Ketip jemari dan hentak kaki telah jadi tiket yang mengantarkan Syeh Rih Meureudu menjelajah berbagai negara. Kini menetap di pendopo Gubernur Aceh sebagai pengajar seudati untuk lintas generasi.
Seudati sudah mendarah daging baginya. Sejak kecil ia sudah jatuh cinta pada seni tari heroik itu. Berawal pada tahun 1963 ketika melihat tunang (perlombaan) seudati di Meureudu. Ia mengajak kawan-kawannya untuk latihan seudati di kebun kosong.
Saat itu masih duduk ke kelas enam Sekolah Rakyat (SR). Pulang sekolah ia komandoi kawan-kawannya ke kebun kosong, belajar syair dan gerak seudati meniru apa yang pernah ditontonnya. Namun latihannya tidak pernah nyaman. Ia kerap dikejar oleh orang tuanya saat latihan secara autodidak bersama kawannya. Bapaknya tidak membolehkan dia main seudati.
Namun nyalinya tak pernah ciut, karena Abdullah, abangnya juga ikut. Malah Abdulah kemudian terkenal sebagai Syeh Lah Banguna, syeh seudati terkenal di Aceh. Kini almarhum.
Seorang syeh seudati kemudian melihat bakat Syeh Rih dan abangnya itu. Mereka pun dididik di sebuah balai dekat pasar ikan Kota Meureudu. Tak lama kemudian, mereka diajak untuk ikut tunang yang diadakan Koramil di balai kecamatan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia.
Kelompok Syeh Rih Kecil saat itu belum punya nama. Saat dipanggil ke pentas oleh Master Ceremony (MC) menanyakan apa nama grup seudati mereka. Saat itulah Abdullah, abangnya Syeh Rih menyebut Banguna, nama sampan milik ayahnya.
Lazimnya sebuah group seudati selalu menggunakan nama pemimpinnya, maka kelompok seudati cilik yang dipimpin Abdullah itu pun digelar kelompok Seudati Syeh Lah Banguna. Kata Lah merupakan penggalan dari nama Abdullah, syeh kelompok seudati cilik tersebut.
Dari situlah akhirnya mereka dibawa untuk ikut tunang seudati dari satu daerah ke daerah lain. “Yang tidak bisa saya lupakan ketika ikut tunang di Trueng Campli, Lueng Putu, kami harus jalan kaki belasan kilometer ke tempat pertunjukan,” kenang Syeh Rih.
Bersama kelompok seudati pimpinan abangnya itu, Syeh Rih berhasil menjuarai berbagai tunang seudati. Nama kelompok seudati Syeh Lah Banguna pun semakin tenar. Apalagi setelah tampil pada acara Pekan kebudayaan Aceh (PKA) II tahun 1972 di Banda Aceh.
Melihat kepiawaian Syeh Lah dan Syeh Rih dalam bermain Seudati, tahun 1976 Ibnu Arhas seniman Aceh yang terkenal saat itu, mengajak keduanya ke Medan untuk rekaman. Syair-syair seudati direkam dalam bentuk kaset di rumah rekamam Robinson Medan. “Tapi kami tidak mengerti soal kontrak waktu itu, sehingga kaset itu bisa dicetak tanpa batas,” kenangnya.
Tahun 1976 Syeh Rih pisah dengan kelompok abangnya, ia mendirikan kelompok seudati sendiri. Ia menamainya group Seudati Syeh Rih Muda, karena pada saat itu juga ada seniornya di seudati yang bernama Syeh Rih yaitu Syeh Rih Krueng Raya.
Tahun 1984, diundang bersama Syeh Lah Banguna dan syeh seudati lainnya di Aceh untuk melakukan pertunjukan seudati di Jakarta oleh Ikatan Mahasiswa dan pelajar Aceh (IMAPA). Saat itu ia kembali bergabung memperkuat kelompok seudati Syeh Lah Banguna.
Pulang dari sana, mereka kemudiandiundang ke beberapa negara. Yang paling berkesan bagi Syeh Rih adalah ketika melakukan pertunjukan selama sebulan di sepuluh negara bagian di Amerika Serikat pada tahun 1990.
