Para penyusup sering menjadikan budaya dan turunannya untuk tujuan tertentu. Malah budaya hanya dijadikan alat propaganda semata.Sejarah telah memberi pengalaman, bagaimana Marghareta Zelle, penari ulung yang menjadikan tariannya sebagai kedok spionase. Kemudian ada Henry Kissingger di Gedung Putih Amerika yang berhasil bertahan dari pemecatan karena pendekatannya yang berbudaya. Sejarah komunis juga mengenal penulis John Howard yang mampu mempertahankan ideologi komunis dalam karyanya di tengah kebencian terhadap komunis di Amerika.
Menjadikan budaya sebagai bagian dari propaganda dan penyamaran, pernah sukses dilakoni Marghareta Zelle, yang setelah semua terungkap publik Prancis tercengang dibuatnya.
Ketika Marghareta datang ke Paris tahun 1904, ia hanya memiliki uang setengah franc di kantongnya. Paris waktu itu merupakan kota impian para perempuan yang ingin mengejar hayalannya. Paris kota harapan yang menjanjikan masa depan. Marghareta merupakan satu dari ribuan gadis cantik yang datang ke Paris untuk bekerja sebagai model para seniman, penari klub malam, atau pemain sandiwara bagi bangsawan di Folies Bergere.
Namun sebagai pekerja para wanita itu tak bertahan lama. Setiap waktu ada saja wanita lain sebagai penggantinya. Paris benar-benar jadi kota penuh persaingan. Marghareta sadar bila ia terdepak dari pekerjaannya sebagai penari, maka berarti usahanya akan gagal di kota itu.
Marghareta punya ambisi besar. Meski tak memiliki pengalaman menari dan belum pernah mengelar pertunjukan di teater. Ia berhasil menciptakan kesan terbaik baginya. Meski pun dengan kemampuan yang pas-pasan ia mampu bertahan. Dan tujuannya yang sesungguhya di Paris bisa tetap terjaga.
Marghareta benar-benar bukan seorang seniman tari. Masa kecil ia hanya pernah menonton pertunjukan tari di Jawa dan Sumatera ketika berkenalan bersama keluarganya. Meski demikian ia berhasil membuat sebuah tipuan di Paris dengan menyusup dalam budaya kota itu melalui tariannya.
Ia paham bahwa yang penting dalam tipuannya bukanlah tarian yang dibawakannya, bukan pula wajah cantik dan kemolekan tubunya, tapi kemampuan untuk menciptakan kesan dan aura misteri atas tarian yang dimainkannya.
Robert Greene yang menyinggung Marghareta dalam The 48 Law of Power mengungkapkan, misteri yang diciptakan Marghareta bukan hanya terletak pada tariannya saja, kostumnya, kisah yang ia bawakan, bukan pula tentang dusta tiada akhir tentang asal usulnya, tapi terletak pada suasanya yang melingkup segala hal yang ia lakukan, sehingga penyamarannya benar-benar tersamar dalam kedok budaya dan seni tari.
Ia selalu berubah, selalu mengejutkan penonton dengan kostum-kostum barunya, tarian baru, kisah baru. Aura ini membuat publik Paris selalu ingin tahu lebih banyak informasi tentang Marghareta dan selalu bertanya-tanya tentang tindakannya berikutnya.
Marghareta bukanlah penari mahir, yang membedakan dia dengan orang lain adalah caranya menarik perhatian dan mempertahankan perhatian itu. Dari situlah kehidupan dan tujuan Marghareta yang sebenarnya tersamar.
Namun keudian sedikit saja kesalahan membuat segalanya buyar. Pemerintah Prancis mendeportasi Marghareta setelah dia diketahui sebagai seorang mata-mata. Bagaimana pun Marghareta berhasil menyusp dalam budaya Paris, menjadi pusat perhatian. Dari pertermanannya dengan tokoh-tokoh di Paris waktu itu ia berhasil mencuri informasi rahasia tentang Pemerintaha Perancis dan menjualnya kepada musuh-musuh Perancis di luar negeri.
Di Amerika pada tahun 1920-an juga terkenal seorang penulis asal Jerman, Bertolt Brecht penanut ajaran komunis. Hampir semua tulisannya, esay, drama dan puisinya melambangkan semangat revolusi. Ketika Hitleh berkuasa di Jerman, Brecht dan kawan-kawannya yang beraliran komunis terancam.
Brecht memiliki banyak kawan yang bersimpati padanya di Amerika Serikat. Pada tahun 1941 ia berimigrasi ke Amerika dan menetap di Los Angeles, dimana ia bisa mencari nafkah dari bisnis perfileman. Ia mulai menulis skenario dengan tema anti kapitalis yang menyolok. Ia menyusupkan ide-ide komunis dalam karyanya untuk mempengaruhi publik di Amerika. Namun ia kurang sukses di Hollywood.
Setelah perang berakhir pada 1947 ia memutuskan untuk kembali ke Eropa. Pada tahun yang sama, Konggres Amerika Serikat, House Un-American Activities Commite menyelidiki infiltrasi komunis ke Hollywood. Mereka mulai mengumpulkan informasi tentang Brecht.
Brecht yang dikenal sebagai pendukung Marx, pada 19 September 1947, sebulan sebelum ia berencana meninggalkan Amerika, harus berurusan dengan pemerintah setempat. Ia dipanggil House Un-American Activities Commite bersama sejumlah penulis, produser dan sutradara lainnya. Mereka yang dipanggil itu dikenal sebagai Hollywood 19. Mereka yakin bahwa mereka lebih cerdas dari anggota komite itu. mereka pun berdebat dengan komite tersebut tentang komunis.
Pendekatan Hollywood 19 yang konfrontasi membuat mereka memperoleh simpati dari publik Amerika. Namun mereka harus berjuang belasan tahun untuk memulihkan nama dan kehilangan pekerjaannya.
Tapi Brecht bertindak lain, ia merendah dan membuat anggota komite tak bisa menebaknya. Ia tidak mengubah keyakinannya sebagai seorang komunis. Ia juga berhasil mempertahankan kebebasannya untuk menyebarkan tulisannya yang revolusioner.
Begitulah Marghareta penari pura-pura yang masuk dalam budaya Perancis sebagai mata-mata untuk kepentingan asing dan Brecht yang berhasil mempertahankan ideologi komunisnya dengan tulisan-tulisan revolusionernya. Kini di zaman yang serba terbuka, penyusupan dan spionase atas nama budaya juga mulai masuk dalam kehidupan kita. Sadar atau tidak, ada yang mulai mendompleng kebudayaan untuk kepentingan tertentu.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Spionase dan Penyusupan Budaya"
Post a Comment