Minggu lalu, Nyak Kaoey seorang kawan datang dari kampung yang meugampong that-that ke Banda Aceh. Ia heran melihat banyaknya tugu. Mulai dari pintu masuk kota sampai ke pinggiran kampus. Setiap tugu yang dilewatinya ia teutahe gante.
Pertama ia hampir telat karena terpaku pada jam di tugu simpang Muhammad Jam. “Habisin uang banyak-banyak untuk pajangin jam, tapi jamnya tidak tepat waktu,” celotehnya. Ia telat sampai rumah karena terpaku pada jam di tugu yang ternyata salah tunjuk angka yang sebenarnya.
Ketika pulang ke Darussalam, tempat dia meningap di rumah saudaranya. Nyak Kaoey kembali terpaku melihat tugu Pena di Simpang Mesra. Karena rasa ingin tahunya banyak, sebagai ureung gampong yang meugampong that-that, ia kembali bertanya. “Mengapa pena sebesar itu ditancapkan di tengah jalan.”
Saya tertawa mendengar pertanyaan itu. Dengan sedikit pengetahuan, kujelaskan padanya bahwa itu simbol terhadap keberanian dan perjuangan Tentara Pelajar pada zaman perjuangan kemerdekan. Ia manggut-manggut dan kembali bertanya. Mengapa tulisannya belajar sambil berjuang dan berjuang sambil belajar, mana yang harus didahulukan, belajarkah atau berjuang.
Menurutnya, antara belajar dan berjuang harus dipilah-pilah agar hasilnya maksimal. Baginya belajar juga bagian dari perjuangan. Saya hanya tersenyum. Namun setelah itu saya harus garuk-garuk kepala meski tidak gatal. Pertanyaannya kali ini sungguh tidak terduga. “Mengapa tugu pena itu harus menunjuk langit?”
Seharusnya kata dia, kalau ada pena harus ada buku, dan pena itu harus menunjuk ke bawah mengisi lembaran buku. Melihat saya bingung ia kembali berceloteh. Katanya, itu mungkin menggambarkan watak orang yang menggagasnya—baca pemerintah—yang terlalu banyak cet langet. Pena yang menunjuk ke langit bukan lagi sebagai simbul belajar dan berjuang, tapi angan-angan mengecat langit.
Saya hanya diam. Nyak Kaoey terus berceloteh. Kalau mau cet langet seharusnya tugu itu diganti dengan puteng saduep, “Bukankah Endatu kita pernah berkata bek cet langet ngon puteng sadeup?” tanyanya. “Puteng sadeup lebih cocok di situ,” ulangnya lagi.
Tapi entahlah, Nyak Kaoey yang saya pikir aneuk gampong yang meugampong that-that ternyata lebih jeli menafsir apa yang tak terlihat dari keberadaan tugu-tugu yang bisu di sudut kota. Semoga maksud pembangunan tugu pena di Simpang Mesra itu bukan untuk cet langet sebagaimana ditafsir oleh Nyak Kaoey. Tapi kalau memang benar apa yang dikatakan Nyak Kaoey, emang benar tugu itu harus diganti dengan puteng sadeup.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Cet Langet"
Post a Comment