Dalam membagi bulan, musim dan iklim, masyarakat Aceh sejak zaman dahulu mempunyai penanggalan tersendiri, yang disebut dengan keunong atau keuneunong.
Dalam penanggalan Aceh, ada dua belas keunong selama satu tahun. Sama dengan jumlah
bulan dalam setahun menurut penanggalan Masehi. Tapi, penanggalan keunong tidak sama dengan tahun masehi, baik jumlah hari maupun perhitungannya.
Penanggalan menurut keunong ini sudah berlaku sejak zaman dahulu di Aceh. Bahkan sebelum kerajaan Aceh terbentuk–sebelumnya hanya ada kerajaan-kerajaan kecil, seperti kerajaaan Lamuri di Aceh Besar sekarang, Kerajaan Daya di Meureuhom Daya, Kerajaan Pohela di Peureulak, Kerajaan Seroja di Aceh Timur sekarang, dan berbagai kerajaan lainnya.
Ketika Kerajaan Aceh Darussalam kuat di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda. Kerajaan-kerajaan itu disatukan menjadi federasi dari kerajaan Aceh. Rangkaian keunong yang semuanya ganjil, dari dua puluh tiga sampai satu, hal ini lebih kepada tradisi untuk membedakan dengan penanggalan-penanggalan di luar Islam. Dan, Allah lebih menyukai bilangan ganjil.
Menurut Snouck Hurgronje dalam bukunya “The Atjeher” terjemahan NG Singarimbun (Eds), terbitan Yayasan Soko Guru, 1985. Snouck menyatakan bahwa keunong diawali dengan keunong dua ploh lhee (23 Jumadil Akhir, menurut tahun Hijriah). Pada keunong ini, biasanya padi-padi di sawah mulai menguning, banyak yang rebah dan menjadi puso karena angin timur yang sangat kencang.
Bahkan mengenai hal ini dalam sebuah idiom pun orang Aceh sering menyebutkan musem timu jak tarek pukat, musem barat jak meuniaga.Yang artinya musim timur (angin timur) lebih baik pergi melaut, musim barat (angin barat) lebih baik untuk berdagang, karena pada musim timur ombak tidak ganas. Sementara pada musim barat ombaknya ganas dan sering datangnya badai.
Keunong selanjutnya adalah keunoeng dua ploh sa (21 Ra’jab). Pada musim ini biasanya padi di sawah mulai panen, atau khanduri blang (kenduri turun ke sawah) untuk memulai penyemaian benih. Dekade ini sering juga disebut sebagai musem luah blang dalam artian sawah-sawah sudah selesai panen.
Kemudian keunong sikureung blah, biasanya keadaan iklimnya hampir sama dengan keunong dua ploh sa. Para petani mulai turun ke sawah. Selanjutnya keunong tujoh blah, pada dekade ini awal bertiupnya angin barat. Mengawali musim ini, para nelayan biasanya mengadakan khanduri laot (kenduri turun ke laut) karena pada musim barat ombak tidak besar.
Lalu keunong limong blah. Pada musim ini sawah-sawah sudah siap digarap dan siap tanam dan di laut mulai ada badai. Pada pertengahan bulan Zulkaidah akan beralih ke keunoeng lhee blah, berlanjut ke keunong siblah dan terus ke keunong sikureung.
Suatu hal yang sangat ganjil, mungkin juga fenomena alam, keunong sikureung ini menurut masyarakat pedesan, ditandai dengan banyaknya keureungkong (ketam darat) yang keluar dari lubangnya (keureungkong woe), entah sejauh mana korelasi antara keunong sikureung ini dengan keureungkong woe, tapi yang jelas pada dekade ini, suhu sangat panas.
Keunong tujoh lain lagi, pada dekade ini, ditandai dengan banyaknya anjing yang menggonggong di malam hari. Karena biasanya jatuh pada bulan Safar, pada keunong tujoh biasanya tidak diadakan acara-acara pesta pernikahan, khitanan dan lain sebagainya, karena dianggap bulan yang naas.
