Andai Tuhan memberi saya pilihan, saya akan memilih lahir dari rahim seorang ibu yang kaya raya. Tapi hidup bukanlah pilihan, melainkan keharusan untuk berusaha. Pembaharuan hanya akan lahir dari sebuah usaha yang sungguh-sungguh, baik secara pribadi maupun kelompok. Maka dalam pemerintahan sebuah negara, berbagai kebijakan pun lahir untuk membantu si miskin, mencapai pembaharuan tersebut.
Namun sangatlah ironis, ketika bantuan yang disediakan untuk si miskin, ditilep dengan segala dalih untuk kepentingan si kaya. Tak perlu jauh-jauh, borok itu ada di moncong hidung kita sendiri, suka tidak suka bau itu tercium juga. Saban hari berita korupsi menghiasi halaman media.
Maraknya korupsi di negeri ini semakin mempertegas mentalitas pemimpin kita yang lebih cenderung berminat dan tertarik untuk melindungi proses yang sistimatis, yang dalam proses tersebut mereka bisa menguasai alur mengalirnya dana publik, untuk tujuan memperbesar keuntungan pribadi, dari pada membela dan meningkatkan kesejahteraan kaum miskin.
Karena itu pula, selama ini berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, hanya sampai ditingkat ekonomi menengah ke atas saja. Kaum miskin tidak pernah punya kekuasaan untuk membela kepentingan ekonomi mereka sendiri. Dan dari hari ke hari, jumlah penduduk miskin tetap saja mengalami penambahan dalam deretan angka-angka. Sejalan dengan itu angka pengangguran pun terus meningkat.
Membaca kisah masyarakat miskin, saya teringat pada Ando dan Sen, dua nama yang berhubungan dengan kaum urban. Bedanya, yang satu hidup dalam legenda Korea dan selalu bernasib sial, satunya lagi ahli ekonomi yang hidup dalam zaman moderen India, dan berhasil meraih hadiah nobel bidang ekonomi pada tahun 1998 karena kepeduliannya terhadap kaum miskin.
Dari sebuah cerita "Kisah Suara" yang telah menjadi legenda di kalangan rakyat Korea, tersebutlah seorang Ando, lelaki miskin yang selalu ketiban sial dalam hidupnya. Untuk menghindari kesialan itu, ia berlari siang malam sejauh yang ia mampu. Dan akhirnya ia bertambah resah dan lelah sepanjang hari. Kemanapun ia pergi, nasib apes selalu menyertainya. Suatu ketika ia mendapatkan uang satu dolar, tetapi kemudian sepuluh dolar uangnya dirampok.
Keadaan Korea kala itu memang digambarkan hancur-hancuran. Ekonominya ambruk di bawah kepemimpinan sang diktator. Pemerintah tidak menghiraukan keberadaan kaum miskin. Melihat kondisi yang demikian terus berlangsung, maka tergeraklah hati Ando untuk memperjuangkan nasib kaum miskin. Ia berdiri di sebuah lapangan dan berteriak di depan orang banyak, "Sialan penguasa negeri ini dan terkutuklah mereka," maka Ando pun kemudian ditangkap.
Dia dimasukkan ke penjara, kedua kaki dan tangannya dipotong. Dia dipenjara seumur hidup. Setiap ada orang yang menjenguknya, ia ungkapkan suara-suara kritisnya, suara yang membuat penguasa bergetar dan orang kaya gemetar.
Sementara itu Sen yang punya nama lengkap Amartya Sen, merupakan seorang ilmuwan yang punya perhatian yang sungguh-sungguh terhadap kaum miskin. Karya peraih nobel bidang ekonomi tahun 1998 ini, mencakup kasus-kasus sejarah kelaparan di India, Bangladesh, Ethiopia, dan negara-negara sub-Sahara Afrika.
Dari sanalah ia berhasil menemukan keterangan bahwa kelangkaan pangan ternyata bukan sebab utama kelaparan. Dia mengambil kesimpulan bahwa berbagai bencana kelaparan itu sesungguhnya bisa dicegah, seandainya ada kebebesan pers. Ternyata, setelah ada kebebasan pers sejak 1947, India tidak lagi mengalami peristiwa kelaparan yang berarti.
Menurut Sen, kebebasan bergantung pada determinan-determinan tertentu, misalnya pengaturan sosial-ekonomi. Seperti penyediaan fasilitas pendidikan, pemeliharaan kesehatan, demikian pula jaminan atas hak-hak sipil dan politik, seperti kebebasan untuk mengikuti diskusi publik dan pengawasan. Selain itu, pemberantasan kemiskinan baru terwujud dengan adanya pemberantasan sumber-sumber utama ketidakbebasan, baik kemiskinan maupun tirani, peluang ekonomi yang sempit maupun perampasan hak-hak sosial yang sistematis, ketidakhirauan terhadap fasilitas publik maupun intoleransi dan kegiatan berlebihan dari negara yang represif.
Sen dalam tulisannya Sen menjabarkan, kekurangan kebebasan yang subtansif itu berkaitan langsung dengan kemiskinan ekonomi, yang merampok rakyat dari kebebasannya untuk menolak kelaparan, mencapai nutrisi yang mencukupi atau memperoleh obat bagi penyakit, atau dapat menikmati air bersih dan fasilitas sanitasi. Karenanya, kegagalan pemberdayaan kaum miskin selama ini, lebih dominan disebabkan oleh prilaku pemimpin yang tidak accountable, yang membuat praktek korupsi semakin menggurita saja.
Pemimpin-pemimpin di negeri kita, bukanlah Corazon Aquino, yang sebelum menjadi presiden Philipina, telah menjadi tuan tanah besar di Provinsi Tarlac. Tapi sebagai tuan tanah, ia maklum, kalau masyarakat miskin yang tidak mempunyai lahan merupakan bom waktu yang setiap saat bisa meletus dan menumbangkan negerinya.
Karena itu pula saat ia menjadi orang nomor satu di negerinya tersebut, ia begitu peka terhadap keberadaan kaum miskin. Aquino tentunya tidak ingin Ando dalam legenda Korea, si miskin yang mengumpat penguasa, lahir kembali di negerinya.
Lalu bagaimana pemimpin di negeri kita? Pemimpin-pemimpin di negeri kita kebanyakan, lebih cenderung sebagai sosok yang mencari kepuasan ekonomi dengan kekuasaannya. Bukan dengan ekonominya mencari kekuasaan. Nah. Dalam realitas yang demikian, akankah Ando-Ando sebagaimana yang ditoreh dalam legenda Korea lahir di negeri ini?
Tentunya kita berharap tidak, karena negeri ini sudah terlalu lelah dalam nestapa konflik berkepanjangan. Kita semua pasti mengharap di negeri ini banyak lahir Amartya Sen baru yang pro pada masyarakat miskin. Yang mengajarkan kita untuk tidak menerima kemiskinan sebagai sebuah nasib. Semoga.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Ando dan Sen, Keberpihakan Kaum Miskin"
Post a Comment