Saban hari kita membawa berita korupsi di media. Hal yang seolah menegaskan bahwa korupsi tidak akan pernah hilang, hanya bergeser dari satu ranah ke ranah lainnya.
Membicarakan pergeseran tersebut, saya teringat kembali apa yang dikatakan Teten Masduki pada Kamis, 30 November 2006 silam ketika kami berkesempatan berjumpa pada pelatihan jurnalistik di Lembaga Pers Doktor Soetomo (LPDS) di Kebon Sirih, Jakarta.
Tenten yang saat itu masih menjabat sebagai Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) hadir sebagai pemateri. Pada tahun itu saja, Indonesia menurut Teten masih menjadi negera terkorup, meski saat itu belum ada kasus korupsi seheboh yang terjadi sekarang. Melihat kasus korupsi di Indonesia yang semakin semarak saja belakangan ini, boleh jadi apa yang dikatakan Teten tersebut kini semakin parah saja.
Kala itu data dari Transparansi Indonesia (TI) meneyebutkan Indonesia berada pada peringkat ketiga negara terkorup di Asia. Sekali lagi, korupsi di Indonesia tidak akan pernah hilang, hanya bergeser dari satu sektor ke sektor lainnya. Inilah yang menyebabkan Indonesia selalu berada dalam lingkaran setan pemberantasan korupsi yang tak ada ujungnya.
Apalagi ketika persoalah hukum sebagai bagian dari pemberantasan korupsi kemudian digagahi oleh kepentingan politik kekuasaan. Nah, ketika hukum sudah disetubuhi politik, maka keadilan akan pincang, bahkan tak akan memberi makna keadilan yang sesungguhnya, dan karena itu pula, pemberantasan korupsi tidak pernah akan mampu ditumpas sampai ke akar-akarnya. Kasus Gayus Tambunan menajdi contoh terkini, bagaimana pemberi uang (sogok) kepada Gayus sampai sekarang belum terjerat. Gayus hanya pion yang dimainan di papan catur politik yang menggagahi hukum.
Para pengusaha tajir yang juga politisi elit di negeri ini, lebih memilih menggunakan dana silumannya untuk membayar pion-pion tertentu, dari pada membayar hak negara (pajak). Dana siluman sebagai “servis” bagi pejabat negara ini membuat negara rugi ratusan miliar. Ketika ini akan diungkap, lagi-lagi berbenturan dengan hukum yang tak lagi menjadi hukum karena sudah digagahi politik. Hukum tak lagi menjadi panglima ketika kepentingan politik sudah mengaduk-ngaduknya.
Perubahan dalam struktur politik juga sering membuat arah korupsi bergeser. Meminjam istilah Teten Masduki, ini disebut sebagai korupsi yang telah bertransformasi dari royal corruption ke fragmneted corruption. Katanya, desentralisasi kewenangan administrasi dan keuangan daerah juga telah melahirkan desentralisasi korupsi.
Soal pergeseran korupsi di Indonesia, dulu diawal-awal kemerdekaan, seorang pengusaha cukut menyetor ke penguasa atau jenderal berpengaruh, maka bisnisnya akan lancar. Kemudian korupsi sudah lebih menyebar. Suatu partai di daerah yang menguasai parlemen, belum tentugubernurnya dari partai tersebut, karena bisa jadi partai lain lebih mampu memberi setoran ke pusat.
Dari waktu ke waktu target korupsi terus bergeser. Antara tahun 1970 sampai 1980 korupsi terjadi melalui penguasaan sumber daya alam, lisensi dalam bisnis dan investasi, seperti monopoli cengkeh oleh keluarga Cendana; Tomy Soeharto.
Masuk tahun 1980 sampai 1990, korupsi terjadi melalui penguasaan kredit perbankan, kontrak-kontrak dengan pemerintah, proteksi khusus dalam perdagangan dan fasilitas ekspor, pengambilan asset negara dan lain-lain. Teten mencontohkan, Bank BNI dibangun dengan pondasi ekonomi masyarakat kecil, tapi kreditnya kemudian malah diberikan kepada 11 kolongmerat. Kredit itu kemudian ternyata macet. Inilah yang penyebab ekonomi terpuruk, yang kemudian diperparah dengan krisis moneter.
Sementara dari tahun 2000 sampai sekarang, korupsi terjadi pada penguasaan anggaran publik. Lalu bergeser lagi pada penjualan kandidat dalam pemilihan kepala daerah. sebut saja contoh di Aceh pada pemilihan Gubernur 2006 lalu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menjual kadernya ke Partai Amanan Nasional (PAN) sebagai calon wakil gubernur dengan kompensasi sekian miliar rupiah.
Pada pemilihan gubernur di Aceh yang akan datang, bukan tidak mungkin pratktek korupsi jual beli kandidat ini akan terulang. Ketika suatu partai sudah membeli kandidat dari partai atau kelompok tertentu dengan sekian miliar dana, maka ketika kekuasaan ada ditangannya, tentu modal politik untuk membeli kandidat tersebut akan ditarik kembali. Dan tentu anggaran daerah yang akan digerogoti dengan berbagai cara.
Korupsi di Indonesia masih sulit dicegah karena strategi penangan korupsi yang masigh lemah. Korupsi selalu dipandang sebagai kegagalan fundamental pemerintah bukan penyakit. Penyebab lainnya, ketidakseimbangan hubungan antara masyarakat dengan sektor bisnis.
Hal ini pernah diungkapkan Prof Michal Jhonson dari Harvard University, katanya, untuk menekan korupi perlu adanya penguatan masyarakat sipil. Kendala lainnya, lembaga-lembaga donor lebih fokus pada program reformasi kelembagaan, kurang memperkuat pengawasan eksternal.
Sistim pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya sudah bagus, tapi ketika badan anti korupsi disusupi kekuasaan, maka penanganan korupsi menjadi tidak berjalan sempurna. Untuk mencegah hal itu perlu adanya reformasi birokrasi, membuat birokrasi menjadi pendek, memberlakukan sistim tender yang standar untuk menghindari tender “intat linto” para kontraktor, serta perlu adanya pengawasan pembangunan dari masyarakat.
Porto Alaigre, seorang Wali Kota di Brazil, yang memulai pemberantasan korupsi dengan melakukan reformasi anggaran. Anggaran yang sebelumnya dulunya disusun oleh dewan (partai-red) dialihkan komite yang angaran yang anggotanya berasal dari masyarakat. Komite ini di setiap distrik membuat anggaran sendiri sehingga penggunaan anggaran publik mudah dikontrol. Hal ini tentu sangat bagus bila dicontoh dan dilakukan oleh penguasa. Tapi bila mental penguasa kita masih tertarik pada sekian persen fee dari suatu proyek, tentu tak akan ada Porto Alaigre di sini.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Korupsi yang Bergeser"
Post a Comment