Antonio Gramsci, intelektual muda Italia dalam bukunya “Gramsic’s Prison Notebooks” mengatakan bahwa pada dasarnya semua orang punya potensi untuk menjadi intelektual. Tapi tidak semua orang adalah intelektual dalam fungsi sosial.
Karena pemikiran-pemikirannya yang intrelek itu pula, pada tahun 1926, aparat Fasis Italia, memenjarakanya selama 20 tahun, dengan maksud menghentikan pemikirannya supaya tidak bisa bekerja lagi. Tapi sebaliknya, dalam penjara Gramsci malah mampu menyumbang teori Maxim, yang kemudian menjadi landasan bagi sebuah demokrasi dari apa yang telah dipraktekkan di Unisoviet.
Kini, apa yang ditulis Gramsci 88 tahun lalu itu, sekana menemukan ruhnya di negeri kita. Sebut saja soal intelektualitas yang ditempatkan tidak pada tempatnya. Kenyataan terbaru, intelektualitas seorang Dr Azahari, yang piawai merakit bom berdaya ledak tinggi, telah mamakan ratusan korban.
Masih tengiang dalam ingatan kita ledakan dahsyat yang-dituding-dilakukan oleh kelompok Azahari, diantaranya, bom Imam Bonjol pada 1 Agustus 2000, Bom bali, 12 Oktober 2002, kemudian Bom Marriot, 5 Agustus 2003. terakhir bom Kuningan (Kedubes Australia) 9 September 2004.
Semua kejadian tersebut jauh dan sangat jauh dari hal-hal yang bersifat sosial. Kita pun hanya mampu mengkambinghitamkan kata “terorisme” tanpa mampu menyelesaikannya. Kejadian-kejadian tadi, telah menempatkan intelektualitas seorang Azahari sebagai bencana.
Jauh sebelumnya, hal itu sidah dirasakan oleh seorang intelek bernama Kalashnikov, yang terkenal setelah menciptakan senjata Automat Kalasnikov (AK). Konon dibelakang panggung setelah ia menerima penghargaan atas hasil ciptanya itu, ia menangis. Takut senjata ciptaannya tersebut menjadi bencana bagi umat manusia.
Ketakutan Kalashnikov itu pun kemudian terbukti, hampir semua pemberontakan di dunia menggunakan senjata itu dalam berperang. Tak terkecuali dalam pemberontakan Aceh terhadap Jakarta. Ada senjata AK 47 ada juga AK 56.
Albert Einsten pun pernah melakukan hal yang sama dengan Kalashnikov, setelah berhasil menemukan bom atom. Ia tidak bisa membayangkan ketika hasil riset dan pemikirannya di laboratorium itu, menjadi bencana yang sangat menakutkan bagi kelangsungan hidup manusia.
Hiroshima dan Nagasaki menjadi bukti sejarah kelam Jepang yang tak bisa terlupakan sampai sekarang, setelah pada Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan dua bom atom buah karya Einsten tersebut. ribuan tubuh pun menggelapr ditingalkan nyawa waktu itu.
Einsten sediri dalam bukunya “Out My later Year” mengakui hal itu. Ia menulis, “Dengan pengalaman yang pahit kita ketahui bahwa pikiran rasional saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah hidup sosial kita. Penyelidikan yang mendalam dan pekerjaan ilmiah yang bersemangat sering kali membawa pelaksanaan yang sedih bagi hidup manusia. Pada satu pihak menghasilkan pendapatan-pendapatan yang memerdekakan manusia dari pekerjaan badaniah yang berat. Tapi sebaliknya, juga akan membawa kegelisahan besar dalam kehidupan, menjadikan manusia sebagai budak dari lingkungan teknologinya. Inilah nyata satu tragedy yang sangat menyedihkan,” tulis Einsten dalam buku tersebut.
Bukan hanya kalangan eksata yang mengkhawatirkan hal itu, para pakar lingkugan pun menyatakan hal yang sama. Edwar O Wilson dari Harvard University mengatakan bahwa, bencana yang paling besar bukanklah kekurangan atau kehabisan energi, keruntuhan ekonomi, perang nuklir, atau akibat dari pemerintahan yang otoriter.
Meski dampak dari hal-hal yang disebutkan tadi sangat mengkhawatirkan dan mengerikan, Wilson berpendapat, akibat dari bencana-bencana tersebut akan dapat diperbaiki dalam waktu beberapa generasi selanjutnya.
