Sejak zaman dahulu, kekuasaan selalu berwajah ganda. Demikian kata Prof, Dr Franz Magnis Suseno. Ada kalanya kekuasaan itu begitu memesona, tapi tak jarang juga sangat menakutkan. Sang profesor itu menambahkan, legitimasi kekuasaan tertinggi adalah legitimasi religius. Tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaan Illahi.
Begitu legitimasi religius ini didobrak, maka muncullah pertanyaan mengenai legitimasi kekuasaan. Selubung ghaib yang melindungi raja (baca pemimpin) dari tuntutan pertangungjawaban pun tersobek, karena raja juga juga manusia biasa, maka raja pun akan berhadapan dengan hukum sebagaimana rakyat jelata.
Menukik ke permasalahan di Aceh. Kekuasaan bak cerita roman yang bad ending saja. Kekuasaan kerap berakhir jauh dari hal yang menggembirakan. Simaklah, Gubernur Ibrahim Hasan, meski terbukti mampu menyulap Aceh dengan berbagai pembangunan sampai ke pelosok, tapi diakhir jabatannya, ia seakan hilang segalanya, ketika mukanya menjadi sasaran tamparan seorang mahasiswa.
Padahal, selama kekuasaan berada di tangan Ibrahim Hasan, kemolekan pembangunan di Aceh begitu memesona. Tapi di sisi lain, kekuasaan di tangan Ibrahim Hasan pula yang sangat menakutkan bagi rakyat Aceh. Banyak piring pecah saat “kenduri” Daerah Operasi Militer (DOM) berlaku di Aceh.
Hal yang sama juga terjadi saat kekuasaan berpindah ke tangan Prof Dr Syamsudin Mahmud. Ahli moneter ini juga harus keluar dari pintu belakang, ketika mahasiswa tidak lagi menaruh kepercayaan terhadapnya untuk memimpin Aceh. Berlanjut kepada Gubernur Abdullah Puteh, akhir kekuasaannya di Aceh juga pilu, ketika sang gubernur harus mendekam dalam tahanan untuk mempertanggungjawabkan prilakunya yang korup.
Pemerintahan Irwandi Yusuf juga sedang menuju ke arah itu. Beragam persoalan kini melilinya, bacalah berita-berita di media belakangan ini, cerita miring tentang orang nomor satu di Aceh itu terus saja mencuat, yang paling menusuk ulu hati kekuasaan ‘sang raja’ itu adalah kasus dugaan penganiayaan Hamidy di tahanan terkait penyebarab pesan singkat tentang dugaan perselingkuhan. Pertanyaannya sekarang, mengapa kisah pemegang kekuasaan di Aceh banyak yang tidak happy ending?
Tentu banyak penyebabnya, yang telah menjadi mata rantai panjang, membentuk sebuah kekuasaan yang menakutkan. Setidaknya menakutkan bagi yang dikuasai, dalam hal ini rakyat jelata.
Salah satu mata rantai tersebut yang kini menggerogoti kepemimpinan Irwandi Yusuf Puteh adalah suburnya praktik korupsi. Saat kekuasaan berada di tangannnya kita melihat banyak pejabat teras yang berurusan dengan hukum, meski tak semuanya tak sampai ke pengadilan.
Dalam kehidupan bernegara, korupsi merupakan benalu sosial yang merusak sendi-sendi struktur pemerintahan. Dan menjadi hambatan paling utama dalam pembangunan. Tapi anehnya, belakangan ini malah pembangunan menjadi lahan empuk untuk korupsi.
Korupsi memang sudah menjadi sebuah gaya hidup. Bahkan mungkin akan menjadi sebuah “cabang ilmu” karena banyak orang mengatakan korupsi itu merupakan seni untuk hidup.
Pun demikian, meski banyak pejabat teras pemegang otoritas kekuasaan telah diadili sebagai koruptor, belum ada diantara mereka yang berani menerbitkan buku tentang kekuasaan dan seni berkorupsi. Bila itu dilakukan, maka korupsi akan menjadi sebuah cabang ilmu. Dan kekuasaan akan selalu berakhir dengan ketidaknyamanan.
Apakah ini membuktikan telah terjadinya pergeseran nilai dalam masyarakat? Pergeseran nilai itu memang hal yang lumrah. Tapi untuk korupsi merupakan hal yang berbeda, karena pergeseran norma-norma dan nilai kekuasaan tidaklah selamanya dapat diakomodir, apalagi ditolerir. Kembali ke persoalan maraknya korupsi pada kekuasaan di sekitar kita. Timbul pertanyaan, apakah ini sebuah pergeseran atau memang ini budaya baru bagi kita?
Jawabnya mungkin juga. Sebab kalau norma dan nilai kekuasaan pada masa lalu mengajarkan kita untuk merasa malu bila seorang laki-laki harus memukul seorang wanita, konon kini berani melakukan pemerkosaan. Tidak pula sendiri tapi beramai-ramai. Begitu juga dengan korupsi, meski belum ada yang berani menempatkan diri sebagai imam atas tindakan yang tercela itu.
Akhirnya, sebuah jabatan atau kekuasaan itu, hanya akan mengantarkan siberkuasa menjadi celaan masyarakat. Mungkin tidak oleh istrinya sendiri. Tapi yang pasti, sang jabatan dan kekuasaan tidak pernah tercela. Yang tercela adalah manusianya. Mental korup manusia yang menduduki jabatan tersebut tidak akan membuat kekuasaan itu hina, yang hina adalah manusia yang korup karena kekuasaan itu.
Kembali ke persoalan kepemimpinan di Aceh, kekuasaan yang awalnya membuat sang gubernur bagai magnet yang mampu menarik banyak kalangan ke sisinya. Kini malah sebaliknya. Meski tidak serentak, satu per satu orang-orang terdekatnya mulai mengatur langkah surut. Ada pula yang mengatur ancang-ancang untuk merebut kekuasaan itu. istilahnya, “kudeta” kecil-kecilan. Apalagi setelah ‘retaknya’ duet kepemimpinan di Aceh jelang pemilihan kepala daerah yang tinggal beberapa bulan lagi.
Beberapa kali perombakan `kabinet’ di Pemerintahan Aceh mempertegas adanya keretakan antara Aceh 1 dan 2 tersebut. Banyak pihak di lingkungan kekuasaan yang memanfaatkan keretakan tersebut untuk menarik keuntungan politis dalam kemulaunya kekuasaan.
Di luar kekuasaan itu, ada pula orang yang agak bersih, diharapkan untuk menuju kekuasaan tersebut, tapi ragu untuk melangkah. Yang jelas, keragu-raguan yang jujur lebih baik dari pada keyakinan yang ngambang dan setengah-setengah. Benci yang terbuka secara jantan lebih baik dari jenis kesetiaan yang palsu. Musuh yang cerdas akan lebih baik dari kawan yang dungu.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Wajah Ganda Kekuasaan"
Post a Comment