Tekanan hidup saat konflik membuat Syeh Maneh hijrah ke Banda Aceh. Saat tsunami biolanya hilang. Ikut konser damai dengan biola pinjaman.
Ia lahir dengan nama Ismail Sabi, tapi dikenal dengan panggilan Syeh Maneh. Pria asal Desa Pulo U, Kemukiman Beuriweuh, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya ini sudah bermain biola di berbagai pertunjukan sejak tahun 1954.
Mengenal biola melalui Syeh Sabon, pemimpin grup biola di kampungnya. Awalnya Ismail Sabi hanya dipakai sebagai pelakon, yang akan menarik dengan rentak irama biola yang digesek Syeh Sabon. Beragam peran ia mainkan, mulai dari lakon pria banci, sampai gadis yang gemulai.
Suatu ketika, gropu biola Syeh Sabon bertanding dengan grup biola Syah Ali pada pertunjukan pasar malam di Tringgaden, Pidie Jaya. Ismail Sabi yang masih muda selalu bisa mengikuti irama biola dalam jenis lagu apa pun.
Karena melihat talenta berlakon itu, ia ditarik ke grup Syeh Ali dan dibawa untuk bertanding dengan Syeh Ishak di Krung Geukueh, Aceh Utara. Di sana ia juga ‘dipingit’ Syeh Ishak. Ia diajak untuk melakukan pertunjukan ke berbagai daerah di Aceh.
Bersama Syeh Ishak, ia tidak lagi hanya sebagai pelakon, tapi juga pemain biola dan bernyanyi. Karena suaranya yang merdu, ia digelar Syeh Maneh, Syeh yang bersuara manis (merdu-red). Kemampuannya merangkai kata bersajak dalam syair yang berirama membuatnya semakin dikenal. “Saat itu saya bisa bermain ke semua daerah, tapi kemudian jadi vakum ketika pada tahun 1965 muncul peristiwa PKI,” kenangnya.
Namun setahun kemudian, ia mendirikan grup Biola Aceh. Remaja-remaja di kampungnya didik untuk kembali mengembangkan kesenian biola tradisional Aceh. Bersama grup biolanya ia pun kembali menggesek biola dari satu pertunjukan ke pertunjukan lainnya.
Syeh Maneh mengisahkan, suatu kebahagian baginya bisa bermain ke berbagai daerah. Saat pertunjukan pun ia harus membawakan syair sesuai karakter masyarakat setempat. “Bermain di daerah pesisir, syairnya tidak perlu disensor, jorok sedikit tidak masalah, malah mereka suka, tapi kalau masyarakat pedalaman harus santun,” kenangnya.
Tahun 2001 Syeh Maneh diundang untuk mengisi acara festival Danau Toba mewakili Aceh. Kala itu hanya dua kesenian Aceh yang dibawa, yakni biola Aceh dan seudati.
Saat mau tampil, persoalan muncul, penonton tidak bisa berbahasa Aceh, sementara syair dalam seudati dan lagu biola Aceh semua berbahasa Aceh. Untuk mengubah syair seudati dalam bahasa Melayu tidak mungkin.
Syeh Maneh pun dituntut untuk kreatif. Beruntung ia bisa menghafal syair dan memainkan irama beberapa lagu Melayu dan irama gambus. Di panggung lagu-lagu Aceh dibawakannya dengan terjemahan langsung ke bahasa Melayu.
Saat konflik mendera Aceh, Syeh Maneh yang menjabat sebagai kepala desa di kampungnya mendapat berbagai tekanan. Suatu malam ia dijemput dari rumah, diminta untuk meletakkan jabatannya di bawah todongan senjata. Ia pun harus meninggalkan kampung yang sudah tujuh tahun (1993 – 2000) dipimpinnya itu.
Syeh Maneh eksodus ke Banda Aceh, bergantung hidup pada sebuah kios kecil di kawasan asrama PHB, Lampriek, Kelurahan Bandar Baru, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh. Kadang kala ia menjadi imam di mesjid komplek tersebut. Di sela-sela kesibukannya ia menggesek biola, menghibur diri menyembuhkan duka saat konflik. Beragam syair diciptakannya, mulai soal kerinduan, kekerasan, romantiskan dan lain sebagainya.
Saat tsunami, biolanya tempat tinggalnya hancur, biolanya hilang. Tak ada yang tersisa meski hanya seutas senar. Meski demikian, ketenarannya sebagai seniman penggesek biola tak hilang. Pacaperdamaian ia dikontrak Aceh Monitorring Mission (AMM) untuk melakukan pertunjukan damai di berbagai daerah di Aceh.
Saat itu ia mengaku bimbang. Di satu sisi kerinduannya untuk menggesek biola sangat besar, di sisi lain ia tak lagi memiliki biola. Meski demikian Syeh Maneh langsung mengiyakan tawaran tersebut. Syeh Maneh pun berangkat ke Aceh Utara, ia meminjam biola pada kawannya. “Biola boleh hilang, tapi kawan tidak akan,” katanya. [iskandar norman]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Senar Biola yang Hilang"
Post a Comment