Senbagai pakar lingkungan, Wilson mengatakan kalau hilangnya keragaman genetik dan spesies karena habitat alamiahnya hancur. Inilah yang membutuhkan perbaikan berjuta-juta tahun. “Sepertinya anak cucu kita akan sulit memaafkan kita untuk kesalahan yang satu ini,” kata Wilson.
Lalu pakar lingkungan lainnya, Baba Diom dari India menambahkan, “Pada saat bencana itu datang, akhirnya kita hanya akan menyelamatkan apa yang kita cintai. Kita hanya mencintai apa yang kita mengerti, kita hanya mengerti apa yang kita ajarkan.”
Yang sangat menakutkan adalah, ketika bencana-bencana itu datang akibat dari pengkhianatan kaum intelektual. Hal ini sebagaiman ditulis oleh Julien Benda dalam bukunya “La Trabision des Clersc”. Padahal saat itu ia hidup dalam ancaman Nazi Hitler.
Dalam buku itu, pada halaman 63 ia menulis, le clerc loue par des secuiliers est traitre a so function. Orang terpelajar yang disewakan penguasa (rezim) di dunia adalah pengkhianat pada fungsinya. Kemudian pada halaman 222 ia melanjutkan, le clerc n’est pas suelement vaincu, il est assimile, orang terpelajar tidak saja dikalahkan, tapi juga dipungut. (Muhammad Hatta : 1957-Teks pidato pada hari alumni pertaman, Universitas Indonesia)
Kritikus terkenal Rusia, Grigori Pomerants juga menyentil soal pengkhianatan kaum intelektual yang membawa bencana. Dalam suratnya kepada filosof M. A. Liffsjits, ia menulis. “Ambillah satu ide dan injak-injaklah ide yang lain yang bertentangan dengannya. Itu sudah cukup untuk kehancuran budaya kita.” (Holland Maandblad, No 366, 1976, halaman 11-15).
Pengkhianatan kaum intelektual terjadi ketika kaum intelektual dianggap sebagai musuh bagi sebuah rezim. Sejarah mencatat keteguhan N Vavilov, biolog dan genetikus yang dihukum mati karena tidak mau mengikuti gagasan-gagasan Maxis dari filosof Lysenko. Sebelum dieksekusi N Vavilov berkata, “Biarlah harus naik hukuman dibakar api, akan tetapi mengingkari keyakinan kita tidak akan.”
Hal yang sama juga hampir tejadi pada Galilei Galileo. Ia tetap membela kebenaran teorinya, tapi tidak sampai pada eksekusi hukuman mati. Ketika ia dipaksa untuk menginkari keyakinannya sebagai seorang intelektual yang telah melahirkan teori bahwa bumi ini bulat dan bergerak mengelilingi matahari, kontan kalangan gereja kala itu murka. Galileo dituduh murtad, karena dalam pemahaman gereja kala itu, mataharilah yang mengelilingi bumi. Ketika dipaksa untuk mengingkari kebenaran teorinya, dengan diplomatis Galileo berkata, “tapi toh ia bergerak.”
Kondisi seperti itu pula yang membuat sejumlah kaum intelektual meninggalkan negaranya untuk mencari keselamatan. Mengutip apa yang pernah dikatakan Eep Saefulloh Fatah, sebuah negara bisa ditinggalkan oleh banyak warga negaranya karena gagal menyediakan kebebasan, harapan dan kesempatan kepada mereka.
Hal ini pernah terjadi di Myanmar pada tahun 1960-an, ketika junta militer dibawah kepemimpinan Ne Win, merenggut kebebasan, kesempatan dan harapan bagi warga negara itu, yang saat itu masih bernama Burma. Akibatnya, para intelektual dan kaum terpelajar meninggalkan negeri tersebut.
Akankah pengkhianatan kaum intelektual berlanjut? Melihat kondisi kekinian di tanah air, tampaknya dengan berat hati kita harus menjawab “ya”. Tingginya angka penganguran akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap hal tersebut. Lebih-lebih ketika kaum intelektual pun ikut menjadi pengangguran. Sebuah tantangan besar bagi pemerintah mendatang tentunya.***
Beurawe Shoping Centre, Banda Aceh, 4 Oktober 2004
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Pengkhianatan Kaum Intelektual"
Post a Comment