan.
Saya pun langsung teringat ketika kelas dua SLTP. Bersama lima kawan, saya sangat merasa tersiksa ketika enam batang rokok yang menyala tersumpal di mulut kami. Kami harus menghisapnya tanpa boleh memegang. Itu adalah dera karena kami kedapatan menghisap rokok di WC sudut sekolah. Lagi-lagi itu kami lakukan karena suntuk didalam kelas.
Ternyata kejenuhan dan rasa suntuk membuat saya dan kawan-kawan nekat melabarak sebuah aturan. Jam pelajaran yang melimpah merupakan salah satu alasan membuat kami jenuh.
UNESCO telah mensyaratkan 800 sampai 900 jam pelajaran pertahun untuk Sekolah Dasar. SLTP dan SMU sedikit lagi di atasnya. Sementara di Indonesia, menurut UNESCO berlaku 1.400 jam per tahun. Hal ini tentu membuat murid/siswa menjadi lumanyan jenuh. Apalagi ketika pendidikan hanya monoton di dalam kelas.
Karena rasa jenuh itu pula, Menko Infokom, Sofyan Jalil, menyetujui saja anaknya keluar dari sekolah ketika kelas satu SMU. Istrinya pun, Ratna Megawangi tak tega melihat anaknya stress akhibat sistim pendidikan konvensional. Ia lebih memilih mendidik anaknya melalui guru privat yang didatangkan ke rumahnya.
Melalui belajar lesehan di ruang tamu, sambil golek-golek di karpet. Anaknya yang dulu terbata-bata, kini bisa fasih berbahasa Inggris. Begitu juga dengan berbagai pelajaran lainnya, padahal sang guru yang dihadirkan pun tak jauh beda mutunya dengan guru di sekolah. Ternyata rasa santai mampu membuat seorang anak menguasi pelajaran dengan cepat. Nah, baru saya tahu ternyata rasa tidak santai di kelaslah yang dulunya membuat saya dan teman-teman nekat loncat pagar.
Soal Sang Guru, lagi-lagi saya teringat pada Rabindranath Tagore. Untuk membangun sebuah pendidikan yang baik, orang India pertama yang meraih nobel kesusastraan pada tahun 1913, dari karya liriknya Gitanyali. Tidaklah mengikuti pendidikan yang formal-formal amat.
Untuk pendidikan, Sang Guru tersebut, mendirikan lembaga pendidikan alternatif Shantiniketan (tempat yang damai). Tak ada pendidikan yang mengekang disitu. Apalagi berdiri dengan satu kaki di depan kelas karena dinilai bengal. Yang ada hanyalah keceriaan dan dan rasa adem dalam keseriusan belajar. Di lembaga pendidikan yang didirikan oleh Tagore itu, penyair pujangga baru Indonesia, Sanusi Pane pernah mengecap pendidikan.
Dari lembaga pendidikan ini pula kemudian lahir seorang Amartya Sen, peraih nobel bidang ilmu ekonomi pada tahun 1998 lalu. Sent adalah orang kedua dari Shantiniketan setelah Tagore, serta orang India ke enam dan orang Asia pertama yang memenangkan hadiah nobel bidang Ekonomi.
Sebagai seorang Sang Guru, Tagore selalu berujar, I cannot choose the best, the best choosen me. Rasa percaya diri yang begitu kuat muncul dalam pernyataan tersebut, yang kemudian memacu semangatnya dalam berkarya, sampai akhirnya menjadi salah seorang sastrawan terbesar dalam sejarah. Tehadap kesuksesanya sebagai seorang sastrawan, dalam sebuah puisinya Tagore berkata, “Aku mencari apa yang bisa kudapat. Aku mendapat apa yang tak kucari.“
Model pendidikan yang ditawarkan Tagore, Sang Guru itu, kemudian diikuti di Indonesia, seperti Gontor contohnya. Di Aceh sendiri, pada tahun 1990-an. Ibrahim Hasan selaku Gubernur Daerah istimewa Aceh, mendirikan sekolah unggul Modal Bangsa. Generasi pertama sekolah itu memang lumanyan bagus. Karena hanya siswa-siswa terpilih dari setiap kabupaten yang bisa mendapatkan pendidikan yang kala itu tergolong eklusif.
Namun ketika otonomi daerah berlaku. Pengelolaan SMU Modal Bangsa dilimpahkan kepada Pemkab Aceh Besar. Maka sejak itulah Modal Bangsa meredup. Bila dulunya guru-guru pilihan yang mengajar di SMU unggul itu dibayar oleh tingkat satu. Sejak itu menjadi tanggungan Pemkab Aceh Besar. Dengan modal alakadar, akhirnya Modal Bangsa kini hanya mampu menghasilkan kualitas yang ala kadar pula.
Kita tampaknya harus banyak belajar ke Shantiniketan, miliknya sang guru Rabindranath Tagore, yang telah melahirkan pemikir-pemikir besar. Semoga saja prediksi kawan saya untuk berita minggu depan tidak benar. Karena bukan upat cela yang kita butuhkan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Atau memang ada yang salah dengan sistim UAN?***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Uan"
Post a Comment