Jelang lebaran, peredaran uang palsu diyakini meningkat di Aceh. Tingginya transaski di toko-toko pakaian membuat uang palsu dengan mudah dibelanjakan.
Selama Agustus 2010 saja, beberapa kasus telah terungkap, di Takengon misalnya, Pada Rabu (18/8) empat pengedar uang palsu ditangkap setelah berbelanja di sebuah warung di Kecamatan Celala, Kabupaten Aceh Tengah. Dari mereka polisi menyita pecahan uang pasu Rp50.000 senilai Rp2,2 juta. Ironisnya lagi uang palsu itu dicetak oleh salah seorang dari mereka. Uang palsu itu bukan dibawa dari luar, tapi memang dicetak di sana dengan printer warna.
Sepekan sebelumnya, pada Kamis, 12 Agustus 2010, dua pelajar pengedar uang palsu juga ditangkap di Aceh Utara. Mereka juga mencetak sendiri dan mengedarkan (membelanjakan) uang palsu tesrebut. Proses percetakan uang dilakukan dengan satu unit komputer dan printer merek canon MP198.
Terungkapnya tingkah tak baik dua remaja ini (IM dan MU) ketika membeli rokok di sebuah warung dengan menggunakan uang palsu. Pemilik kios curiga dengan uang yang dibelanjakan remaja itu sehingga terjadi perdebatan. Polisi yang kebetulan melintas kemudian mendatanginya. Ketahuannya bahwa uang itu palsu. Ada Rp285 ribu uang palsu yang ditemukan polisi dari dua siswa itu.
Sebelumnya, pada 4 Juli 2010, polisi juga menangkap sepasang suami istri pengedar uang palsu di Aceh Barat. Mereka mengadarkan uang palsu pecahan Rp50.000 dan Rp100.000. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung Rp152,5 juta. Mereka ditangkap ketika berbelanja dengan uang palsu di pasar Kuala Bhe, Kecamatan Woyla.
Perdaran uang palsu sangat merugikan negara. Karena itu negara menjerat pelaku dengan KUHP. Pada Bab X pasal 244 sampai pasal 252 jelas mengatur hukuman pemalsuan mata uang dengan ancaman pidana penjara 15 tahun. Hal ini dinilai sudah cukup untuk mencegah pembuatan uang palsu. Namun sayangnya ketika proses persidangan terhadap pelaku kejahatan terhadap mata uang ini, jarang yang vonisnya tinggi, apalagi maksimal 15 tahun sebagaimana diamanahkan KUHP.
Kejahatan terhadap mata uang ini sebenarnya bukanlah hal yang baru, ketika Indonesia masih dikuasai oleh Kolonial Belanda, hal itu sudah terjadi. Untuk mencegah peredaran uang palsu, pemerintah Hindi Belanda pada tahun 1912 memberlakukan Indische Muntwet, yakni undang-undang yang mengatur tentang mata uang.
Undang-undang itu kemudian dicabut ketika Indonesia sudah merdeka seiring diberlakukannya Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) pada tahun 1950. Pebcabutan Indische Muntwet dilakukan melalui Undang-undang Darurat nomor 20 tahun 1951 yang dikenal sebagai undang-undang mata uang 1951.
Secara nasional, dalam lima tahun terakhir peredaran uang palsu mencapai puluhan miliar. Menurut data Bank Indonesia (BI), jumlah uang palsu yang telah ditemukan oleh BI maupun hasil tangkapan polisi terhadap uang kertas rupiah yang diedarkan dalam jumlah lembar (bilyet) selama semester pertama 2007 adalah 2 bilyet persatu juta bilyet.
Kawan saya seorang hakim peradilan umum Republik Indonesia, Goenawan Wanaradja menilai, banyaknya uang palsu menyebabkan masyarakat kelas atas takut memiliki rupiah. Mereka akan berbondong-bondong untuk memiliki uang asing karena dianggap lebih aman. Wibawa negara akan jatuh baik di mata masyarakat maupun dunia. Pemerintah dianggap tidak mampu menangani secara preventif dan represif dan tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan ketidakpercayaan investor asing.
Menurut Wanaradja, secara kualitatif bentuk kejahatan uang palsu dapat dikelompokan yaitu pembuatan, mengedarkan, pengurangan nilai, memiliki atau menyediakan bahan untuk membuat uang palsu, menyimpan dan membawa atau memasukan ke suatu wilayah.
Perangkat hukum lain, yaitu UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai mana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Undang-Undang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 65 dan Pasal 66 hanya mengatur kewajiban bagi setiap orang untuk menggunakan mata uang rupiah. Yang melanggar diancam pidana dan sanksi administrasi. Dalam UUBI ini dimaksudkan jika ada orang yang menolak untuk tidak menggunakan uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah maka dikenakan sanksi pidana atau administratif sesuai pasal 65 atau pasal 66 UUBI tersebut.
Namun ia menilai, pasal 244 KUHP masih lemah karena hanya terdapat ancaman hukuman maksimal saja. Artinya, tersangka dapat juga dituntut dengan hukuman yang paling minimal, misal satu tahun. Tidak adanya ancaman hukuman minimal ini merupakan celah yang dapat dimainkan baik oleh penasihat hukum mereka maupun aparat penegak hukum agar tersangka uang palsu mendapat vonis serendah mungkin.
Kelemahan lainnya, terdapat rumusan unsur subjektif “dengan maksud untuk diedarkan atau menyuruh edarkan ”. Yang menjadi persoalan adalah bagaimanakah jika seseorang tersebut belum sempat mengedarkan atau membuat uang palsu hanya untuk koleksi? Perbuatan memalsukan uang telah dilakukan, namun tidak diedarkan atau belum diedarkan atau hanya untuk dikoleksi sehingga unsur subjektif tidak terpenuhi.
Hal inilah yang dinilai Goenawan Wanaradja menjadi kendala, sehingga tidak sedikit tersangka yang menjadi ahli atau percetakan pemalsuan uang sulit dijerat dengan pasal ini dan akhirnya dilarikan pada pasal 250 KUHP yang ancaman pidananya maksimal enam tahun penjara, jika barang bukti lain berupa bahan dan peralatan untuk memalsukan uang tersebut ditemukan di tempat kejadian perkara.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Uang Palsu"
Post a Comment