Para pemain seudati yang dibawa ke negeri adi daya tersebut merupakan pemain seudati ternama yang dikumpulkan menjadi sebuah kelompok seudati baru. Mereka adalah Syeh Lah Geunta, Syeh Lah Banguna, Syeh Rih Muda, T Abu Bakar, Syeh Jafar, Syeh Muktar, Alamsyah, Marzuki dan Nurdin Daud.
Dua nama terakhir merupakan dosen dan koreografer tari seudati di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Marzuki sampai kini masih mengajarkan seudati dan kesenian Aceh lainnya di IKJ, sementara Nurdin Daud, koreografer tarian massal saat Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional di Aceh tahun 1980, kini sudah almarhum.
Dalam kelompok seudati itu, Syeh Lah Bangunan dan Marzuki bertindak sebagai aneuh syahi (vokal-red) yang membawakan syair-syair seudati yang menghentak. Sementara yang lainnya bertindak sebagai penari.
Di Amerika mereka main seudati di sepuluh negara bagian. Mulai dari San Fransico, Atlanta, Iowa, sampai acara puncak di New York. “Disetiap negara bagian kami main tiga malam, kecuali pada acara puncak di New York sepuluh malam,” jelas Syeh Rih.
Satu hal yang sangat berkesan, setelah pertunjukan usai, penonton tidak berhenti bertepuk tangan, layar yang sudah diturunkan, dinaikkan kembali sampai tiga kali. “Mereka terkesima, melihat irama rap dalam syair seudati. Mereka geleng geleng kepala, tak habis pikir ketika ketip jari, tepuk dada dan hentak kaki, jadi irama syair seudati yang begitu cepat nada dan hentakannya,” lanjut Syeh Rih.
Tahun 1990, Syeh Rih diminta untuk menjadi pengajar seudati di Sanggar Cut Nyak Dhien di komplek Pendopo Gubernur Aceh. Kelompok seudati sanggar itu juga kemudian dibawanya ke berbagai negara atas kerja sama dengan dinas pariwisata.
Tahun 1992, melakukan pertunjukan di Spanyol selama 20 hari pada acara Expo dunia di Kota Sevilla. Tahun 1994 melakukan pertunjukan di Belanda selama 22 hari. Pulang dari sana berulang kali melakukan pertunjukan di negara-negara ASEAN, “Malaysia kalau tidak salah ada enam kali,” jelasnya.
Pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) keempat Agustus 2004. Syeh Rih Meureudu melatih pejabat teras di Pemerintahan Aceh untuk main seudati. Ia bersama Gubernur Abdullah Puteh melakukan seleksi para kepala dinas dan pejabat eselon untuk dilatih seudati.
Setelah melakukan beberapa kali latihan selama 15 hari, akhirnya terpilih delapan pejabat untuk group seudati eksekutif. Group seudati itu dinamai tim seudati eksekutif pimpinan Syeh Abdullah Puteh (gubernur Aceh-red) sementara Syeh Rih bertindak sebagai aneuk syahi yang membawakan syair-syair seudati.
Tahun 2006, Syeh Rih kembali membawa kelompok seudati Sanggar Cut Nyak Dhien untuk melakukan pertunjukan di Kota Teheran, Iran selama sepuluh hari. Kemudian pada Juni 2007, atas prakarsa Dinas Pariwisata Aceh, melakukan pertunjukan ke tiga negara Amerika latin; Argentina, Paraguai dan Chili.
Sebagai sesepuh seudati, ia kerap dipanggil untuk mengajarkan seudati di beerapa sanggar di Banda Aceh, baik tingkat sekolah maupun universitas. Kini hari-harinya dihabiskan di Sanggar Cut Nyak Dhien sebagai pengajar tari seudati. “Enam gubernur sudah berganti, saya masih tetap di sini merawat heroisme seudati untuk lintas generasi,” kata Syeh Rih sambil tersenyum. [iskandar norman]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Perawat Heroisme Seudati"
Post a Comment