Pada akhir bulan ini biasanya masyarakat akan berbondong-bondong pergi untuk mandi ke laut, manoe rabu abeh istilahnya (mandi pada hari Rabu terakhir di bulan Safar untuk membuang sial). Tapi tradisi tersebut kini sudah agak hilang, karena ada suatu pendapat yang katanya bertentangan dengan ajaran Islam, sebab kemalangan itu merupakan ketentuan dalam qada dan qadar, itu merupakan rahasia Tuhan yang tidak diketahui hamba, bukan terletak pada bulan-bulan tertentu.
Kemudian keunong limong, ditandai dengan mulai bertiupnya angin timur dan para nelayan mulai melaut kembali. Terus beralih ke keunong lhee. Terakhir keunong sa, pada musim ini, hujan sangat lebat dan cangguek poe (katak) akan bersuara di setiap kubangan.
Bahkan kaitan antara keunong sa dengan katak ini diabadikan oleh masyarakat Aceh dalam sebuah teka-teki. Ta ek u gle ta koh bak jeumeureu, keudeh ta sadeu bak kayee raya, blet kilat khum geulanteu, kabeh meusiseu lam blang raya. Kaitan tersebut ada dalam jawaban teka-teki di atas, Bak ta jak-jak meuteumei situek, bak ta duek-duek ta cop keu tima, phop le di chen phop le di duek, nyan keuh cangguek musem keunong sa.
Para petani dan nelayan tradisional Aceh pun sampai kini memakai penanggalan tersebut sebagai dasar perkiraan melaut dan bertani. Hal ini seperti terungkap dalam hadih maja Keunong siblah tabu jareung, keunong sikureung rata-rata, keunong tujoh pih jeut mantong, keunong limong ulat seuba. Maksudnya pada keunoeng siblah baiknya benih padi disemai agak jarang sedikit. Keunong sikureung ditabur rata. Keunong tujoh¸ juga masih bisa, keunoeng limoeng itu sudah musim datangnya ulat daun.
Selain keunong ada juga penanggalan Aceh yang berdasarkan tahun Hijriah. Bisa dikatakan penanggalan ini adalah penanggalan Arab yang di-Aceh-kan, yaitu; Bulan Muharram, menurut penanggalan Arab dalam penaggalan Aceh disebut Asan-Usen, hal ini diambil dari nama cucu nabi Hasan dan Husen. Bulan Safar menurut tahun Hijriah di Aceh disebut Safa. Bulan Rabiul Awal dalam penanggalan Aceh disebut buleun Molot, diambil dari kata maulud yakni memperingati hari lahirnya nabi Muhammad. SAW.
Rabiul Akhir, dalam bahasa Aceh disebut adoe molot atau rabi’oy akhe. Jumadil Awal dalam penanggalan Aceh disebut molot seuneulheuh. Dulunya para pemelihara barang antik di Aceh, juga menamakan bulan ini dengan madika pho, yang bearti “yang pertama bebesa”.
Kemudian Jumadil Akhir dalam penanggalan Hijriah, dalam bahasa Aceh disebut buleun khanduri boh kayee yaitu kenduri atau persembahan buah-buahan secara keagamaan. Bulan Rajab tahun Hijriah, dalam penanggalan Aceh disebut buleun khanduri apam, yaitu bulan kenduri kue apam. Bulan Sya’ban disebut buleun khanduri bu (kenduri nasi).
Bulan Ramadhan, dalam bahasa Aceh disebut langsung buleun puasa, karena pada bulan inilah puasa diperintahkan. Bulan Syawal, disebut uroe raya, karena pada awal bulan inilah perayaan hari raya idul fitri dilaksanakan. Selanjutnya bulan Zulkaidah, dalam bahasa Aceh disebut sebagai buleun meuapet.
Terakhir. bulan Zulhijjah. Disebut buleun haji, karena pada bulan inilah umat Islam melakukan ibadah haji. Meski penanggalan tersebut tidak dibuat langsung dalam bentuk kalender, tapi sampai kini masih digunakan oleh masyarakat Aceh, sebagai sebuah ciri ke-Aceh-an yang patut dipertahankan. Semoga saja tidak hilang ditelan zaman.***
Iskandar Norman
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Keuneunong Penanggalan Aceh"
Post a Comment