Dewasa ini lembaga anti korupsi semakin marak saja tumbuh di Aceh. Dengan berbagai nama dan embel-embel. Ada figur yang benar-benar konsens dengan pemberantasan korupsi, malah menganggap menerima satu kaos dari pejabat dianggap korupsi. Ada pula yang asal-asalan.
Yang disebut terakhir sering bersuara lantang, angina-anginan. Bak menaikkan layangan, ia tahu kapan megulur tadi dan kapan melepaskannya kembali. Kelompok ini biasanya sering membawa pesanan atau titipan pihak tertentu. Kasarnya, cuap-cuap dulu tarik setoran kemudian. Kelompok seperti ini paham betul pada makna kalimat: tidak ada makan siang yang gratis.
Tapi sudahlah, itu hak setiap orang untuk menentukan sikap. Apalagi banyak bicara tanpa bukti pun nanti bisa dianggap fitnah. Tapi bagi saya, bicara soal korupsi, saya langsung teringat pada Rober Klitgaard, seorang profesor tersohor di The Rand Graduate School.
Ia merupakan konsultan ahli korupsi di 21 negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Berbicara soal korupsi ia sering mengatakan akalu dirinya bukan ahli korupsi, tapi ahli tentang program anti korupsi. Ketika masih menjadi konsultan di Word Bank, doktor ekonomi lulusan Harvard ini pernah ditugaskan di Equatorial Guinea.
Pengalamannya tentang program anti korupsi di negara tersebut dituangkan dalam sebuah buku bertajuk “Tropical Gangster” yang berisikan tentang praktik korupsi yang diamatinya di negara kecil Afrika itu.
Setelah menerbitkan buku-buku itu, ia mulai mengamati praktik-praktik korupsi secara keseluruhan di beberapa negara lainnya. Ia pernah tinggal beberapa lama di Bolivia, kemudian berkelana ke Filipina, Hongkong, Singapura, Korea, dan Ruritania.
Dari pengalamannya di negara-negara tersebut, pada tahun 1988, ia menulis buku tentang pengawasan korupsi, “Controlling Corruption” yang sepuluh tahun kemudian terjemahannya diterbitkan di Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia dengan judul “Membasmi Korupsi”
Untuk membasmi korupsi menurutnya, harus ada seperangkat nilai dan kaidah kejujuran dalam masyarakat. Transparency International, sebuah LSM yang berpudsat di Berli menyebutkannya sebagai system integritas nasional. Tanpa adanya system tersebut, seseorang akan mudah melakukan korupsi tanpa pernah merasa bersalah telah memakan uang rakyat.
Korupsi memang bukan budaya, tapi telah membudaya dalam masyarakat yang rasa jujurnya telah menjadi barang langka. Tak heran bila kemudian dalam lembaga pemerintahan pun lahir yang namanya lembga anti korupsi. Di Indonesia ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Singapura punya Corruption Practices Investigation Bureau, Malaysia juga punya Badan Pencegah Rasuah.
Sementara di Hongkong ada Independent Commission Against Corruption. Kemudian Filipina memiliki Bureau of Internal Revenue, yang melakukan investigasi tentang kecurigaan adanya korupsi di lembaga-lembaga tertentu. Investigas yang dilakukan mereka juga mencakup praktik pencucian uang dan penggelapan pajak.
Pun demikian, sekali lagi. Pencegahan korupsi akan sangat bergantung pada adaanya masyarakat yang jujur. Tapi pertanyaannya sekarang, bagaimana mengembalikan sitim yang telah dibaluti ketidakjujuran menjadi jujjur kembali? Tentu itu bukanlah hal yang mudah, karena selama ini kejujuran sering terasing.
Saya teringat pada sebuah catatan lama milik Mahore alias Jeans Baptise. Dalam karyanya Le Misahantrope (1666) ia menulis dan bertanya, siapakah yang lenih benar antara seorang intelektual yang jujur, tapi tidak mencapai sukses, dengan seorang politisi yang tidak jujur tapi sukses dalam usahanya?
Jawabannya tentu sangat tergantung pada kejujuran dan kemauan untuk jujur dari penjawab itu sendiri. Lalu bagaimana dengan kita yang saban hari hidup dalam lingkungan penuh korupsi? Yang tak pernah bisa apalai ikhlas untuk memerangi korupsi tanpa embel-embel kepentingan tertentu, karena masih saja ada jurang yang sangat terjal antara perkataan dan tindakan.
Selain jujur, pemberantasan korupsi juga akan berhasil bila masyarakt masih punya rasa malu. Pengadilan Pennsylvania pun punya cerita tersendiri. Suatu ketika R Budd Dwyer seorang bendaharawan di negara bagian Amerika serikat itu, dengan tenang mengulum pucuk pistol dan menarik pelatuknya, sehingga kerongkongan dan tulang kepalanya pecah.
Aksi itu dilakukan Dwyer di muka hakim yang menyidangkanya. “Atraksi” bunuh diri itu dilakukan setelah ia dituduh menerima dan makan uang sogokan sebanyak 300.000 dolar. Rasa malu telah membuat Dwiyer dengan tenang mengakhiri hidupnya.
Apa yang dilakukan Dwiyer itu sangat kontras dengan apa yang terjadi di negeri ini, karena rasa malu memang sudah agak mahal. Bagaimana pun, kalau lingkungan hidup kita masih brengsek, kita pun akan ikut menjadi brengsek. Kalau dusta dan munafik merupakan gaya hidup yang dapat memberikan keselamatan, maka dengan senang hati kita pun akan menjadi munafik yang lebih besar.***
Pasar Pagi, Beurawe Shopping Center Banda Aceh, 15 Mei 2006
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Malu Korupsi"
Post a Comment